Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #39

Dua minggu kemudian. . . .

Di sore hari, pesta pernikahan Negara dan Dilara sedang di selenggarakan. Negara dan Dilara sedang duduk di pelaminan, berpakaian pengantin berwarna putih. Keduanya tampak seperti raja dan ratu, yang sedang duduk di kursi singgasana megah. Sinar pancaran bahagia begitu merona dari sang kedua pengantin, melihat ke para tamu yang sudah turut menghadiri. Kemudian seorang kakak dari Negara, datang menghampiri Dilara dengan membawakan sebuah buket bunga.
Kakak dari Negara meminta keduanya untuk melempar buket bunga yang akan di tangkap oleh para tamu yang secara kebetulan, sedang melajang. Dilara pun menyetujui permintaan dari kakak dari Negara yang bernama Kusuma New Delhi. Dan Dilara bersama Negara mulai berjalan bersama ke depan, lalu berhenti dengan membelakangi para tamu. Sementara beberapa tamu yang secara kebetulan sedang melajang.
Mulai berebut dalam berbaris demi bisa menangkap buket bunga yang akan di lemparkan oleh kedua sang pengantin. “Aku harap, yang menangkap buket bunga ini adalah Milara.”, bisik Negara ketika akan bersiap tuk melemparkan buket bunga itu. Melihat ceria ke Dilara. “Bagiku, Firlana yang akan menangkap buket bunga ini.”, balas Dilara mengutarakan pengharapannya. Usainya berbicara, mereka berduapun mulai melemparkan buket bunga itu.
Lalu menjadi saling berhadapan bersama melihat ke siapa yang telah berhasil menangkap buket bunga itu. Ternyata yang berhasil menangkap buket bunga itu adalah Milara, Milara yang terdiam kaget melihat buket bunga yang sudah terlanjur ada di pegangan tangannya. Kemudian melihat ke Firlana yang secara kebetulan sedang berada disampingnya sejak tadi. “Firlana, mahukah kau menikah denganku?”, pinta langsung Milara padanya melihat tertegun.
Firlana menjadi terdiam kaget melihat padanya, berpaling sebentar melihat ke Dilara. Dilara menjadi mengangguk mempersilahkannya tuk menerima Milara. Dan Firlana kembali melihat ke Milara mengatakan, “Iya, aku mau. Sebab inilah jawaban dari kecurigaan saya, seketika kita sedang bersama dalam hubungan pekerjaan.”. semua tamu yang sempat menjadi hening dalam memperhatikan keduanya, tiba-tiba menjadi tertawa bertepuk tangan memberi selamat pada keduanya.
Begitupula Negara menjadi terharu melihat pemandangan dari keduanya, sedangkan Dilara mencubit pipi sebelah kanan dari dirinya sehingga membuat Negara menjadi melihat padanya. “Negara, hari ini bukan hanya hari bahagia untuk kita. Tetapi juga hari bahagia untuk mereka berdua.”, ungkap Dilara menatap haru. Negara pun menyambung, “Iya, kita telah berhasil menyatukan hati dari sahabat kita masing-masing. Sungguh aku semakin mencintaimu.”.
Usainya Dilara mendengar kata sambungnya, Dilara berjalan mendekati lalu mencium bibir dari Negara. Sedangkan Negara menjadi reflek menutupi bibir keduanya yang sudah tersentuh menggunakan tangan kanannya, baru membalas mencium bibir dari Dilara. Raya bersama Nil Ra, Firlana masih bersama Milara, menjadi bertepuk tangan sambil tertawa lucu gemas karna meiihat pemandangan dari kedua sang pengantin.

“Inilah jalan cerita cinta yang berujung kebahagian di akhir, setelah menunggu dalam penantian”
-Selesai-

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #38

Malam harinya, ada kabar baik yang di berikan oleh Firlana. Kini, tepat pukul delapan malam, ia baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Kedua orangtuanya serta Dilara yang sedang berada disampingnya, menjadi tersenyum menyambut kesadaran dari dirinya. “Abi, ami, Dilara. Aku sudah tertidur berapa lama?”, tanya Firlana dengan kondisinya yang masih lemah. Ayahnya menggeleng melihat dirinya haru berkata, “Sudah lupakan, yang penting sekarang kamu sudah bangun.”.
Sementara ibunya, beralih melihat ke Dilara mengucapkan terimakasih karna telah turut menjaga dirinya selama kurang lebih enam bulan lamanya. Dan suasana bahagia telah ada pada hati mereka masing-masing. Suasana bahagia nan haru mulai tercipta, saat Dokter mengatakan jika Firlana telah terbebas dari penyakit leukemia. Tangis haru dan rasa syukur pun mulai ditampakkan oleh mereka yang masih bersama. Dilara sudah mengetahui kalau Firlana adalah saudara sesusuannya.

Esok harinya. . . .

Pagi, sekitar pukul sembilan lewat sepuluh menit. Di dalam gedung kantor perusahaan milik keluarga dari Negara, terlihat Negara sedang berjalan tergesah-gesah di sertai wajahnya yang amat cuek. Ia sedang berusaha menuju ke ruang kerjanya, sebab telah ada suatu berkas pekerjaan yang harus segera tuk di revisi olehnya. Dan begitu ia telah sampai memasuki ke dalam ruang kerjanya, dirinya langsung duduk di kursi kerjanya tak menghiraukan apapun yang sudah tampak di dalam ruang kerjanya.
Kemudian ia mengeluarkan suatu perintah terhadap seorang yang merupakan asisten tetapnya, pikirnya selalu. “Serahkan padaku segera suatu berkas yang kemarin! sepertinya ada yang perlu saya revisi ulang.”, perintahnya sambil memeriksa beberapa berkas di meja kerjanya. Seorang yang merupakan asisten tetapnya itupun, bangun dari duduknya serta berjalan bergegas memberikan suatu berkas yang telah di maksud oleh dirinya.
Namun ketika Negara sudah menerimanya, dirinya telah menemukan sebuah kekeliruan. Seorang yang merupakan asisten tetapnya itu telah keliru dalam menyerahkan suatu berkas padanya. Negara menjadi hening sesaat, baru melihat ke wajah dari seorang asisten tetapnya itu, pikirnya sedari tadi. Namun yang terlihat malah berbalik, bukan wajah dari seorang asisten tetapnya tetapi wajah dari Dilara yang baru dilihatnya kini.
“Senang bisa mengenang kembali, saat saya masih menjadi seorang asisten sementara dari bapak.”, sapa Dilara ceria melihat Negara. Negara berdiam menatapinya bertanya. “Masih betah bersamaku? Apakah bapak pada waktu itu yang dulu, memintaku untuk menggantikan posisi dari seorang yang telah lama bekerja sebagai asisten tetapnya bapak?”, sambung Dilara bertanya.
“Dari dulu sampai sekarang, saya sama sekali tidak pernah terbesit, tentang apa yang baru saja telah kau tanyakan itu.”, ujar Negara membuat Dilara melihatnya hening.
Lalu terpancar dari kedua bola mata dari Dilara, yang menandakan adanya sebuah perasaan cinta, dan Negara telah dapat melihatnya di saat keduanya mulai saling bertatapan diam namun sebenarnya telah saling menunggu akan sebuah jawaban. Kemudian Negara akan berkata menyampaikan sebuah tanya beserta sebuah jawaban.
“Masih betah bersamaku? Seandainya kau menjawab “Iya”, pada waktu itu yang dulu. Maka, aku akan menjadikanmu sebagai asisten untuk sepanjang hidupku, istriku. Tapi sayangnya aku sudah cukup tahu, jika kau sama sekali tidak pernah menyukaiku…”, katanya dalam berusaha tuk menyampaikan. Lalu di sahut langsung dengan Dilara yang memberi pertanyaan padanya.
“Adakah sebuah arti dari jantungku yang berdegug, saat ketika bersamamu? Pak, maksudku, Negara, ya aku yang sekarang telah mencoba untuk berani menyambut rasa sukamu.”, Dilara menyahut mengutarakan yang telah terjadi padanya sendiri.
Negara sudah terlanjur mendengarnya, melihat tertegun mencoba memahami. Dilara yang mulai berpikir kalau Negara sedang meragukannya, memaksanya berkata menanyakan, “Tidak bisakah kita mencoba tuk bersatu sekarang?”. Negara menjadi tersenyum haru, mulai berjalan mendekatinya. Dan begitu Dilara melihat dirinya yang semakin mendekati, Dilara langsung melangkah kedepan hingga dapat memeluk dirinya. keduanya pun kini saling berpelukan, menikmati rasa yang baru saja tersambut.
Sebuah perasaan lega pun telah dapat mereka berdua rasakan. Dan kemudian Negara mencium mata kanan dari Dilara yang tertutup, masih dalam pelukannya menikmati rasa-rasa rindu yang semakin menjadi.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #37

Setelah beberapa hari terlewati, tepatnya di pagi hari setelah melakukan sarapan pagi. Dilara baru menyadari bahwa pada malam nanti, pesta pernikahan dari temannya bernama Raya akan segera dilaksanakan. Dilara yang sudah berada di dalam kamarnya, mencoba berpikir sejenak pakaian apakah yang akan ia kenakan. Dilara pun kini menjadi berjalan berbolak-balik, mencoba berpikir keras pakaian apakah yang akan ia kenakan pada malam nanti.
Beralih ke sana, Negara yang sedang duduk di kursi kerjanya, di dalam ruang kerjanya. Sedang mengamati sebuah undangan pernikahan yang harus di hadirinya pada malam nanti. Beralih kembali ke Dilara, Dilara sedang mengambil beberapa baju gaun miliknya dari lemari berniat akan mencobanya demi mengetahui cocok atau tidak ketika ia sudah memakai salah-satu dari beberapa baju gaun miliknya itu.

Dan malampun tiba. . . .

Malam telah menampakkan beragam keindahannya di pesta pernikahan Raya, seorang teman semasa SMA dari Dilara dan Firlana. Raya dan sang mempelai pria, mendapat sambutan, ucapan selamat dari para tamu yang turut menghadiri pesta pernikahannya. Dari sekian banyak tamu yang telah memberi selamat padanya, menghampirinya kepelaminannya. Ada seorang yang membuatnya merasa teramat girang nan haru, seorang itu baru tampak sedang berjalan menghampirinya kepelaminannya.
Seorang itu adalah Dilara, yang kini sedang berjalan sambil membawa kado mencoba menghampiri Raya di pelaminan. Dan begitu Dilara sudah berdiam, berhadapan dengan Raya di pelaminan. Raya langsung memeluknya menyalurkan rasa bahagianya. Dilara pun menjadi ikut merasa kebahagiaan darinya, mulai merasa tersentuh.
“Dilara di mana Firlana? Aku telah menunggu kedatangannya bersamamu.”, tanya serta bercurah Raya usainya melepas pelukannya. Menatap Dilara bertanya, mencari.
“Dia, sedang berhalangan hadir.”, Dilara langsung berkata menanggapi tidak mencritakan yang sebenarnya. Menatap canggung.
Raya meresponnya dengan langsung mempercayainya, menunjukkan senyum kebahagiaannya. Sedangkan Dilara beralih memberi selamat padanya, lalu mencoba melihat ke sang mempelai pria memberi selamat pula padanya. Namun amat disayangkan, Dilara kurang memperhatikan wajah dari sang mempelai pria tersebut. sebab Dilara terburu bergegas tuk meninggalkan pelaminan, meinggalkan kedua pengantin.  
Tak berapa lama Dilara pergi meninggalkan pelaminan. Sang mempelai pria yang sudah terduduk di kursi pelaminannya, tiba-tiba saja menjadi berdiri dari duduknya. Ketika baru saja melihat, mengetahui jika seorang tamu laki-laki telah berjalan mencoba tuk menghampirinya. Sang mempelai pria tersebut adalah Nil Ra, dan seorang tamu laki-laki itu adalah Negara. “Raya, lihatlah! Temanku sudah datang.”, katanya berbisik memberitahukan Raya.
Raya yang sedang duduk telah mendengar bisiknya, melihat padanya. Tiba-tiba saja menjadi ikut berdiri ketika sudah mengetahui siapa seorang teman yang telah dimaksud oleh Nil Ra. Mereka berduapun kini menjadi melihat bersama ke Negara, menantinya di pelaminan. Dan begitu Negara telah berdiam dihadapan keduanya, di pelaminan. Negara melihat bingung kepada kedua sang mempelai, sebab kedua sang mempelai berdiam menatap pada dirinya sedikit tersenyum canggung.
“Selamat malam, pak. Maaf jika kami hanya berdiam sedikit tersenyum canggung, dalam menatap bapak.”, Nil Ra memberanikan tuk berkata menyampaikan kata maaf. “Selamat ya, sudah sah menjadi suami istri.”, Negara baru memberi selamat melihat keduanya. Raya sang mempelai wanita menjadi tersenyum lepas melihat keduanya. Sedangkan Negara baru saja terpandang pada Raya, lalu tertolehkan kepalanya ke belakang, tak sengaja melihat Dilara sedang seorang diri.
Negara pun spontan menjadi melangkah pergi meninggalkan kedua sang mempelai, sebab tujuannya kini terarah pada Dilara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Kini Dilara sedang berjalan melihat pemandangan, hiburan yang ada. Ia merasa sepi, sebab baru terpikirkan kalau Firlana sedang tidak bersamanya, tidak pula menjadi seorang partner di pesta pernikahan dari Raya. Kemudian ada seorang yang menghentikan jalannya dengan seorang itu memilih berdiam di depannya. Dilara pun menjadi tersadar melihat ke seorang itu, “Pak Negara, kenapa bisa sampai ke pesta pernikahan dari teman semasa SMA ku?”, tanyanya begitu sedikit terkejut.
Negara berdiam melihatnya lalu mengajaknya untuk melihat sang mempelai pria di pelaminan, dengan memalinngkan wajahnya sendiri melihat ke sang mempelai pria. Dilara menjadi reflek mengikutinya, lalu bergumam
“Astaga, baru aku sadari kalau dia adalah Nil Ra?”, seketika baru mengetahuinya. Negara memalingkan wajahnya sendiri kembali melihat Dilara. “Apakah Nil Ra turut mengundang dirimu juga?”, tanya Negara ingin mengetahui kehadiran Dilara di pesta pernikahan dari Nilra. Dilara menjadi tersenyum melihat padanya balik, kembali.
“Sang mempelai wanita, adalah teman semasa SMA ku. Kalau benar begitu, berarti kita telah turut menghadiri pesta pernikahan dari teman kita masing-masing.”, bahasanya lembut menjawab tanya dari Negara. Usai menjawab, Dilara memperhatikan Negara yang memakai baju kemeja berwarna merah muda. Sedangkan dirinya memakai baju gaun berwarna hitam.
“Ada apa dengan penampilanku? Tampak begitu soft ya?”, tanya Negara setelah melihat Dilara memperhatikan penampilannya. Dilara mulai menatapnya tertegun. “Ayo, kita berdansa seperti para tamu lainnya.”, ajak Negara menyambung menatap mulai menggoda. Dilara menjadi menatap keluh baru berkata,“Tidak terimakasih.”. Dan keduanya akan saling berbicara, seperti sedang melepas rindu setelah tidak cukup lama tidak bertemu bertatap muka.
“Dilara, setelah momen perpisahan itu terjadi, tidakkah kau ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Negara mengingatkan momen perpisahan pada waktu itu.
“Jadi maksud bapak, ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Dilara sebab merasa bingung.
Negara mengangkat kedua tangannya, kedua telapak tangannya menyentuh wajah dari Dilara memakai sentuhan lembut. “Sungguh, saat ini aku telah memakai seluruh perasaanku.”, katanya menatap tajam mengutarakan perasaannya melalui kontak mata. Dilara pun telah dapat membacanya, berdiam diri, membisu sambil merasakan degug jantungnya bergejolak lagi. “Sudahkah ada cinta untukku?”, sambung Negara bertanya soal cinta padanya.
Dilara menjadi beralih melihat ke bawah, teringat dengan bayang-bayang tentang perjodohannya serta kejadian pada malam itu. Pada malam itu dimana sahabatnya, Firlana sedang berada dirumah sakit, sementara Dilara sedang menunggu kedatangannya dengan duduk bersama Negara di bawah langit penuh bintang. Hingga pada akhirnya Dilara membaca sebuah pesan dari Firlana yang membatalkan janjinya, tuk menemuinya di sebuah taman pada malam itu.
Setelah hening berjalan karna Dilara terbayang-bayang hal demikian, Dilara baru berkata lagi. “Pak, sepertinya saya harus pulang sekarang.”, pamitnya ingin meninggalkan Negara. Negara yang sudah mendengarnya, melepaskan kedua telapak tangannya dari menyentuh wajah Dilara. Berpaling melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Dan ketika Negara akan kembali berpaling melihat ke Dilara, Dilara sudag lebih dulu pergi dengan meninggalkan sentuhan pada tangannya.
Negara sudah mengutarakan seluruh perasaannya, bahkan tadi sudah menanyakan soal cinta pada Dilara. Dan Negara hanya meratapi Dilara yang masih berusaha pergi menghindar darinya. Sementara Dilara yang sudah berada di luar area tempatpesta pernikahan Raya berlangsung, menjadi menangis kecil. Sebab merasa dilema dengan apa yang sudah diutarakan oleh Negara padanya tadi, dengan bayang-bayang itu yang telah teringat olehnya kembali. Dan mulai memikirkan keduanya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Malam telah berganti pagi. Pada pukul delapan pagi lewat beberapa menit. Dilara telah berada di rumah sakit tempat Firlana masih di rawat. Bahkan ia kini di sana baru saja memasuki ruang ICCU, lalu duduk berdiam meratapi sahabatnya yang masih betah tidur dalam lelapnya. Saat ketika sudah berdiri meratapinya, Dilara tiba-tiba saja terpandang pada sebuah kertas yang terletak pada meja, tepat di samping tempat tidur dari sahabatnya itu berbaring.
Dilara pun mengambil sebuah kertas yang kian membuatnya menjadi semakin penasaran saja. Dan ternyata setelah di amati, sebuah kertas tersebut merupakan sebuah undangan dari Raya untuk sahabatnya itu. “Raya? Pantas saja ia menanyakan tentang kedatangan dari Firlana semalam tadi.”, gumamnya berbisik megamati sebuah undangan dari Raya tersebut. Tanpa di ketahuinya, yang telah membawa undangan tersebut adalah ayah dari Firlana, tepatnya pada semalam tadi.
Dan tanpa di saksikan olehnya, ayah dari Firlana telah membacakan isi dalam undangan tersebut. Bersamaan dengan pesta pernikahan dari Raya di sana, sedang berlangsung pada semalam tadi. Ada sebuah hikmah yang telah didapatkan oleh ayah dari Firlana. Setelah membaca isi dalam undangan tersebut, Firlana telah menunjukkan sebuah respon dengan menunjukkan senyum amat kecil di bibirnya. Dan ayah dari Firlana yang sudah melihat secara bersamaan, menjadi tersenyum semangat.

Enam bulan kemudian. . . .

Sudah genap enam bulan Firlana telah di rawat, di rumah sakit yang sama serta keadaannya yang masih sama. Hampir tidak ada perubahan yang ia tunjukan, dan monitor yang mengontrol kondisi dirinya kadang menurun, namun selalu dapat stabil dengan sendirinya. Kini ia sedang di temani oleh ibu kandungnya, yang baru saja berhasil di temui oleh ayahnya setelah sekian bulan mencari keberadaan dari ibu kandungnya.
“Firlana, ini ami. Maafkan ami yang telah membuatmu menunggu lama, serta membuat abi menagalami kesulitan dalam mencari keberadaan ami.”, curahnya berbisik haru meratapi wajah putra semata wayangnya. Ayahnya yang sedari tadi ada bersamanya, berada disamping ibu kandungnya akan berkata sesuatu. “Tidak usah kau sesali itu. mungkin sudah begitu jalannya. Jangan bersikap mensesali.”, ayahnya menghibur ibu kandungnya.
Lalu secara tiba-tiba, terdengar suara monitor yang menandakan bahwa jantung dari Firlana mulai melemah. Ayahnya pun langsung bergegas memanggil suster terdekat, dan ibu kandungnya bergegas menyusul ayahnya ikut memanggil seorang suster terdekat. Kedua orangtuanya merasa panik, hingga mata dari keduanya mulai berkaca-kaca ketika sudah melihat beberapa suster bergegas akan menangani putra semata wayang mereka berdua.
Sementara di luar ruangan, tampak Dilara sedang berjalan akan segera menuju ke ruangan dari Firlana. Namun ketika sudah sampai baru melewati jendela ruangan dari Firlana, langkahnya menjadi terhenti karna terpandang pada jendela ruangan tersebut yang telah tertutup tabir. Dilara pun mendekati jendela yang telah tertutup tabir itu sambil merabanya, merasakan cemas ketakutan sehingga mengetuk kecil jendela itu.
Didengarnya jika suara monitor seperti sedang berisik, suara gerak-gerik para suster dan dokter pun mulai didengarnya. Dirinya menjadi terdiam hening sesaat, menikmati suara yang sedang beraktifitas di balik jendela yang tertutup tabir itu. lalu kemudian menjadi melangkah mundur tiga langkah, berhenti di tempat sambil menutup kedua telinganya. Tangisannya pun menjadi pecah, terisak meraung seorang diri.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Kemudian Dilara memberanikan diri tuk membuka kedua telinganya kembali, terlihat kini kedua tangannya menggantung lemas ke bawah. Terdengar suara monitor dari dalam ruangan tersebut sudah mereda, rasa lega pun mulai di rasakannya. Lalu ia mendengar suara yang telah memanggil dirinya, tepat di arah samping kanan dirinya. Dan ketika ia mencoba melihat ke siapa yang telah memanggilnya tadi, mendadak dirinya menjadi kaget.
Sebab siapa yang telah memanggilnya tadi adalah Milara. “Katakan padaku? Siapa yang sudah kau tangiskan?”, tanya Milara begitu menanyakan menatap Dilara. Dilara menjadi menangis kecil melihat kebawah. “Kenapa ibu Milara bisa sampai ke sini?”, Dilara berbalik tanya. Milara pun menjawab, “Saya sedang menemani sahabat saya menebus obat untuk ibunya, tepat di apotik rumah sakit ini.”. Dilara sudah mendengar jawaban darinya, berdiam hening.
Sedangkan Milara terpandang pada ayah dari Firlana yang baru saja keluar dari pintu ruangan ICCU. Ayah dari Firlana pun menjadi terpandang pula padanya, lalu berkata meminta Milara untuk ikut dengan dirinya. Milara langsung meresponnnya dengan berjalan menghampiri, dan mereka berdua pergi bersama ke suatu tempat untuk bicara. Meninggalkan Dilara bersama seorang lagi. “Apa kabar? Aku dengan seluruh perasaanku yang masih sama. Telah tak terlihat oleh pandanganmu.”, sapa seseorang.
Seseorang yang sedari tadi telah tertutupi oleh tubuh Milara, sebab berdiam dibaliknya. Dilara yang hening meratapi Milara sedang berjalan pergi bersama ayah dari Firlana, baru menolehkan kepalanya ke arah seseorang tadi yang telah bersapa dengannya. “Bapak?”, sapanya lemas bertanya mulai menatapi. Seseorang tersebut adalah Negara, yang telah mengajak Milara untuk pergi bersama demi membelikan obat untuk ibunya sendiri tepat di apotek rumah sakit ini.
“Siapakah yang sedang sakit? Sehingga membuatmu menjadi begitu tersedih seperti itu?”, Tanya Negara segera ingin mengetahui. Mencoba menatap bijak. Dilara menatapnya sedih, lalu berkata, “Firlana. Dan mungkin kini, ayahnya sedang mencoba untuk bicara dengan ibu Milara. Agar ibu Milara tidak menjadi salah paham.”. Mendengar tuturnya, Negara mengangkat tangan kanannya menyentuh kepala dari Dilara, karna baru mengetahui sebab Dilara begitu tersedih.
“Sabar ya.”, Negara baru berkata lagi menatap begitu haru. Lalu di sambung tangan kirinya memegang kepala dari Dilara, dan menarik kepala dari Dilara hingga tersandar di dada dari dirinya sendiri. Dilara yang sudah merasa kepalanya telah tersandar di dada dari Negara, merasa tenang hatinya serta merasa begitu tegar dengan seketika. “Terimakasih bapak, telah mencoba memberi sandaran padaku di saat aku yang sedang berduka kini.”, Dilara berucap terimakasih bernada sedikit pilu.
Usainya berucap, Dilara mengangkat kepalanya dari sandaran di dada Negara, beralih melihat Negara yang juga melihat padanya. Lalu tertolehkan terpandang Milara yang sudah datang kembali bersama ayah dari Firlana. Ayah dari Firlana berhenti di samping pintu ruang ICCU, sedangkan Milara menghampiri Negara. Dan ketika sudah berhenti di antara keduanya, Milara menetap melihat ke Dilara akan berbicara.
“Ayahnya sudah menceitakan semuanya. Terimakasih, karna selama ini kamu sudah turut menjaganya. Kamu, benar-benar sosok seorang sahabat yang baik untuknya.”, Milara mengutarakan serta berucap terimakasih padanya. Dilara menjadi sedikit kaget padanya, beralih melihat ke ayah dari Firlana. Lalu didengarnya kalau Milara berkata pamit padanya, membuat Dilara kembali melihat ke pada dirinya. Dengan hanya memberi senyum, Dilara mempersilahkannya.
Dan Milara yang sudah melihat, mulai bergegas melangkah kecil. Begitupun Negara mengikuti Milara bergegas, setelah melihat diam ke Dilara. Sementara ayah dari Firlana yang sudah melihat perpisahan dari mereka bertiga, mulai merasa tersentuh terinngat wajah dari putra semata wayangnya yang kala itu masih sehat.         

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #36

Dua hari kemudian. . . .

Di malam hari, Negara sedang melakukan panggilan video call dengan Dilara, di rumah kediamannya masing-masing. Dilara sedang berada di balkon depan rumahnya. Sementara Negara sedang berada di ruang kerjanya, tepatnya sedang duduk sendiri di hadapan laptop kerjanya. Dalam keadaan yang demikian, mereka berduapun mulai berbincang, membicarakan tentang hari esok.
“Apakah saya telah mengganggu malammu?”, tanya Negara melihat biasa.
“Bapak, sudah ketiga kalinya bapak bertanya yang sama secara berturut. Mulailah bapak mengajakku berbicara denganku memakai topik yang lain.”, Dilara mengingatkan melihat biasa namun menunggu.
“Masih betah bersamaku?”, tanya Negara memancing pengakuan darinya. Dilara menjadi tertawa kecil sebab sedikit merasa geli dengan tanya dari dirinya.
“Sebagai seorang asisten sementara dari bapak. Ya, mesti betah-betahin lah dengan beragam tugas yang telah bapak percayakan kepada saya.”, jawab Dilara begitu merasa biasa terhadap dirinya.
“Ternyata kau kurang memahani maksud diriku. Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang yang dahulu.”, Negara mulai memberitahukan sesuatu menatap keluh. Sedikit berkeluh.
“Jadi bapak bermaksud, telah menjamin sebuah rasa bahagia untukku? Pada hari esok?”, Dilara bertanya mencoba mengerti namun telah ada sebuah kekeliruan.
Negara pun memberi senyum lepas menunjukkan pesona, seolah menunjukkan bahasa tubuh yang tak ingin melanjutkan perbincangannya lagi dengannya. Dilara yang merasa sudah mengerti dengan bahasa tubuh dirinya, memberi senyum balik sebab tidak tahu harus meyambung perbincangannya dengan berbicara tentang apa. Namun kemudian setelah hening sempat terjadi, Negara mulai berbicara lagi, “Bicaralah”, memberi kesempatan Dilara tuk berbicara.
 “Apa bapak sudah merasa cukup berbicara dengan saya malam ini?”, Dilara menyahut tanya menatap menunggu kepastian dari dirinya. Negara memberi senyum lepas menunjukkan pesonanya lagi, “Sampai jumpa pada hari esok. Selamat malam.”, katanya mencoba mengakhiri. Dilara menjadi tertawa kecil lalu menyahut, “Terimakasih, selamat malam juga bapak.”. usainya mendengar sahutan terakhir darinya, Negara pun memutuskan video callnya.
Bahasa tubuh yang sempat Negara tunjukkan tadi, didasari oleh rasa keluhnya yang telah kurang dimengerti maksud dari dirinya, oleh Dilara. Dan ketika Dilara sempat mencoba mengerti, telah ada sebuah kekeliruan. Sebab apa yang tadi sudah Dilara tanyakan maksud dari dirinya serta mengujarkan, bukan sebuah jawaban yang sedang ditunggu oleh Negara. Karna Negara membutuhkan sebuah pengakuan dari apa yang sempat ditanyakan tadi pada Dilara.
Dari jawaban Dilara itulah, yang telah menghancurkan keinginan Negara tuk menyambung perbincangan mereka berdua lagi. 

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Hari esoknya, di dalam gedung kantor perusahaan milik keluarga Negara. Tampak Dilara sedang berjalan dengan terburu-buru karna sudah mengetahui bahwa dirinya telah terlambat sampai ke kantor. Namun ketika benar sudah sampai ke ruang kerja dari Negara, tiba-tiba saja tangannya di pegang oleh seorang bersamaan dengan dirinya yang akan memegang gagang pintu ruang kerja dari Negara. Seorang yang telah memegang tangannya itu ialah Negara.
Dilara sudah mengetahui melihat padanya berdiam, sedangkan Negara membuka pintu ruang kerjanya sembari menunjukkan seorang wanita di dalam ruang kerjanya. Dilara pun melihat ke seorang itu, lalu melihat lagi ke Negara masih berdiam. Negara menutup pintu ruangannya kembali, dan mereka berdua bertahan berdiri di luar tepat di depan pintu luar ruangan dari Negara. “Kenapa bisa terlambat?”, Negara mulai berkata bertanya melihat pada dirinya.
“Maaf, pak. Saya telat bangun pagi, dan sebab itu saya terjebak macet selama beberapa menit.”, Dilara mengatakan kendalanya mengapa dirinya bisa terlambat pergi ke kantor. “Masih betah bersamaku?”, Negara mengulang tanyanya pada tadi malam. Dilara menjadi menatap tanya, sebab dua kali sudah Negara menanyakan yang demikian. Sedangkan Negara terpandang ke sekitarnya, dimana para karyawannya sudah berdatangan melakukan tugas pekerjaannya masing-masing.
Setelah terpandang ke pada para karyawannya itu, Negara mengajak Dilara untuk pergi ke café yang terletak di luar gedung. Dilara pun mengiyakan ajakan darinya, dan mereka berduapun mulai beranjak beralih dari tempatnya menuju café sebagai tujuan dari keduanya.

Beberapa saat kemudian. . . .

  Kini keduanya telah duduk berhadapan di café yang tadi sebagai tujuan dari mereka berdua, keduanya sedang berpandangan diam dan akan memulai perbincangannya. “Pak, saya mulai merasa penasaran dengan seorang wanita yang telah duduk di kursi kerja, tempat saya.”, ungkap Dilara memulai berwajah tanya. Negara menarik nafasnya berwajahkan sedikit dingin menyahut, “Bukan dia yang telah duduk di kursi kerjamu. Tapi kamu yang telah sementara duduk di kursi kerjanya dia.”, penjelasannya.
“Apakah dia sudah kembali, seorang asisten tetapnya kamu?”, Dilara bertanya wajahnya mulai menggebu-gebu. Negara pun mengulang katanya yang kemarin, “Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang yang dahulu.”. Spontan Dilara menjadi tertawa kecil berwajahkan bahagia, mengangguk karna baru mengerti terhadap perkataan yang telah di ulangi olehnya itu.
Kemudian Dilara menjadi berhenti dari tawanya, wajahnya yang bahagia seketika berubah menjadi menanyakan. Sebab Negara menanyakan lagi sebuah tanya yang sama, “Masih betah bersamaku?”. “Ini sudah ketiga kalinya kamu menanyakan sebuah tanya yang sama padaku. Haruskah aku menjawab yang sama seperti yang sudah….?”, keluh Dilara sedikit mencoba menegaskan. Namun telah di sahut oleh Negara, menyanggah.
“Bukan jawaban itu yang aku mau, aku hanya butuh pengakuan dirimu dari pertanyaanku yang sama. Itu saja, Dilara!”, menegaskan menatap sedikit dingin. Dilara menunjukkan wajah lemas berkata, “Dingin, pak.”, sebab merasa bahwa peperangan dingin akan terjadi. Lalu melihat ke bawah mengalah. “Memang benar seorang yang sedang berada di dalam ruang kerjaku, seorang asisten tetap dari ku yang telah kembali bekerja.”, Negara berbicara lagi berubah menunjukkan bahasa lembut.
Dilara menetap melihat ke bawah, memberi senyum serta memberi selamat padanya. “Sekarang kamu bebas. Pergi kemana saja yang kamu suka. Lagipula kau tidak harus menemaniku lagi bukan?”, Negara mengatakan tentang kebesan untuk dirinya berusaha tegar. Dilara menjadi melihat padanya lagi, merasa tersentuh. “Kebersamaan kita telah berakhir sampai di sini pak.”, sambung Dilara merasa tegar. Dan Negara memegang tangan kanan dari Dilara yang terletak di meja, menggenggamnya.
Dlara yang merasakan serta begitu mengetahui, jantungnya mulai berdegug merasakan sebuah gejolak. Sedangkan Negara merasa sedikit mulas pada perutnya sendiri, mencoba tidak merasakan rasa mulas pada perutnya. “Terimakasih untuk bantuanmu, sibukmu, waktumu, lelahmu, kebosananmu dan yang lainnya. Maaf, bila ada yang sudah mengganggumu serta membuatmu pernah merasa tidak berkenan.”, kata perpisahannya kepada Dilara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Lalu Negara melepaskan genggamannya sebab ada yang tiba-tiba saja menghubunginya. Negara pun mengangkat teleponnya, menganggurkan Dilara sesaat. Dilara yang melihat Negara sedang berbicara dengan seorang melalui telepon. Menjadi tersenyum sambil mengatakan, “Dimulai hari ini, saya tidak akan lagi di buat menunggu kedatangan bapak dari pertemuan lagi, pertemuan lagi.”, sedikit mengejek.
Negara yang telah mendengar kata darinya, memberi senyum masih berbicara dengan seorang tersebut melalui teleponnya. Suasana kini berubah menjadi santai, begitupun Negara yang sudah memutuskan teleponnya. “Sampai dimana tadi?”, tegur Negara melihat Dilara yang sedang meminum minumannya. “Sampai benar bapak menyuruh saya untuk pulang.”, sahut Dilara mengajak canda. Karna Dilara sudah merasa begitu tegar.
Negara menjadi tersenyum melihatnya senang. “kalau begitu, ya silahkan. Tapi ingat, jangan lupa untuk main-main lagi ke sini. Sudah paham?”, Negara mempersilahkannya menunjukkan perasaan senangnya. Dilara pun berdiri dari duduknya mencoba menatapnya, berdiam. Negara dengan cueknya masih duduk melihat padanya. “Rasanya baru kali ini, saya melihat lagi karakter khasnya kamu. Cu-ek!!!!”, Dilara mengungkap apa yang telah ada pada pikirannya.
Negara menjadi berdiri pula, lalu berkata menyahutnya. “Jangan salah paham dulu, karna bila sekali dia memberi perhatian. Maka akan terasa begitu mengesankan.”, Negara mencoba menyanggah dengan sedikit menggoda. Dilara menjadi tersenyum manja menatap kagum. Dan Negara memberi tangannya, mengajak tuk segera berpamitan. Dilara yang baru melihatnya, menggapai tangan dari Negara menikmati sebuah perpisahan.
“Aku akan merindukanmu. Bukankah sekarang kita sudah menjadi teman?”, ungkap Negara bersambung tanya menatap seperti menyanjung Dilara. Dilara ,mulai menatap sedikit malu, mengangguk. Lalu menarik tangannya sendiri, baru memulai beranjak meninggalkan Negara. Negara yang sudah melihat tingkahnya, dapat memaklumi sebab telah di ketahui kalau Dilara sedang mengalami salah tingkah.

Selang waktu berjalan. . . .

Kini Dilara sedang berada di rumah kediamannnya kembali. Dilara sedang berdiri di depan jendela, di dalam kamarnya yang terbuka. Ia sedang menghirup udara mencoba meresapinya secara perlahan, mengingat momen perpisahannya tadi dengan Negara. Lalu ia berbalk, membelakangi jendela kamarnya yang terbuka, tiba-tiba saja menunjukkan wajah girang melihat langit-langit kamarnya. Dan Dilara akan mengungkap sesuatu yang baru saja telah dapat dirangkum oleh hatinya.
“Jantung yang telah berdegug, bergejolak ketika sedang bersamanya. Baru tersadari olehku, bahwa itu adalah sebuah tanda jika aku telah jatuh hati padanya.”, ungkapnya bernada girang dapat menerima yang sudah terjadi pada dirinya. Lalu melangkah masih melihat ke langit-langt kamarnya menyambung, “Tuhan, aku tidak pernah merasakan sebuah rasa yang amat indah ini. Sungguh sebuah anugerah yang telah lama aku tunggu.”, berhenti langkahnya berdiam menatapi langit-langit kamarnya.
Sementara Negara di sana, ia sedang berdiri mengahadap jendela yang terbuka di dalam ruang kerjanya. Negara pun berbisik, “Rasa lega muncul, ketika dirinya telah tiada di hadapanku. Sebab rasa mulas pada perutku tidak aku rasakan lagi. Namun, aku sudah pastikan kalau diriku telah menantinya tuk kembali di sini, bersamaku, milikku.”. Mereka berdua telah saling membicarakan, tapi akankah ada sebuah momen penyatuan antara apa yang telah mereka berdua rasakan? Simak saja lagi ceritanya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #35

Hari telah berganti sore, Dilara yang baru saja dapat menyelesaikan tugasnya sepuluh menit lebih cepat dari jam pulang kerjanya. Terpikirkan akan meminta izin pulang pada Negara, berniat akan berkunjung ke rumah kediaman dari Firlana. Sebab ia sudah tidak sabar tuk segera mengetahui keadaan yang sebenarnya dari Firlana yagg baginya sangat misterius. “Tuhan, perkenankalah aku sekarang.”, gumam pintanya dihati.
Lalu berdiri berniat akan menghadap Negara yang sibuk dengan pengerjaan tugasnya. Dan Negara pun kini telah terpandang pada dirinya yang baru saja berhenti di depan meja kerjanya sembari menghadapnya. “Pak, saya ingin meminta izin untuk pulang lebih awal? Tepatnya sekarang!”, pintanya berbahasa lembut tegas. Melihat sedikit yakin. Negara beralih sejenak melihat ke jam dinding usai mendengar pinta permisi dari dirinya.
“Tidak bisakah kau menunggu jam pulang telah tiba? Tangung loooh.”, Negara memberi pengarahan di akhiri sedikit mengajak canda dengan melihat lagi kepada dirinya.
“Maaf pak, saya, sudah terlanjur mengirim pesan kepada teman saya. Bahwa saya akan pergi menemuinya di waktu sekarang.”, Dilara mengatakan alasannya dengan kebohongan. Menetap melihat sedikit yakin.
Negara mulai merasa bingung, mendiamkannya sejenak lalu kemudian mempersilahkan dirinya untuk pulang. Dilara yang masih bertahan berdiri menghadapnya, mulai menunjukkan senyuman setelah di dengarnya kalau Negara telah memberi izin pada dirinya untuk pulang sekarang. Dilara pun beranjak beralih mengambil tas miliknya, lalu benar beranjak akan keluar dari ruangannya dan akan memantapkan tujuannya tuk berkunjung ke rumah kediaman dari Firlana.
Dan selang beberapa waktu berjalan, Dilara telah memasuki jalan mendekati dimana rumah kediaman dari sahabatnya itu berada. Namun ketika dirinya makin mendekat, terlihat sebuah mobil baru saja keluar dari rumah kediaman sahabatnya itu. Dilara yang sedang mengendarai mobilnya sendiri, memilih untuk membututi mobil yang sudah di lihatnya saja. Tak berapa lama dirinya membututi mobil yang sudah di lihatnya itu.
Ia pun baru tersadar jika mobil tersebut telah membawanya ke sebuah rumah sakit. Kini seorang telah keluar dari mobil tersebut, dan Dilara yang sudah mengetahui akan segera berjalan perlahan membututinya lagi. seorang yang telah keluar dari mobil tersebut merupakan ayah dari Firlana.

Beberapa saat kemudian. . . .

Dan kini Dilara telah dapat mengetahui, tujuan dari ayah sahabatnya itu berkunjung ke rumah sakit ini. Sebab telah di saksikannya, jika ayah dari sahabatnya itu sedang memberi obat kepada seorang suster di dalam ruang pasien. Melalui sebuah jendela, Dilara juga dapat melihat Firlana yang sedang tertidur. “Sekarang baru aku mengerti. Berbagai macam firasat yang pernah aku rasakan, yang berkaitan denganmu. Inilah jawaban sekaligus kenyatannnya.”, bisiknya kecil meratap sedih.
Lalu dilihatnya ayah dari sahabatnya itu keluar dari ruangan dengan berjalan membelakangi, tidak sempat melihat kepada dirinya yang sedang melihat padanya. “Tunggu aku, semoga Tuhan perkenan aku untuk bisa berbicara denganmu. Sesua dengan jam masuk di ruangan, I-C-C-U ini.”, bisiknya lagi ketika terpandang ke jam besuk pada pintu ruang ICCU. Setelahnya berbisik untuk yang kedua, Dilara pun beralih pergi berharap jika pada esok hari ia akan bisa berbicara dengannya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Esok harinya, jam kerja baru saja di mulai sekitar satu jam yang lalu. Ditengah seriusnya Dilara sedang mencari bahan pengerjaan dari tugasnya di internet. Tiba-tiba saja mendengar sebuah sapa dari Negara yang sedang duduk di kursi kerjanya sendiri. Dilara pun mengalihkan kesibukannya dengan beralih melihat ke Negara. Berdiam menunggu apa yang akan di sampaikan olehnya.
“Hari ini ada sebuah pertemuan dadakan. Jelas saja, saya merasa kaget namun tidak mungkin saya menolaknya.”, terbuka Negara melihat biasa.
“Lakukan saja, pak! Tapi, bolehkah aku meminta ijin untuk berjalan-jalan keluar? Sebab, aku ingin menjenguk temanku yang kemarin, jelasnya dia sedang sakit.”, Dilara mempersilahkan. Meminta ijin dengan menyampaikan alasannya secara jujur.
“Sebentar, seingatku kemarin kamu tidak sampai menyampaikan itu?!”, Negara menanyakan sembari mengingatkannya. Berbahasa menunjukkan curiga.
Dilara menjadi berdiam sejenak melihat diam padanya. “Tapi pak, kali ini aku benar jujur loooh.”, Dilara mencoba meyakinkannya. Lalu mengingat kebohongan dirinya terhadapnya kemarin. Negara pun berdiri dari duduknya, berkata “Baiklah. Tapi kau harus kembali sebelum jam makan siang tiba! Sebab saya tidak ingin kau belum kembali, sementara saya sudah kembali.”. Katanya mengijinkan namun telah bersifat bersyarat.
Dilara menjadi tersenyum lepas, melihat padanya dengan mata yang mulai berbinar-binar. Sedang Negara melihatnya dengan senyuman kecil namun telah menahan rasa terpananya terhadap Dilara. Kemudian beralih dengan beranjak pergi menuju ke luar ruangan. Dan ketika Dilara sudah melihat ketiadaaan Negara dari ruangannya. Dilara berbisik meratapi pintu ruangan yang sudah tertutup.
“Hari ini aku telah merasa senang, karna dirinya.”, curahnya tersadar kalau Negara pengertian padanya. Usainya berbisik bercurah, Dilara pun mulai bergegas pergi keluar ruangan akan segera pergi ke rumah sakit tempat Firlana telah dirawat. Keadaan ruangan tersebut pun akan menjadi sepi tak bertuan selama beberapa jam saja.

Selang waktu berjalan. . . .

Dilara telah sampai ke sebuah rumah sakit tempat Firlana telah dirawat. Ia kini sedang duduk menanti Firlana membuka mata, akan berbicara dengannya, pikirnya penuh harap. Namun ketika sudah tigapuluh menit ia menunggu, Firlana tak kunjung membuka matanya. Dan Dilara mencoba melihat ke arah lain, dan terlihatlah seorang suster baru saja berdiam dihadapan tempat tidur dari Firlana.
“Beristirahatlah dulu, saya khawatir anda akan menjadi sakit karna menunggunya.”, suster itu memintanya tuk beristirahat menatap curiga.
“Kalau boleh saya tahu, apakah dokter sudah memberinya obat tidur? Tepatnya sebelum saya berada di sini?”, tanyak Dilara karna ketidaktahuannya.
“Maaf sebelumnya, pasien bernama Firlana tidak akan membuka matanya. Dan kami tidak tahu kapan ia akan membuka matanya, semua tergantung pada dirinya.”, suster itu memberitahukannya sembari menjelaskan.
Dilara menjadi terdiam hening melihat padanya. “Ko-ma?”, tanya Dilara ingin memastikannya melihat kaget bercampur haru. Suster itu mengangguk bertatap pasrah. Sedangakn Dilara mencoba berdiri, berniat akan menangis di luar ruangan saja. Sebab ia tidak ingin suara isak tangisnya dapat terdengar oleh sahabatnya itu. Dan Dilara pun mulai beranjak keluar, meninggalkan suster yang masih berdiri. Ketika sudah berada di depan pintu luar ruangan, Dilara memecahkan tangisnya.
Dalam isak tangisnya Dilara berucap pada hatinya. “Tuhan, terimakasih karna Engkau telah memperkenanku di hari kemarin. Terimakasih pula untuk hari ini. Dan sekarang aku sangat memohon, bangunkanlah sahabatku dari tidurnya. Sungguh ku mahu menjadi seorang yang bisa membuatnya untuk bangun segera.”, ucapnya berdo’a begitu tersedih.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

                Dan kemudian tidak sengaja melihat ayah dari Firlana sedang berjalan akan memasuki ruang ICCU, Dilara langsung mencegahnya dengan menghadang pintu ruang ICCU. Ayah dari Firlana pun menjadi berhenti kaget melihat padanya, baru mengetahui kalau wajahnya merupakan seorang teman dari putranya. Dilara mulai berbicara, “Saya tidak ingin banyak berbicara. Cukup om beritahu saya saja, sejak kapan Firlana menderita sakit di dalam ruang ICCU ini, om?”, tanyanya pilu.
Ayah dari Firlana langsung menjawabnya tanpa berbasa-basi lebih dullu. “Sejak pada malam itu? suatu ketika ia sudah berjalan dengan motornya menuju ke sebuah taman, demi menemui dirimu yang sedang menunggu.”, kata pemberitahuannya mengingatkan malam itu pada Dilara. Dilara langsung mennyambung, “Kecelakaan apa yang telah di alami dirinya, om? Bisanya om merahasikan keadaan dirinya dariku?”, tanyanya semakin pilu.
“Firlana telah menderita penyakit leukemia stadium tiga. Penyakitnya kambuh, saat dalam perjalanan sedang menuju ke taman pada malam itu. Dan terpaksa dirinya mengalihkan jalan menuju ke rumah sakit ini.”, ayah dari Firlana baru memberitahu penyakit yang sedang diderita oleh putranya. Beserta kronologi sebelum keadaan putranya kini sedang terjadi. Dilara menjadi terisak lagi, mengngingat apa yang sedang terjadi pada malam itu.
Dan Dilara berlanjut membenci apa yang sedang terjadi pada malam itu, termasuk sedikit mensesali keberadaan Negara yang saat itu sedang bersamanya. “Om begitu jahat! Om gak sama seperti anak, om! Dilara kecewa! Kenapa harus sekarang Dilara mengetahui semuanya, om?”, bentaknya kecil begitu tidak terima dengan kenyataan yang baru saja didengarnya darinya. Ayah dari Firlana pun mulai menatap padanya pasrah, sedangkan Dilara beralih pergi masih dengan isak tangisnya.
Ayah dari Firlana melihat Dilara yang seperti itu, turut merasa bersalah lalu melihat ke jam besuk yang baru saja berakhir. Sementara Firlana yang masih tertidur, tampak menggerakkan kedua bola matanya seolah ingin terbangun namun apa daya dirinya belum merasa sanggup untuk menjadi terbangun dari tidurnya. Dan di alam mimpinya, ia sedang berada di sebuah tanah lapang yang amat luas sedang menjerit-menjerit memanggil sosok dari ibu kandungnya.
Sosok dari ibu kandungnya yang telah dipanggilnya dengan sebutan “Ami”. Keadaan Firlana di alam mimpinya seperti mencari-mencari dimana sosok dari ibu kandungnya telah berada.

Beberapa saat kemudian. . . .

Dilara telah berada di dalam perjalanan menuju ke kantor, ia sedang mengendarai mobil kendaraannya sendiri masih dengan isak tangisnya. Ia masih bersedih, masih pula pilu terhadap kenyataan yang baru saja di ketahuinya dari ayah sahabatnya itu. “Aku benci pada malam itu! Kalau saja Negara tidak aku temui! Maka aku akan benar merasa tak berkawan, yang pastinya akan aku temui Firlana yang secara tiba-tiba teah membatalkan janjinya untuk menemuiku!”, ungkapan kesalnya.
Dan selang waktu berjalan, Dilara pun telah tiba kembali ke kantornya. Ia kini sedang berjalan di lobby kantor, lalu tidak sengaja ia melihat Negara sedang berjalan dari dalam akan menuju ke luar dan kini baru saja berhenti di depan pintu lobby kantor tersebut. Dilara pun terpaksa memilih menghentikan langkahnya dengan berdiam menghadap padanya. “Ikut saya pergi keperusahaan lain. kebetulan ada seorang klien yang harus saya temui di sana.”, Negara mengajaknya berupa sebuah perintah.
“Ya, saya ikut dengan bapak.”, kata terima dari Dilara singkat karna merasa terpaksa mematuhi perintah darinya. Dan mereka mulai beralih menuju ke parkiran mobil, tepatnya dimana Negara telah memarkirkan mobil kendaraannya. Setelah mereka berdua telah memasuki mobil kendaraan milik Negara, mereka berdua akan segera menuju ke kantor perusahaan yang telah di maksudkan oleh Negara tadi.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #34

Beralih ke rumah kediaman Firlana, telah kedatangan seorang wanita bernama Raya yang pernah menjadi sosok wanita misterius. Raya berkunjung ke rumah kediaman Firlana, bermaksud ingin mengundang Firlana tuk menghadiri hari bahagianya. Namun ketika pintu rumah sudah dibuka oleh seorang asisten perempuan rumah itu, Raya mendapat kabar kalau orang rumah sedang berada di rumah sakit. Raya pun bertanya, “Memangnya siapa yang sedang sakit?”.
Seorang asisten perempuan rumah itu menjawab, “Firlana”, tanpa memberitahukan sedang sakit apa. “Ya sudah, tolong sampaikan undangan ini padanya ketika sudah pulang dari rumah sakit!”, Raya langsung berkata meminta karna sedang terburu-buru. Tanpa menanyakan Firlana sedang sakit apa, dan apakah melakukan berobat jalan atau melakukan rawat inap. Dan Raya kini pun mulai bergegas pergi usainya menitipkan undangan tersebut pada asisten perempuan dari rumah itu.
Ketika sore hari telah tiba, Raya berlanjut berkunjung ke rumah kediaman dari Dilara. Berniat pula ingin mengundang Dilara dihari bahagianya. Dan begitu dirinya telah sampai di rumah kediaman dari Dilara, dirnya langsung disambut Dilara. Sebab Dilara sendiri yang telah membukakan pintu masuk rumahnya. “Raya”, sapanya ketika mengetahui, lalu mereka saling berpelukan menyambut sebuah pertemuan tak terduga. Dan ketika mereka berdua telah melepaskan pelukannya.
Raya langsung menunjukkan undangan untuk Dilara, meminta Dilara untuk datang dihari bahagia dirinya. “Happy wedding”, ucap selamat Dilara berwajahkan senang setelah mengambil undangan tersebut. “Pokoknya kamu harus bawa partner!”, perintah Raya melihat canda. Jawab langsung Dilara, “Semoga saja Firlana mau jadi partnerku.”, dengan bahasa amat senang. Raya menjadi hening sejenak, akan memberitahu sebuah keadaan sebenarnya dari Firlana.
“Dilara, dia sedang sakit. Aku tidak tahu, dia sudah kembali ke rumah atau belum? Sebab tadi sewaktu aku sedang berkunjung ke rumahnya, asisten perempuan rumahnya memberitahukan itu?”, terbuka Raya memberitahukannya. Dilara menjadi terdiam teringat dengan telah ditemuinya ayah dari Firlana yang sedang mengobrol dengan seorang dokter, sewaktu berada di rumah sakit tadi. sejenak Dilara sudah dapat mengetahui tentang sebuah alasan.
 “Dilara! Aku pamit dulu ya? Sampai jumpa dihari bahagiaku?”, pamit Raya secara tiba-tiba lalu berbalik beranjak pergi. Dan Dilara memberi senyum mempersilahkan, memendam sesuatu yang baru saja diketahui alasannya. Raya pun beranjak pergi akan segera meninggalkan, sedangkan Dilara melihat dirinya termenung mengingat pesan terakhir dari Firlana. “Tuhan, perkenankanlah aku untuk bertemu dengan sosok ayahnya lagi.”, gumamnya berdo’a dihati.

Malam harinya. . . .

Dilara sedang berbaring resah di kasur tempat tidurnya, memikirkan keadaan Firlana yang telah misterius baginya. Beralih sebentar ke sana, Negara sedang mengalami jenuh. Karna tetap tidak bisa tidur setelah memutar beberapa film animasi kegemarannya. Lalu teralihkan dengannya yang mengambil ponselnya, melihat daftar kontak pada ponselnya. Dengan perasaan jenuhnya, secara tiba-tiba ia mencoba menghubungi Dilara melalui video call.
Kembali ke Dilara, Dilara yang baru saja mengetahui kalau Negara sedang menghubunginya. Mulai mengangkatnya dengan salah tingkah sebab wajahnya tampak resah. “Selamat malam pak?”, sapa Dilara berusaha menunjukkan wajah gembira namun resahnya masih tampak di wajahnya. “Selamat malam juga. Ada gerangan apakah sehingga wajahmu tampak resah, dibalik wajih gembira yang sedang kau usahakan itu?”, Negara langsung menanyakannya sebab merasa peka terhadap dirinya.
Dilara menjadi kaget, tidak menduga kalau Negara cepat merasa peka terhadap dirinya. Lalu Dilara memaksakan sebuah senyuman sambil menggeleng tampak seperti wajah yang sedang kebingungan. Negara yang sudah melhat dirinya dilayar ponselnya, menyambung kata “Terimakasih karna telah mengangkat video call dariku. Jumpa lagi esok di kantor ya.”. Usainya menyambung kata tersebut, Negara memutuskan video callnya.
Dan Negara beralih untuk tidur, sebab baru merasa sudah mengantuk tak kuasa menahan hsratnya ingin tidur segera. Sementara Dilara di sana menjadi terdiam, merenungkan Negara yang hanya membicarakan itu ketika menghubungi dirinya melalui video call. Dilara pun bergumam “Sungguh aneh si bapak, mah….”, dan beralih untuk tidur sebab sudah menagntuk. Tanpa mereka berdua cermati serta tersadari, berbicara melalui video call itulah sebagai peghantar tidur untuk keduanya pada malam ini.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Esoknya, Dilara merasa kurang bersemangat memasuki ruang kerja dari Negara. Beruntung Negara belum memasuki ruangannya sendiri walaupun telah tiba lebih dulu daripada dirinya. Wajahnya sedikit lesuh, ketika baru saja menghidupkan laptop, demi membuat tugas dari Negara yang terus berkelanjutan. “Tugasnya gak abis-abis. Baru berasa sekarang.”, gumamnya sedikit mengomel sendiri. Lalu baru dilihatnya jika Negara baru saja memasuki ruangan.
Negara terpandang padanya sambil memberi senyum semangat berjalan menuju meja kerjanya, begitupun Dilara yang menyapanya “Selamat pagi”. Sementara Negara yang berdiri di depan meja kerjanya sendiri, sejenak mencoba melihat Dilara. Ingin mengetahui kondisi pada Dilara, di waktu yang masih pagi ini. “Sudah sarapan?”, tanya Negara mulai curiga dengan pergerakan dari Dilara yang sedang mengerjakan tugas. Dilara berhenti dari pengerjaannya melihat ke Negara.
“Seorang bos yang otaknya telah dipenuhi beragam tugas pekerjaannya. Masih sempat mencermati orang lain. Maksud saya, isi dari kepala bapak?”, Dilara telah keceplosan menanyakan frontal lalu membetulkannya sendiri.
“Buang resahmu! Berkonsentrasilah! Saya tidak ingin tugas yang sedang kau kerjakan menjadi tidak terkontrol!”, balas Negara menegaskan perintah sedikit menuntutnya.
Dilara berdiam menerimanya, beralih melihat ke layar laptop kembali mengerjakan tugasnya. Sedangkan Negara mengambil ponselnya akan berbicara dengan sahabatnya, setelah keadaannya benar sedang duduk di kursi kerjanya. Dan kinipun Negara sedang berbicara dengan sahabatnya, Milara membincangkan suatu rencana yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Tepatnya mereka membincangkan tentang waktu untuk bisa bermain bersama, serta mengingat apa saja yang terjadi.
Negara tampak bahagia, membuat Dilara yang tak sengaja melihat padanya menjadi merasa berbeda. Dilara merasa berbeda, saat semalam tadi Negara telah mencoba menghubunginya melalui video call. Dengan Milara, Negara begitu tampak bersahabat dan nyaman. Sedangkan dengan dirinya, Negara seperti hanya berbasa-basi saja. Dilara yang sudah merasa demikian, mengalihkan pandangannya ke laptop kembali pada pengerjaannya.
Tak berapa lama kemudian, Dilara dengan sengaja melihat Negara kembali sebab mengetahui kalau Negara baru saja mengusaikan teleponnya dengan Milara. Namun telah dilihatnya kini Negara sedang menerima telepon dari seorang lagi, Dilara pun berdiam mencoba mencermatinya secara diam-diam. Dan kali ini Negara tampak sedikit cemas bercampur kaget, seperti merasa kurang nyaman bahkan berbicaranya sambil berbisik seperti orang yang kurang percaya diri.
Dilara menjadi bingung seketika menatapnya, sedangkan Negara baru melihat padanya berdiam usai memutuskan teleponnya. Keduanya menjadi saling berpandangan diam sesaat, lalu teralihkan dengan Negara yang mulai berdiri dari duduknya akan beranjak keluar ruangan. Dan kini, Dilara menjadi semakin bingung terhadap perilakunya.

Sementara beralih ke Negara. . . .

Negara sudah sampai ke tujuanya, ia sudah berjumpa dengan karyawan yang telah meneleponnya tadi. Ternyata yang sedang meneleponnya tadi adalah karyawan yang telah memberitahukan jikalau asisten tetapnya akan segera kembali bekerja. Memakai alasan jika ibu dari asisten tetapnya itu sudah sehat. Negara pun dapat memakluminya setelah mendengar karyawannya itu bercerita tentang demikian. Dan pamit beralih akan menuju kembali ke ruangannya sendiri.         

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #33

Seorang tamu itu adalah Milara, yang sudah berdiri di depan meja kerja Negara melihat keduanya. “Negara, sedang apa Dilara di sini?”, tanya Milara menetap melihat ke Negara tanya. “Untuk sementara waktu, dia menjadi asistenku.”, jawab Negara tanpa berbasa-basi. Usainya menjawab, Negara berdiri dari duduknya. Lalu tangannya memegang telapak tangan dari Dilara, karna dirasa kalau Dilara akan bergeser untuk beranjak. Dilara pun menjadi terhenti bersikap biasa masih melihat Milara.
“Cukup heningnya. Negara, aku menunggumu di luar saja. Sebab aku telah membawa klien yang sedang menungguku di lobby.”, Milara berkata permisi meminta Negara untuk bersiap. Lalu mulai beranjak akan keluar dari ruangan. Dengan Negara yang masih memegang telapak tangan dari Dilara, Dilara mencoba melihat padanya berwajahkan keluh. “Pergi lagi, pak?”, tanyanya menyentuh perasaan Negara. Negara pun melihat balik padanya berwajahkan bingung.
“Maksud bapak dengan masih memegang telapak tangan saya. Apakah semakin mengisyaratkan sebuah permisi dari bapak, untuk pergi lagi?”, Dilara menguatarakan keluhnya menunjukkan emosinya. Negara hanya berkata “Maaf”, melepaskan pegangannya beralih mengambil tasnya dan beranjak akan meninggalkan ruangan. Dilara yang merasa ditinggal pergi lagi, mencoba memakluminya bahkan semakin memakluminya dengan jadwal dari Negara yang padat.
“Asisten, dituntut untuk selalu menemani bosnya! Tapi bolehkah, asisten menuntut untuk selalu ditemani bosnya? Sungguh, kali ini aku benar-benar membutuhkan Negara untuk mengobrol walaupun hanya sejenak saja.”, curahannya berbahasa sedikit sedih meratapi pintu ruangan yang sudah kembali tertutup.

Sore harinya. . . .

Dilara mendapat telepon dari Negara, yang telah memerintahkan dirinya untuk pulang saja tidak perlu lagi menunggu kepulangannya kembali ke kantor. Sebab beralasan jika Negara harus menyambung jadwal kerjanya beralih pergi ke kantor perusahaan yang lain. Dilara yang sudah mengetahui, menyahut dapat menerimanya serta mengakhiri dengan ucapan, “Jangan terlalu menforsir tubuh pak”. Negara yang di sana masih berada dirumah galeri “MILARATONIC”.
Menjadi senyum-senyum sendiri seketika mendengarnya lalu memutuskan teleponnya. Dan dirasakannya bahwa ia telah mendapat sebuah semangat baru dari Dilara, untuknya menyambung jadwal kerjanya beralih pergi ke kantor perusahaan lain. Dan sudah dapat diperkirakan olehnya, jikalau jadwal pekerjaannya akan selesai sekitar pukul setengah sepuluh malam atau lebih. Sebabnya Negara telah ikut terlibat dalam rapat investasi saham yang masih berbuntut.
Rapat investasi saham yang sudah pernah dilakukan di kantor perusahaan milik keluarganya sendiri. sementara kala itu Dilara belum menjadi asisten sementara darinya. 

Malam harinya. . . .

Di rumah kediamannya, Dilara sedang berada di kamarnya meratapi ponselnya yang amat berasa sepi. Tak ada pesan masuk dari Firlana menanyakan kabar dirinya. Dirinya pun tak berani tuk mengirim pesan pada Firlana, walau hanya menanyakan kabar darinya saja. Sebab pada pesannya terakhir, Firlana menuliskan jika tugas pekerjaannya sedang padat-padatnya. Dan karna pesan terakhir darinya itu, membuat Dilara segan tuk mengajaknya mengobrol meski melalui sebuah pesan.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Hari telah berganti, tepat pada pukul sembilan pagi. Kakak perempuan dari Negara mengalami sebuah kecelakaan kecil. Dan kini sudah berada di ruang UGD, di sebuah rumah sakit. Kakaknya yang bernama New Delhi telah menglami luka kecil di bagian kaki kirinya, setelah menabrak trotoar sebab pada rem mobil kendaraannya kurang berfungi secara optimal. Sementara Negara bersama Dilara baru saja datang menghampiri dirinya. Negara pun bertanya tentang keadaan dari dirinya berwajahkan panik.
Kakaknya memberi senyum mengatakan kalau dirinya baik-baik saja. Lalu mencoba berkata menanyakan kepada Dilara yang sedang berdiri disamping adiknya itu.
“Dilara? Kau ke sini karna berinisiatif sendiri? atau adikku yang telah mengajakmu ke sini?”, tanyanya berwajahkan senang melihat Dilara. Dilara sedikit merasa serta melihat canggung padanya, akan menyahut namun telah didahulukan oleh Negara.
“Aku yang telah membawanya, kak . karna kalau tidak, maka akan keluar dari mulutnya kata “Membosankan”.”, Negara membuat pengakuan sedikit mengejek Dilara. Dilara pun melihat padanya sedikit kaget.
“Negara, bukan asisten saja yang selalu dituntut untuk menemani bosnya. Tapi sebisa mungkin bosnya juga bisa berbalik menemani asistennya. Walaupun hanya sekedar mengerjakan tugas pekerjaan.”, kakanya memberi nasehat berbahasa bijak, melihat memberi pengertian ke adiknya itu.
“Dengarkan pak! Bagaimanapun juga kak New Delhi adalah wanita, sama seperti saya!”, Dilara memberi ketegasan padanya. Melihat tegas pula.
Usainya mendengar Dilara berkata, kakak dari Negara memberi resep kepada Neagra. Lalu meminta Negara untuk segera menebus obat yang sudah tertulis pada resep tersebut. Namun sebelumnya, Dilara berkata permisi untuk pergi ke toilet sebab berhasrat ingin membuang air kecil pada mereka berdua. Mereka berduapun mengijinkannya, dan begitu Dilara beranjak lebih dulu menuju ke toilet. Negara baru beranjak segera akan menuju ke apotek di rumah sakit yang sama.
Selang beberapa saat berjalan, Dilara telah usai membuang air kecil di toilet. Dan kini Dilara sedang berjalan menuju ke ruang UGD. Namun ketika sudah sampai di ruang uGD hendak akan memasukinya, tiba-tiba saja langkahnya menjadi terhenti sebab melihat seorang yang merupakan ayah dari Firlana sedang mengobrol dengan seorang dokter. Tepat di depannya tak jauh dari keberadaannya. “Om? Sedang membicarakan siapa dengan dokter di sana?”, gumamnya dihati memandanginya.
Namun itu tidak berlangsung lama. Karna ketika melihat ayah dari Firlana mulai berranjak ke tempat lain, Dilara pun bergegas memasuki ruang UGD, kembali menghampiri kakak dari Negara. Kakak dari Negara yang melihatnya sudah kembali, memberi senyum menyambutnya. Begitupula Dilara membalas senyum darinya. Lalu kakak dari Negara beralih melihat ke Negara yang baru saja datang menghampiri dirinya kembali, berwajahkan biasa  melihat ke kakaknya.
Dan disambung seorang suster yang datang dengan membawa kursi roda, sebab kakaknya telah meminta kursi roda untuk membawanya ke mobil milik Negara. Akan segera pulang ke rumah sebab sudah ditangani. Negara pun membantu kakaknya berdiri dari tempat tidur untuk bisa duduk di kursi roda yang telah disediakan. Setelah melihat kakaknya telah duduk di kursi roda tersebut, secara bersamaan Negara dan Dilara telah memegang pegangan pada kursi roda yang sama.
Posisi tepatnya Negara yang menyentuh tangan Dilara tanpa disengaja. Mereka berduapun menjadi saling berpandangan sedikit kaget, dengan Dilara yang menarik tangannya sendiri mencoba mengalah. Sedangkan kakaknya menjadi senyum-senyum sendiri setelah menyaksikan apa yang sudah diperbuat oleh keduanya. Dan kini mereka bertiga telah beranjak, dengan Negara yang mendorong kursi roda tersebut membawa kakaknya dan Dilara berjalan disamping kakaknya mendampingi.

S A C Uku

bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #32

Hari telah berganti. Di pagi hari, Dilara yang sudah berada di dalam gedung kantor perusahaan milik keluarga dari Negara, dan sedang berjalan akan menuju ke ruang kerja dari Negara. Tiba saja merasa ngilu pada jantungnya hingga langkahnya menjadi terhenti, bersamaan dengan Firlana di sana yang sedang dikejutkan jantungnya oleh dokter. Dilara menjadi berdiam di tempat, merasakan sendiri rasa ngilu pada jantungnya.
Nafasnya menjadi terasa berat, lalu tak lama kemudian ia bisa kembali bernafas secara normal bersamaan dengan Firlana di sana yang jantungnya kembali normal. Apa yang sudah terjadi pada keduanya merupakan adanya sebuah ikatan bathin, sebab keduanya merupakan saudara sesusuan. Dan kini Dilara telah duduk di depan meja kerja dari Negara, menunggu Negara datang memasuki ruang kerjanya. “Tuhan peristiwa apakah tadi?”, keluhnya di hati setelah mengingat kembali.
Dan tak berapa lama ia menunggu, Negara pun datang memasuki ruang kerjanya. Negara langsung duduk di kursi kerjanya tanpa menyapa Dilara yang sudah sedari tadi duduk berdiam menunggu kedatangannya. Dan ketika sudah merasa siap usainya duduk di kursi kerjanya, Negara meminta proposal yang sedang di pegang oleh Dilara. Dilara pun memberinya, melihat biasa kepadanya yang baru saja mengambil serta memeriksa proposal tersebut.
Dan setelahnya memeriksa proposal tersebut, Negara baru menyapa dirinya “Selamat pagi” dengan melihat padanya disertai senyum semangat. Dilara yang sudah melihatnya, memberi senyuman menyapanya balik “Selamat pagi, pak”.
“Hari ini saya ada pertemuan di luar. Dan akan kembali pada jam makan siang nanti.”, permisi Negara berbahasa pengertian disertai tatapannya.
“Lagi, pak….?”, tanya Dilara teringat pada hari kemarin tentang kebosanannya dalam menunggu.
“Saya bebaskan kamu. Tapi sebatas di dalam gedung pekantoran ini saja.”, Negara memberi kebeasan namun masih diarea kantornya saja.
Dilara menatap lesuh, merasa kurang puas menerimanya. Sedangkan Negara memasukkan proposal yang tadi ke dalam tasnya. Setelah merasa semuanya sudah siap, Negara pun berpamitan dengannya lalu beranjak pergi akan meninggalkan ruang kerjanya serta kantornya sendiri. Sementara Dilara, masih duduk di tempatnya melihat kelangit-langit atas mengetahui Negara yang kini sudah tiada di dalam ruang kerjanya.
“Mungkin sudah waktunya. Aku menikmati kebebasanku lagi di luar ruangan yang sempit ini.”, bisiknya berusaha menyemangati diri sendiri. Lalu mulai beranjak akan keluar dari ruangan tersebut, menuju ke suatu tempat dengan cara berpindah-pindah, tetapi masih berarea di dalam gedung perkantoran.

Beberapa saat kemudian. . . .

Kini Dilara terlihat sedang membantu para pekerja di dapur pantry, membantu memasak para koki demi menghibur diri sendiri. Saat ditengah dirinya sedang asik membantu memasak, tiba-tiba saja ada yang menarik tangan dari dirinya dan membawa dirinya keluar dari dapur pantry. Begitu sampai di luar, Dilara langsung melepaskan tangannya dari pegangan seseorang. seseorang itu adalah Nil Ra. “Nil Ra, aku tidak mengerti dengan caramu yang sudah bersikap seperti ini?”, keluh Dilara melihatnya.
“Tidak baik, seorang asisten dari pak Negara. Membantu para koki yang sedang bekerja di dapur pantry.”, ungkap Nil Ra mengingatkan. Melihat bijak. Dilara menjadi tersulut kecil amarahnya, akan menyahutnya sedikit keras. “Hey! Tidak selamanya aku menjadi asisten dari dirinya! Aku hanya asisten sementara dari dirinya saja!”, memakai tatapan sedikit menajamkan padanya. Lalu berbalik kembali ke dapur pantry. Nil Ra yang sudah melihatnya, menjadi bingung sendiri.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Selang waktu berjalan, Negara pun kini sudah kembali ke kantornya. Ia sedang berjalan mencari keberadaan dari  Dilara, setelah tidak dijumpainya keberadaan dari Dilara di dalam ruang kerjanya. Namun ketika baru saja memasuki kantin dekat pantry, Negara hanya menjumpai Nil Ra yang sedang mengawasi office boy. Lalu berniat dalam hatinya, akan menanyakan keberadaan dari Dilara kepadanya. Dan kini Negara telah berdiam dibalik Nil Ra yang masih mengawasi office boy membelakangi.
“Selamat siang, Nil Ra.”, sapa Negara berbahasa wibawa. Nil Ra mencoba melihat padanya, menjadi terkejut hingga berbalik melihatnya. Sedangkan Negara langsung bertanya dimana keberadaan dari Dilara. Nil Ra langsung menggeleng seolah tidak mengetahui. Negara yang merasa bahwa Nil Ra telah bersikap yang mencurigakan, akan berkata menegaskan. “Terbuka saja sebab telah mengetahui? Atau bersembunyi saja sebab telah mengetahuinya pula?”, memakai tatapan tajamnya,
Nil Ra menjadi tertegun menerima kata perbandingan tanya darinya. Lalu mendekat sedikit padanya, membisikkan kalau Dilara telah membantu para koki sedang memasak di dapur pantry. Negara yang sudah mendengarkan, berucap terimakasih beralih beranjak menuju ke dapur pantry. Sementara di dapur pantry, Dilara mendapat bisikkan dari seorang koki perempuan bahwa jam makan siang telah lewat lima menit. Juga mengingatkan kepada Dilara untuk segera makan siang.
Dilara yang sudah mendengarnya, langsung beranjak keluar dari dapur pantry. Namun ketika telah sampai di luar dapur pantry, tepatnya di depan pintu dapur pantry. Dilara menjadi berhenti sejenak, sebab merasa jika ada seorang pria berdasi yang sudah berdiri dihadapan sebelah kanannya. “Astaga? Bapak?”, gumamnya bersuara kecil menanyakan. Setelah mengetahui melihat wajahnya.
“Bagus ya. Kebebasan yang saya berikan kamu gunakan untuk membantu para koki di dapur pantry itu.”, keluh Negara memberi senyuman jahat padanya. Melihat remeh.
“Sebenarnya tadi saya merasa kurang puas, setelah kebebasan yang telah saya terima dari bapak!”, Dilara mengungkap rasa ketidak puasannya setelah dipendamnya tadi.
“Saya rasa cukup! Kamu harus bisa memaksa dirimu untuk berpuas! Bersihkan dirimu! Sebab saya tidak ingin bau asap, terbawa sampai ke dalam ruang kerja saya!”, Negara mengakhiri dengan menyombongkan dirinya kecil.
Wajah Dilara pun menjadi merengut, memalingkan wajahnya ke arah lain. Sementara Negara baru beranjak pergi darinya menuju ke ruang kerjanya. Dan tiba-tiba muncul ide nakal pada Dilara, untuk melawan Negara yang sempat menunjukkan kesombongannya pada saat tadi.

Beralih ke Negara. . . .

Negara sedang bersantai di kursi kerjanya, menunggu kedatangan seorang tamu. Posisinya kini sedang bersandar disandaran kursi kerjanya, merebahkan tubuhnya yang dirasanya sedikit pegal. “Aku butuh seorang ahli pijat.”, bisiknya keluh menikmati sunyinya ruang kerjanya tersebut. Lalu mencoba memejamkan mata berusaha tuk merilekskan pikiran serta tubuhnya. Kemudian secara tiba-tiba terdengar suara yang berbunyi, “Terimakasih atas kesombongan yang telah bapak tunjukkan tadi.”.
Suara itu sangat pas di dekat telinganya, hingga membuatnya terbangun dari pejamnya. Dan terlihatlah Dilara yang sedang berdiri disampingnya, usainya mengatakan itu tepat di dekat telinga dari Negara. “kapan kau kembali?”, tanya Negara menegakkan duduknya. Melihat kaget bertanya padanya. “Sejak bapak telah berpura tidur.”, jawab Dilara mengejek. Dan mereka akan berbicara membahas apa yang sudah dikatakan oleh Dilara tadi.
“Terimakasih atas kesombongan yang telah bapak tunjukkan tadi? maksudnya?”, tanya Negara mengajaknya tuk membahasnya. Dengan mengulangi kata dari Dilara tadi. “Saya rasa cukup! Kamu harus bisa memaksa dirimu untuk berpuas! Bersihkan dirimu! Sebab saya tidak ingin bau asap, terbawa sampai ke dalam ruang kerja saya?”, Dialra juga mengulang kata darinya tadi sewaktu berada di depan pintu dapur pantry. Bertanya balik.
“Oh, jadi kamu mendendam karna itu? Hey, wajar saja karna sebentar lagi kita akan kedatangan seorang tamu.”, Negara baru memberitahukannya. Melihat biasa serta remeh. Dilara mendesah kecil berpaling melihat ke arah lain. Tak lama, seorang tamu yang telah ditunggu oleh Negara, juga seorang tamu yang telah diberitahukan oleh dirinya kepada Dilara. Kini telah datang memasuki ruang kerjanya. Mereka berduapun secara bersamaan pandangannya tertuju pada seorang tamu itu.

S A C Uku

bukan cerita cinta segitiga!!