Memasuki
pertengahan hari, Mora sedang bersantai sedikit dikursi kerjanya. Dan secara
tiba-tiba ponselnya berdering menampilkan nomor dari Fachri telah meneleponnya.
Secara terpaksa Mora pun mengangkatnya langsung berkata, “Iya ada apalagi?”,
memakai bahasa sedikit dingin. “Aku sudah menunggu dicafe tempat kamu bekerja!
Temui aku sekarang juga!”, Fachri langsung menyahutnya dengan memerintahkannya
sedikit tegas lalu memutuskan pembicaraan.
Mora
yang sudah mendengarnya beralih melihat keponselnya, mulai merasa bingung.
“Dasar bodoh! Harusnya lo tanya kenapa gue bisa tau nomornya elo! Oon deh, gak
sadar banget masih pakek nomor pribadi!”, Mora mengomel sendiri berkeluh kesal.
Kemudian beranjak akan segera menemui Fachri yang sudah menunggunya tanpa
membuat janji dulu padanya.
Beberapa saat kemudian. . . .
Fachri masih menunggu Mora dicafe
tempat Mora bekerja, ia duduk membelakangi meja tempat duduknya karna menonton
film korea yang sedang diputar dicafe tersebut. Begitu mulai asyiknya menonton
film korea, Fachri tidak sadar jika Mora telah datang menemuinya dengan duduk
dibalik dirinya. Dan kemudian ia memanggil seorang pelayan yang kebetulan
melintas didepannya, akan mengajak pelayan itu berbicara sedikit.
“Tolong pergi keruangan Nona Mora!
Kabari padanya kalau Fachri sebagai tamunya sudah lama menunggunya!”, Fachri
berkata permisi memberi perintah pada pelayan itu.
“Nona Mora? Apakah nama
lengkapnya, Mora Anastasia Simbolon?”, pelayan itu berbalik menanyakan. Melihat
kearah belakang Fachri lalu melihat ke Fachri lagi.
“Saya tidak mengetahui nama
lengkapnya! Yang pasti dia telah menjadi teman saya!”, ujar Fachri menjelaskan.
Pelayan itupun menjadi tersenyum
mengisyaratkan Fachri untuk menoleh kebelakang, namun Fachri menatap bingung
kepelayan itu memilih berdiam. Lalu didengarnya ada yang bersapa dari arah
belakangnya, “Anyeong, Fachri?”. Fachri yang sudah mengenali suara dari sapa seorang
wanita dari arah belakangnya, menjadi terdiam masih menatap pelayan itu.
Sedangkan pelayan itu mulai beranjak pergi dengan menertawainya kecil.
Dan Fachri pun kini mulai mengubah
duduknya menghadap keseorang wanita yang telah menyapanya tadi. “Sudah berapa
lama kamu menungguku?”, orang yang menyapanya tadi adalah Mora yang kini
kembali menanyakan dirinya. Fachri melihat jam ditangan kanannya, “Tigapuluh
menit, aku disini! Tanpa suuuaraaa!”, Fachri memberitahukan dengan menyanyikan
sebuah lirik lagu dari jamrud namun liriknya ada yang sengaja diplesetkan.
Melihat ke jam tangannya.
“Ada yang perlu kita bicarakan?”,
tanya Mora memulai pembicaraan menatap biasa. Fachri melihat padanya
berwajahkan bingung, lalu melihat kearah lain. “Oyah, ponselku mendadak seperti
hilang! Karna aku lupa menaruhnya dimana! Kalau boleh, aku mau meminjam
ponselmu untuk menghubungi ponselku!”, pinta Mora sedikit berbohong bermaksud
akan membuktikannya sendiri. Dan Fachri langsung memberikan ponselnya ke Mora,
bersikap biasa namun telah melupakan sesuatu.
Ponsel milik Fachri kini telah
berada ditangan Mora, dan Mora mulai menghubungi ponselnya sendiri. Ponselnya
pun mulai berdering, kemudian Mora menunjukkan ke Fachri ponsel miliknya dan
juga ponsel milik Fachri. “Apa yang telah kau lihat? Aku yakin, kau tidak
sangat terkejut bukan?”, Mora menyindirnya. Fachri melihat kedua ponsel
tersebut. seketika Fachri mulai merasa malu, karna Mora sendiri telah
mengetahui perilakunya yang sedikit tidak bertanggung jawab.
Kemudian Fachri beralih melihat ke
Mora yang masih menatapnya dingin seperti menahan kesal. “Kau sama sekali tidak
mengetahui apa yang telah terjadi dibaliknya! Kau hanya bisa membuktikan apa
yang kau lihat saja!”, Fachri berkata sedikit menghakimi Mora membuat Mora
menjadi berdiri dari duduknya akan mengajaknya berdebat.
“Aku tidak
memikirkan itu! Yang aku pikirkan adalah, ternyata kau yang telah berperilaku
curang terhadapku selama ini!”, Mora berkata halus namun menyakitkan.
“Iya!”, Fachri mengaku tegas. Melihat tegas pula.
