Di kantor perusahaan milik keluarga Negara. . . .
Negara sedang berjalan sendiri
melewati beberapa karyawan yang sedang bekerja maupun yang sedang melintas
saja, demi menuju ke ruang kerja dari ayahnya. Negara yang selalu berwajahkan
polos, tatapan serta pandangannya cuek, begitupun dengan gayanya dalam
bergerak. Membuat karyawan yang terpandang kepadanya menjadi memperhatikannya
sejenak. Sebab mereka merasa terkesima, dengan keadaan Negara yang demikian rupa
bisa memegang sebuah tanggung jawab yang tak mudah.
Sementara di sana, ayahnya sedang
bertemu empat mata dengan ayah dari Dilara. Awalnya, mereka membicarakan
Sesuatu tentang perusahaan. Lalu kemudian berlanjut dengan ayah Dilara yang
berbagi, bahwa Dilara yang sebagai putrinya telah pergi mengidentitaskan
seperti orang hilang saja. Dan itu dapat didengar secara tidak sengaja oleh
Negara, yang hendak akan memasuki pintu ruangan setengah terbuka. Namun menjadi
beralih karna mengetahui ayahnya sedang menerima seorang tamu.
Negara kini sudah berada kembali
ke ruang kerjanya sendiri, ia sedang duduk di kursi khusus menerima tamu sambil
memikirkan sesuatu. Ia sedang memikirkan mengapa bisa ayahnya berbincang yang
merupakan serta seharusnya menjadi masalah pribadi untuk ayah dari Dilara,
bahkan kini Negara mulai merasa bingung dengan perbincangan ayahnya dengan ayah
dari Dilara yang jauh dari pekerjaan. “Bahkan orang yang lebih dewasa pun, bisa
melupakan pekerjaannya ketika ada yang berbagi, curhat.”.
Bisiknya kecil mencoba memahami
mereka berdua yang mungkin masih bersama di sana. Lalu secara tiba-tiba, Milara
memasuki ruang kerjanya, langsung menghampiri dengan langsung duduk di dekatnya.
“Halo, sobat! Aku ingin menunjukkan hasil proposal yang sudah aku susun
padamu.”, sapa Milara dengan membuka tasnya akan mengambil proposal segera
ditunjukkannya pada Negara. Negara hanya melihat diam tidak merespon sapanya
tadi.
Dan ketika baru menunjukkan
proposal kepada Negara, Milara tidak sengaja melihat Nil Ra yang baru
meletakkan segelas minuman di meja tempat keduanya sedang duduk dekat.
“Terimakasih, kau sudah mengantarkan segelas minuman. Tanpa menunggu dulu
perintah dari, pak Negara.”, Milara mengeluarkan kata sindiran terhadap Nil Ra
yang sudah berdiri tegak melihat padanya. “Celaka, dia cermat sekali dalam
membaca sikapku.”, bisik Nil Ra dihati mengeluh.
Namun ditegaskan Sesuatu oleh
Negara yang sedikit lupa. “Tidak! Aku belum memberi perintah pada Nil Ra, untuk
membawakan segelas minuman untukmu.”, tegas Negara menatap yakin pada keduanya.
Keduanya menjadi menatap aneh terhadapnya seorang. “Menunggu apalagi? Nil Ra,
cepat bawakan segelas minuman untuk sahabatku ini!”, Negara baru memberi perintah
dengan melihat ajakan ke Nil Ra. Nil Ra pun memberi senyuman lalu beranjak
pergi akan menuruti perintahnya.
Negara baru mulai beralih membuka
proposal yang telah ditunjukkan Milara, sedangkan Milara terpandang ke segelas
minuman di meja kerja dari Negara. Milara pun wajahnya menjadi terkejut sambil
bergumam dibenaknya, “What happen?”. Sebab merasa makin aneh karna ada dua
gelas minuman yang telah tersedia untuk Negara. Setelah beberapa saat kemudian,
Milara yang sedang melihat Negara mencermati proposal tersebut.
Tiba-tiba saja terbesit akan
membuka pintu ruang kerja dari Negara berandai dapat melihat suasana di luar
ruangan. Milara pun beralih menuju ke pintu ruang kerja itu, dan ketika membuka
ia mendapati Nil Ra sudah berada di depan pintu itu yang sudah dibuka olehnya dengan
sudah membawa segelas minuman. “Mengapa bisa, di dalam sudah tersedia dua gelas
minuman untuk pak Negara seorang?”, Milara langsung memberi tanya karna terpikirkan
yang tadi.
“Kondisi emosi dari pak Negara
sedang tidak stabil. Jadi tidak bisa menyeimbangkan konsentrasinya terhadap apa
saja yang sudah ada disekitarnya. Mungkin saja?”, Nil Ra menjelaskan berakhir
menerka tanya. Melihat yakin nan biasa ke Milara. Milara yang awalnya serius
mendengarkan, menjadi mendesah kecil karna Nil Ra menerka tanya diakhir. Dan
Milara mengambil apa yang telah dibawa Nil Ra akan membawanya sendiri, lalu
memerintahkan Nil Ra untuk pergi, sebabnya angkuh.
Nil Ra menerimanya memberi senyum
selamat tinggal, lalu beranjak pergi mencoba cuek. Milara yang sudah melihatnya
pergi, mencoba menutup pintu tersebut kembali menghampiri Negara untuk segera
duduk berdekatan.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Sore hari telah datang, begitupun
Firlana yang baru menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah kediaman Dilara.
Sesampainya di rumah kediaman Dilara, Firlana disambut oleh ibu dari Dilara
yang langsung memerintahkan dirinya untuk memasuki rumah melewati pintu
belakang rumah. Untuk langsung memasuki
kamar Dilara dimana ibu dari Dilara akan menemui dirinya di kamar itu. Sebab
ibu dari Dilara tidak ingin kedatangan Firlana diketahui oleh ayahnya yang
sudah pulang dari kantornya.
Setelah beberapa saat berjalan,
ibu dari Dilara pun mendatangi Firlana yang sedang berdiri di depan meja
belajar, di dalam kamar Dilara. “Sebenarnya Dilara tidak ada di kamarnya. Dia
belum pulang dari hari kemarin.”, sapa ibu dari Dilara mengatakan yang
sebenarnya ketika baru saja berdiam disebelah dirinya. Firlana melihat ke ibu
dari Dilara, menatap tanya sedikit terguncang karna sebuah kabar tersebut.
Sedangkan ibu dari Dilara beralih mengambil ponsel milik Dilara yang tersimpan.
“Dilara sengaja mematikan
ponselnya.”, sambung ibu dari Dilara menunjukkan ponsel milik Dilara. Meratapi
ponsel. Seketika Firlana teringat dengan apa yang sudah disampaikan oleh Dilara
tentang kondisi ponselnya di hari kemarin. Lalu mengambil lipatan kertas yang
telah tersimpan dibalik ponsel milik Dilara yang tersimpan tadi. ibu dari
Dilara yang sudah melhatnya, memilih diam berharap Firlana akan menemukan
sesuatu pada lipatan kertas, berupa sebuah surat yang baru ditemuinya itu.
“Jangan mencariku, mamah. Bila aku
dicari maka aku akan menjauh. Biarlah waktu yang membawaku kembali. Sebab
kecewaku karna tidak terima di diriku belum terluluhkan.”, suara Firlana
membacakan surat dari Dilara itu. Usai membaca surat itu, Firlana melihat lagi
ke ibu dari Dilara berautkan wajah tanya apa yang sedang terjadi di rumah ini.
“Hentikan raut wajahmu itu. Karna
saya tidak tahu apa yang telah mendorongnya tuk menuliskan curahannya itu.”,
ibu dari Dilara memberi sanggahan.
“Kemarin, Dilara sempat mengajakku
berbicara tentang ayah. Apakah, Dilara ada sedikit konflik dengan ayahnya? Maaf
tante bila aku terlalu ikut campur.”, Firlana menanyakan diakhiri meminta maaf.
“Putriku, dimana dia? Tolong bantu
cari dia, kamu sahabat lamanya pasti tahu dimana saja tempat dia pernah
bermain!”, ibu Dilara tidak menjawab pertanyaan dari Firlana. Karna lebih
mengkhawatirkan keberadaan dari putrinya.
Firlana memberi senyuman seolah
menegarkan ibu dari Dilara, diam-diam juga menegarkan dirinya sendiri. sebab
Firlana merasa semakin cemas saja terhadap keberadaan Dilara yang seperti sudah
menghilang. “Kalau pun bukan aku yang menemukannya. Maka orang baik akan Tuhan
jadikan perantara tuk menemukannya, mengembalikannya ke rumah ini. Percayalah
padaku tante, Dilara akan kembali pada akhirnya.”, Firlana memberi kata berupa
nasehat menyejukkan perasaan ibu dari Dilara.
Ibu dari Dilara pun langsung
menunjukkan senyum ketegaran padanya, lalu meraba meja belajar putrinya itu
seolah-olah sedang meraba hangat tubuh dari putrinya. Firlana sudah membuka
teka-teki dari Dilara, tulisan dibalik sebuah lipatan kertas itulah kuncinya.
Tinggal menunggu waktu saja, siapa yang akan berhasil menemukan Dilara dan akan
serta merta mengembalikannya ke rumah kediamannnya.
Malam harinya. . . .
Firlana
sedang berada dijalanan menggunakan motornya sendiri, ia sedang berusaha
mencari jejak keberadaan dari Dilara ditengah gelap terangnya jalanan ibu kota.
Bahkan beberapa kali ia menghentikan motornya, bertanya pada setiap warga yang
ditemuinya dengan menunjukkan foto dari Dilara. Itu dilakukannya selama
beberapa kali berturut-turut. Dan ketika hampir sampai ke sebelas kalinya
Firlana mlakukannya, tiba-tiba ia berhenti dari mengendarai motornya karna
terinngat suatu hal.
“Dilara
sudah menuliskan untuk jangan mencari, bila dicari maka menjauh?”, gumamnya
bertanya-tanya melihat ke aspal jalanan. “jadi aku harus pulang? Meniadakan
niatku yang ingin masih mencari?”, bisiknya berbicara sendiri. Lalu beralih
mengambil ponselnya tuk melihat jam berapa sekarang, dan jam pada ponselnya
menunjukkan pukul sebelas malam. Dan karna mengingat kalau pada hari esok ia
harus bekerja, ia pun memutuskan tuk menghentikan niatnya mencari Dilara malam ini.
Semua yang mengenal sosok Dilara
secara dekat, begitu menyayanginya. Bahkan Firlana sudah menyayanginya sejak
lama, lebih dari hubungan sahabat. Dan itu masih terpendam sebab Firlana tidak
ingin dulu mengungkap perasaannya, yang telah lama menganggap Dilara sebagai
kekasih hatinya. Poin itulah yang membuat Firlana tetap menjaga Dilara hingga
kini.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar