Setelah beberapa hari terlewati,
tepatnya di pagi hari setelah melakukan sarapan pagi. Dilara baru menyadari
bahwa pada malam nanti, pesta pernikahan dari temannya bernama Raya akan segera
dilaksanakan. Dilara yang sudah berada di dalam kamarnya, mencoba berpikir sejenak
pakaian apakah yang akan ia kenakan. Dilara pun kini menjadi berjalan
berbolak-balik, mencoba berpikir keras pakaian apakah yang akan ia kenakan pada
malam nanti.
Beralih ke sana, Negara yang
sedang duduk di kursi kerjanya, di dalam ruang kerjanya. Sedang mengamati
sebuah undangan pernikahan yang harus di hadirinya pada malam nanti. Beralih
kembali ke Dilara, Dilara sedang mengambil beberapa baju gaun miliknya dari
lemari berniat akan mencobanya demi mengetahui cocok atau tidak ketika ia sudah
memakai salah-satu dari beberapa baju gaun miliknya itu.
Dan malampun tiba. . . .
Malam telah menampakkan beragam
keindahannya di pesta pernikahan Raya, seorang teman semasa SMA dari Dilara dan
Firlana. Raya dan sang mempelai pria, mendapat sambutan, ucapan selamat dari
para tamu yang turut menghadiri pesta pernikahannya. Dari sekian banyak tamu
yang telah memberi selamat padanya, menghampirinya kepelaminannya. Ada seorang
yang membuatnya merasa teramat girang nan haru, seorang itu baru tampak sedang
berjalan menghampirinya kepelaminannya.
Seorang itu adalah Dilara, yang
kini sedang berjalan sambil membawa kado mencoba menghampiri Raya di pelaminan.
Dan begitu Dilara sudah berdiam, berhadapan dengan Raya di pelaminan. Raya
langsung memeluknya menyalurkan rasa bahagianya. Dilara pun menjadi ikut merasa
kebahagiaan darinya, mulai merasa tersentuh.
“Dilara di mana Firlana? Aku telah
menunggu kedatangannya bersamamu.”, tanya serta bercurah Raya usainya melepas
pelukannya. Menatap Dilara bertanya, mencari.
“Dia, sedang berhalangan hadir.”,
Dilara langsung berkata menanggapi tidak mencritakan yang sebenarnya. Menatap
canggung.
Raya meresponnya dengan langsung
mempercayainya, menunjukkan senyum kebahagiaannya. Sedangkan Dilara beralih
memberi selamat padanya, lalu mencoba melihat ke sang mempelai pria memberi
selamat pula padanya. Namun amat disayangkan, Dilara kurang memperhatikan wajah
dari sang mempelai pria tersebut. sebab Dilara terburu bergegas tuk
meninggalkan pelaminan, meinggalkan kedua pengantin.
Tak berapa lama Dilara pergi
meninggalkan pelaminan. Sang mempelai pria yang sudah terduduk di kursi
pelaminannya, tiba-tiba saja menjadi berdiri dari duduknya. Ketika baru saja melihat,
mengetahui jika seorang tamu laki-laki telah berjalan mencoba tuk
menghampirinya. Sang mempelai pria tersebut adalah Nil Ra, dan seorang tamu
laki-laki itu adalah Negara. “Raya, lihatlah! Temanku sudah datang.”, katanya
berbisik memberitahukan Raya.
Raya yang sedang duduk telah
mendengar bisiknya, melihat padanya. Tiba-tiba saja menjadi ikut berdiri ketika
sudah mengetahui siapa seorang teman yang telah dimaksud oleh Nil Ra. Mereka
berduapun kini menjadi melihat bersama ke Negara, menantinya di pelaminan. Dan
begitu Negara telah berdiam dihadapan keduanya, di pelaminan. Negara melihat
bingung kepada kedua sang mempelai, sebab kedua sang mempelai berdiam menatap
pada dirinya sedikit tersenyum canggung.
“Selamat malam, pak. Maaf jika
kami hanya berdiam sedikit tersenyum canggung, dalam menatap bapak.”, Nil Ra
memberanikan tuk berkata menyampaikan kata maaf. “Selamat ya, sudah sah menjadi
suami istri.”, Negara baru memberi selamat melihat keduanya. Raya sang mempelai
wanita menjadi tersenyum lepas melihat keduanya. Sedangkan Negara baru saja
terpandang pada Raya, lalu tertolehkan kepalanya ke belakang, tak sengaja
melihat Dilara sedang seorang diri.
Negara pun spontan menjadi
melangkah pergi meninggalkan kedua sang mempelai, sebab tujuannya kini terarah
pada Dilara.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Kini Dilara sedang berjalan
melihat pemandangan, hiburan yang ada. Ia merasa sepi, sebab baru terpikirkan
kalau Firlana sedang tidak bersamanya, tidak pula menjadi seorang partner di pesta
pernikahan dari Raya. Kemudian ada seorang yang menghentikan jalannya dengan
seorang itu memilih berdiam di depannya. Dilara pun menjadi tersadar melihat ke
seorang itu, “Pak Negara, kenapa bisa sampai ke pesta pernikahan dari teman
semasa SMA ku?”, tanyanya begitu sedikit terkejut.
Negara berdiam melihatnya lalu
mengajaknya untuk melihat sang mempelai pria di pelaminan, dengan memalinngkan
wajahnya sendiri melihat ke sang mempelai pria. Dilara menjadi reflek
mengikutinya, lalu bergumam
“Astaga, baru aku sadari kalau dia
adalah Nil Ra?”, seketika baru mengetahuinya. Negara memalingkan wajahnya
sendiri kembali melihat Dilara. “Apakah Nil Ra turut mengundang dirimu juga?”,
tanya Negara ingin mengetahui kehadiran Dilara di pesta pernikahan dari Nilra. Dilara
menjadi tersenyum melihat padanya balik, kembali.
“Sang mempelai wanita, adalah teman
semasa SMA ku. Kalau benar begitu, berarti kita telah turut menghadiri pesta
pernikahan dari teman kita masing-masing.”, bahasanya lembut menjawab tanya
dari Negara. Usai menjawab, Dilara memperhatikan Negara yang memakai baju
kemeja berwarna merah muda. Sedangkan dirinya memakai baju gaun berwarna hitam.
“Ada apa dengan penampilanku?
Tampak begitu soft ya?”, tanya Negara setelah melihat Dilara memperhatikan
penampilannya. Dilara mulai menatapnya tertegun. “Ayo, kita berdansa seperti
para tamu lainnya.”, ajak Negara menyambung menatap mulai menggoda. Dilara menjadi
menatap keluh baru berkata,“Tidak terimakasih.”. Dan keduanya akan saling
berbicara, seperti sedang melepas rindu setelah tidak cukup lama tidak bertemu
bertatap muka.
“Dilara, setelah momen perpisahan
itu terjadi, tidakkah kau ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya
Negara mengingatkan momen perpisahan pada waktu itu.
“Jadi maksud bapak, ingin
menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Dilara sebab merasa bingung.
Negara mengangkat kedua tangannya,
kedua telapak tangannya menyentuh wajah dari Dilara memakai sentuhan lembut. “Sungguh,
saat ini aku telah memakai seluruh perasaanku.”, katanya menatap tajam
mengutarakan perasaannya melalui kontak mata. Dilara pun telah dapat
membacanya, berdiam diri, membisu sambil merasakan degug jantungnya bergejolak
lagi. “Sudahkah ada cinta untukku?”, sambung Negara bertanya soal cinta
padanya.
Dilara menjadi beralih melihat ke
bawah, teringat dengan bayang-bayang tentang perjodohannya serta kejadian pada
malam itu. Pada malam itu dimana sahabatnya, Firlana sedang berada dirumah
sakit, sementara Dilara sedang menunggu kedatangannya dengan duduk bersama
Negara di bawah langit penuh bintang. Hingga pada akhirnya Dilara membaca
sebuah pesan dari Firlana yang membatalkan janjinya, tuk menemuinya di sebuah
taman pada malam itu.
Setelah hening berjalan karna
Dilara terbayang-bayang hal demikian, Dilara baru berkata lagi. “Pak,
sepertinya saya harus pulang sekarang.”, pamitnya ingin meninggalkan Negara.
Negara yang sudah mendengarnya, melepaskan kedua telapak tangannya dari menyentuh
wajah Dilara. Berpaling melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul delapan
malam. Dan ketika Negara akan kembali berpaling melihat ke Dilara, Dilara sudag
lebih dulu pergi dengan meninggalkan sentuhan pada tangannya.
Negara sudah mengutarakan seluruh
perasaannya, bahkan tadi sudah menanyakan soal cinta pada Dilara. Dan Negara
hanya meratapi Dilara yang masih berusaha pergi menghindar darinya. Sementara
Dilara yang sudah berada di luar area tempatpesta pernikahan Raya berlangsung,
menjadi menangis kecil. Sebab merasa dilema dengan apa yang sudah diutarakan
oleh Negara padanya tadi, dengan bayang-bayang itu yang telah teringat olehnya
kembali. Dan mulai memikirkan keduanya.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Malam telah berganti pagi. Pada
pukul delapan pagi lewat beberapa menit. Dilara telah berada di rumah sakit
tempat Firlana masih di rawat. Bahkan ia kini di sana baru saja memasuki ruang
ICCU, lalu duduk berdiam meratapi sahabatnya yang masih betah tidur dalam
lelapnya. Saat ketika sudah berdiri meratapinya, Dilara tiba-tiba saja
terpandang pada sebuah kertas yang terletak pada meja, tepat di samping tempat
tidur dari sahabatnya itu berbaring.
Dilara pun mengambil sebuah kertas
yang kian membuatnya menjadi semakin penasaran saja. Dan ternyata setelah di
amati, sebuah kertas tersebut merupakan sebuah undangan dari Raya untuk
sahabatnya itu. “Raya? Pantas saja ia menanyakan tentang kedatangan dari
Firlana semalam tadi.”, gumamnya berbisik megamati sebuah undangan dari Raya
tersebut. Tanpa di ketahuinya, yang telah membawa undangan tersebut adalah ayah
dari Firlana, tepatnya pada semalam tadi.
Dan tanpa di saksikan olehnya,
ayah dari Firlana telah membacakan isi dalam undangan tersebut. Bersamaan
dengan pesta pernikahan dari Raya di sana, sedang berlangsung pada semalam
tadi. Ada sebuah hikmah yang telah didapatkan oleh ayah dari Firlana. Setelah
membaca isi dalam undangan tersebut, Firlana telah menunjukkan sebuah respon
dengan menunjukkan senyum amat kecil di bibirnya. Dan ayah dari Firlana yang
sudah melihat secara bersamaan, menjadi tersenyum semangat.
Enam bulan kemudian. . . .
Sudah genap enam bulan Firlana
telah di rawat, di rumah sakit yang sama serta keadaannya yang masih sama.
Hampir tidak ada perubahan yang ia tunjukan, dan monitor yang mengontrol
kondisi dirinya kadang menurun, namun selalu dapat stabil dengan sendirinya.
Kini ia sedang di temani oleh ibu kandungnya, yang baru saja berhasil di temui
oleh ayahnya setelah sekian bulan mencari keberadaan dari ibu kandungnya.
“Firlana, ini ami. Maafkan ami
yang telah membuatmu menunggu lama, serta membuat abi menagalami kesulitan dalam
mencari keberadaan ami.”, curahnya berbisik haru meratapi wajah putra semata
wayangnya. Ayahnya yang sedari tadi ada bersamanya, berada disamping ibu
kandungnya akan berkata sesuatu. “Tidak usah kau sesali itu. mungkin sudah
begitu jalannya. Jangan bersikap mensesali.”, ayahnya menghibur ibu kandungnya.
Lalu secara tiba-tiba, terdengar
suara monitor yang menandakan bahwa jantung dari Firlana mulai melemah. Ayahnya
pun langsung bergegas memanggil suster terdekat, dan ibu kandungnya bergegas
menyusul ayahnya ikut memanggil seorang suster terdekat. Kedua orangtuanya
merasa panik, hingga mata dari keduanya mulai berkaca-kaca ketika sudah melihat
beberapa suster bergegas akan menangani putra semata wayang mereka berdua.
Sementara di luar ruangan, tampak
Dilara sedang berjalan akan segera menuju ke ruangan dari Firlana. Namun ketika
sudah sampai baru melewati jendela ruangan dari Firlana, langkahnya menjadi
terhenti karna terpandang pada jendela ruangan tersebut yang telah tertutup
tabir. Dilara pun mendekati jendela yang telah tertutup tabir itu sambil
merabanya, merasakan cemas ketakutan sehingga mengetuk kecil jendela itu.
Didengarnya jika suara monitor
seperti sedang berisik, suara gerak-gerik para suster dan dokter pun mulai
didengarnya. Dirinya menjadi terdiam hening sesaat, menikmati suara yang sedang
beraktifitas di balik jendela yang tertutup tabir itu. lalu kemudian menjadi
melangkah mundur tiga langkah, berhenti di tempat sambil menutup kedua
telinganya. Tangisannya pun menjadi pecah, terisak meraung seorang diri.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Kemudian Dilara memberanikan diri tuk
membuka kedua telinganya kembali, terlihat kini kedua tangannya menggantung
lemas ke bawah. Terdengar suara monitor dari dalam ruangan tersebut sudah
mereda, rasa lega pun mulai di rasakannya. Lalu ia mendengar suara yang telah
memanggil dirinya, tepat di arah samping kanan dirinya. Dan ketika ia mencoba
melihat ke siapa yang telah memanggilnya tadi, mendadak dirinya menjadi kaget.
Sebab siapa yang telah memanggilnya
tadi adalah Milara. “Katakan padaku? Siapa yang sudah kau tangiskan?”, tanya
Milara begitu menanyakan menatap Dilara. Dilara menjadi menangis kecil melihat
kebawah. “Kenapa ibu Milara bisa sampai ke sini?”, Dilara berbalik tanya.
Milara pun menjawab, “Saya sedang menemani sahabat saya menebus obat untuk
ibunya, tepat di apotik rumah sakit ini.”. Dilara sudah mendengar jawaban
darinya, berdiam hening.
Sedangkan Milara terpandang pada
ayah dari Firlana yang baru saja keluar dari pintu ruangan ICCU. Ayah dari
Firlana pun menjadi terpandang pula padanya, lalu berkata meminta Milara untuk
ikut dengan dirinya. Milara langsung meresponnnya dengan berjalan menghampiri,
dan mereka berdua pergi bersama ke suatu tempat untuk bicara. Meninggalkan
Dilara bersama seorang lagi. “Apa kabar? Aku dengan seluruh perasaanku yang
masih sama. Telah tak terlihat oleh pandanganmu.”, sapa seseorang.
Seseorang yang sedari tadi telah
tertutupi oleh tubuh Milara, sebab berdiam dibaliknya. Dilara yang hening
meratapi Milara sedang berjalan pergi bersama ayah dari Firlana, baru
menolehkan kepalanya ke arah seseorang tadi yang telah bersapa dengannya.
“Bapak?”, sapanya lemas bertanya mulai menatapi. Seseorang tersebut adalah
Negara, yang telah mengajak Milara untuk pergi bersama demi membelikan obat
untuk ibunya sendiri tepat di apotek rumah sakit ini.
“Siapakah yang sedang sakit?
Sehingga membuatmu menjadi begitu tersedih seperti itu?”, Tanya Negara segera
ingin mengetahui. Mencoba menatap bijak. Dilara menatapnya sedih, lalu berkata,
“Firlana. Dan mungkin kini, ayahnya sedang mencoba untuk bicara dengan ibu
Milara. Agar ibu Milara tidak menjadi salah paham.”. Mendengar tuturnya, Negara
mengangkat tangan kanannya menyentuh kepala dari Dilara, karna baru mengetahui
sebab Dilara begitu tersedih.
“Sabar ya.”, Negara baru berkata
lagi menatap begitu haru. Lalu di sambung tangan kirinya memegang kepala dari
Dilara, dan menarik kepala dari Dilara hingga tersandar di dada dari dirinya
sendiri. Dilara yang sudah merasa kepalanya telah tersandar di dada dari
Negara, merasa tenang hatinya serta merasa begitu tegar dengan seketika.
“Terimakasih bapak, telah mencoba memberi sandaran padaku di saat aku yang sedang
berduka kini.”, Dilara berucap terimakasih bernada sedikit pilu.
Usainya berucap, Dilara mengangkat
kepalanya dari sandaran di dada Negara, beralih melihat Negara yang juga
melihat padanya. Lalu tertolehkan terpandang Milara yang sudah datang kembali
bersama ayah dari Firlana. Ayah dari Firlana berhenti di samping pintu ruang
ICCU, sedangkan Milara menghampiri Negara. Dan ketika sudah berhenti di antara
keduanya, Milara menetap melihat ke Dilara akan berbicara.
“Ayahnya sudah menceitakan
semuanya. Terimakasih, karna selama ini kamu sudah turut menjaganya. Kamu,
benar-benar sosok seorang sahabat yang baik untuknya.”, Milara mengutarakan
serta berucap terimakasih padanya. Dilara menjadi sedikit kaget padanya,
beralih melihat ke ayah dari Firlana. Lalu didengarnya kalau Milara berkata
pamit padanya, membuat Dilara kembali melihat ke pada dirinya. Dengan hanya
memberi senyum, Dilara mempersilahkannya.
Dan Milara yang sudah melihat,
mulai bergegas melangkah kecil. Begitupun Negara mengikuti Milara bergegas,
setelah melihat diam ke Dilara. Sementara ayah dari Firlana yang sudah melihat
perpisahan dari mereka bertiga, mulai merasa tersentuh terinngat wajah dari
putra semata wayangnya yang kala itu masih sehat.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!