“Kemarin kau telah menghancurkan
kepercayaanku padamu! Tidak kamu ketahui, hampir saja aku menuduh Mirza yang
melakukannya!”, Ungkap Mora masih berbahasa halus namun menyakitkan.
“Bagaimana pun juga kau telah
menuduh orang yang benar, tepatnya sekarang!”, Fachri mengakui kesalahannya.
“Dan kini aku yang telah salah
karna mempercayai orang seperti kamu!”, Mora membuat pengakuan.
Fachri pun menjadi berdiri dari
duduknya mulai menatap sendu. Sedangkan Mora masih konsisten dengan tatapan
dinginnya. Lalu Fachri mengambil ponsel miliknya sendiri sambil mengatakan,
“Kalau saja kau membongkar galeri pada ponselku ini! Maka kau harus memilih
antara membenci, atau menjadi luluh seketika!”, perkataan Fachri menggetarkan
perasaan Mora. usainya mengatakan itu, Fachri bergegas pergi dengan berjalan
melewati Mora.
Sementara Mora baru saja teringat
pada perkataan Eisya yang mengatakan, “Aku merasa kau akan jatuh dalam
kedilemaan! Antara harus bergegas tuk membenci atau berbalik menjadi
mencinta!”, sewaktu berbicara dengan Eisya pada hari sebelumnya. Kemudian
beranjak pergi meninggalkan café tersebut menuju ketoilet dan berdiam dipojokan
toilet masih didalam kantornya. Dipojokkan itu Mora menangis memegang kalung
salib dilehernya mengingat kembali perdebatannya bersama Fachri tadi.
Badung Location. . . . Season 2
“Pernikahan Diatas Matrai”
Pada sore harinya, Mora memutuskan
untuk pergi ke gereja. Ia berniat akan berdoa lagi dirumah Tuhan. Dan kini ia
telah berada di gereja, duduk dikursi paling depan lalu berdoa dengan tenang.
Dirumah Tuhan, ia bukan berdoa tentang perasaan kasihnya ke Fachri, tetapi
berdoa untuk ayahnya yang telah jatuh sakit di negeri orang disana. Mora berdoa
sambil memejamkan kedua matanya agar lebh tenang dan lebih berkonsentrasi.
Sementara diluar pintu gereja yang
terbuka lebar, diam-diam Fachri telah melihatnya dikejauhan dari luar pintu
gereja tersebut. Fachri sedang memandanginya yang masih berdoa, lalu melihat
keatas gereja yang tersimpan patung salib Yesus Kristus. Kemudian ia menghadap
kekanan mengesampingkan gereja itu, dan kemudian lagi pergi meninggalkan.
Disaaat yang sama, Mora baru saja selesai dalam berdoa, membuka kedua matanya
dari pejamnya memberi hormat kepada Tuhan.
Dan pada malam harinya, Mora masih
berjalan-jalan menggunakan mobil taxi sejak dirinya sudah berdoa dirumah Tuhan
tadi karna tidak sekalipun pulang kerumahnya. Perasaannya tidak karuan,
pikirannya bercabang dan dirasanya kalau dirinya kini sudah sedikit stress.
Disaat mobil taxi sedang membawanya jalan-jalan tak tentu arahnya, tiba-tiba
Mora menyuruh supir taxi tersebut untuk berhenti didepan masjid. Masjid yang
mulai dipenuhi oleh umat muslim untuk melakukan sholat maghrib.
Untuk beberapa saat, Mora memilih
berdiam didepan masjid mengamati orang-orang yang mulai memasuki kedalam masjid
untuk beribadah. Setelah beberapa saat berdiam, ia melihat Fachri baru saja
keluar dari masjid itu dengan duduk akan memakai sepatu miliknya. Lalu
dlihatnya Fachri mulai berdiri, berjalan meninggalkan masjid dengan kopiah
masih dikepalanya. Fachri masih berjalan menuju kemobilnya yang terparkir
disamping halaman masjid itu.
Kemudian terbesit dibenak Mora,
kalau dirinya ingin pulang saja sekarang. Lalu disampaikannya kepada supir taxi
untuk mengantarnya pulang dengan memberitahukan alamat rumahnya. Ketika mobil
taxinya sudah berjalan perlahan, Mora menyempatkan melihat masjid kembali lalu
melihat kemobil Fachri yang mesinnya mulai dihidupkan. Dan tiba-tiba menjadi
terseyum seketika, melihat kebawah mencoba merenungkannya.
“Sekali lagi aku mulai tersadar,
bahwa rasa kasihku memang untuknya!”, bisik Mora selagi masih mencoba
merenungkan. Sementara Fachri yang sudah didalam perjalanan menuju rumah sakit
tempatnya bekerja, baru saja terbayang-bayangi wajah Mora yang tersenyum hingga
terlihat dingin. Dan itu membuat dirinya sedikit semangat untuk bekerja
kembali, menjalani pengabdiannya sebagai seorang Dokter dirumah sakit tempatnya
bekerja.
Badung Location. . . . Season 2
“Pernikahan Diatas Matrai”
Esoknya,
Yusra sedang membantu Mirza mengahafal persentase yang akan dialkukannya
diruang rapat nanti. Mereka berdua melakukannya diruang kerja Yusra. Mirza
memegang persentasenya yang asli, dan Yusra memegang fotokopinya saja. Dan kini
Mirza mencoba melakukan latihan persentasenya menggunakan lisan, Yusra yang
sudah mendengarkannya akan mengomentarinya sehingga keduanya menjadi saling
berbicara sedikit.
“Menurutku, kau masih saja seperti membaca buku!”,
Yusra berkomentar melihat biasa.
“Oh tidak! Aku melakukannya sudah
tiga kali! Ayolah Yusra, say “Right”!”, keluh Mirza menatap gelisah.
“Persentase yang akan kau lakukan
memang harus menghafalkannya, tetapi harus dilakukan seperti sedang berbicara!
Bukan seperti membaca buku! Ayolah Mirza, you can do it!”, Yusra menjelaskannya
menatapnya bijak.
Mirza memegang kepalanya
menggunakan kedua tangannya, masih memegang kertas untuk mengahafal pada
persentase yang akan dilakukannya. Yusra yang baru mengerti kalau Mirza mulai
sedikit stress, akan memberi suatu nasihat, bujukkan serta rayuan.
“Coba kamu bayangin, mereka
sebagai tamu pada persentase yang akan kamu lakukan adalah tamu dihari
pertunanganmu! Dan aku, adalah Eisya! Kamu pasti begitu keras membuat dirimu
untuk lebih percaya diri bukan?”, Yusra mulai memberi nasihatnya. Mirza
menyimaknya akan menyahutnya.
“Ya Allah, Eisya didepanku kok
cowok banget yah mukanya!”, sahut Mirza menatap canda. Yusra menepuk pelan
lengan kanan darinya.
“Ayo Mirza, tunjukkan kepada para
tamu tersebut kalau kamu bisa melakukannya! Tunjukkan pada mereka, kalau kamu
tidak hanya bisa berbicara menggombali diriku saja!”, Yusra menyambungnya
dengan membujuknya sembari menyemangatinya. Mirza menatap kaget padanya. “Oyah,
sekarang gue menjadi Eisya!”, Yusra mengingatkan karna baru tersadar. Mirza
tersenyum mengejeknya. “Mirza, lakuin persentase itu demi gue! Ayaaaaangku! I
love you so much!”, Yusra memakai bahasa centil.
Mirza yang sudah mendengar katanya
yang berbahasa centil, menjadi tertawa terbahak-bahak namun berbisik. “Untuk
ayaaaank, apa sih yang nggak!?”, Mirza membalas rayuan Yusra yang memakai
bahasa centil percis seperti Eisya. Yusra berbalik menertawainya dengan
bersuara sedang. Kemudian menjadi terhenti saat ketika Mirza mulai menjahilinya
dengan menatap nakal lalu berkata, “Ayangku, Yus-Ra!”, memakai nada mendesah
nakal.
Namun ketika Yusra akan memukul
lengan darinya, Mirza langsung berlari menghindarinya dengan keluar dari ruang
kerjanya. “Dasar Mirza, awas saja kalau sampe gagal melakukan persentasenya!”,
bisik Yusra merasa kesal karna perlakuan jahilnya.
Setelah beberapa saat kemudian. . . .
Rapat
pun dilaksanakan, begitupula Mirza yang bersiap-siap untuk melakukan
persentasenya. Dan para tamu, termasuk Yusra sudah duduk ditempatnya
masing-masing menghadap ke Mirza yang sudah berdiri akan segera melakukan
persentasenya. Dan kini Mirza mulai menyapa kepada mereka semua para tamu
dengan senyum, sapa dan salam sebelum memulai persentasenya. Kemudian Mirza
memulai persentasenya secara lisan.
Dengan menghafal lebih dulu namun
dalam penyampaiannya harus seperti sedang berbicara bukan seperti membaca buku.
Disaat Mirza masih melakukan persentasenya, Mirza sesekali melihat ke Yusra
demi menambah rasa kepercayaan dirinya. Sementara Yusra baru mengerti lalu
menjadikan dirinya bergaya seperti perempuan, tepatnya lagi bergaya seperti
Eisya. Dan untung saja para tamu tidak melihat perbuatannya, sebab semua para
tamu sangat fokus pada Mirza.
Mirza yang masih melakukan
persentasenya dan Setelah beberapa jam kemudian, Mirza telah berhasil
menyelesaikan persentasenya. Dan semua para tamu mulai memberinya sebuah
tepukan baik, namun Yusra hanya tersenyum sambil mengisyaratkan kalau Mirza
telah berhasil melakukannya. Mirza yang sudah melihat Yusra mengisyaratkan itu,
memberi senyuman lalu melihat kesemua para tamu yang masih memberi tepukan baik
untuknya.
Badung Location. . . . Season 2
“Pernikahan Diatas Matrai”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar