Pagi harinya, di rumah kediaman
Dilara, orangtuanya sedang melakukan sarapan pagi bersama. Dimana Dilara,
mengapa dirinya tidak ikut bergabung? Ia masih tidur berselimut sambil memeluk
boneka panda kesayangannya. Karna pada setiap hari sabtu dan minggu, Dilara
selalu absen untuk bangun pagi. Dan ibunya sudah menyadari itu sejak Dilara
masih berstatus seorang pelajar hingga sekarang ini. Kembali pada orangtunya,
mereka baru memulai sarapan paginya.
Dan saat menjelang akan mengakhiri
sarapan paginya, ayahnya menyempatkan untuk berbicara singkat kepada ibunya,
yang sedang duduk bersama disebelahnya. “Dilara kenapa? Padahal papah mau
berbicara dengannya pada pagi ini.”, tanya ayahnya melihat ke ibunya mengakhiri
makannya. “Papah seperti kurang mengenal Dilara saja. Hari ini hari sabtu,
sudah jadwalnya dia untuk bangun lebih lama.”, ibunya mengingatkan melihat ke
ayahnya. Mengakhiri makannya juga.
“Ya sudah. Kalau begitu nanti malam
saja papah berbicara dengannya.”, ayahnya berbicara mennyudahi dengan berdiri
dari duduknya. Lalu disusul ibunya. Dan mereka berdua pergi meninggalkan meja
makan menuju luar keteras rumah. Karna ayahnya harus segera pergi ke kantor,
sementara ibunya mendampingi sampai keteras rumah saja.
Selang waktu berjalan. . . .
Hari sudah memasuki siang, di dalam
ruang kerjanya, Negara sedang bersantai dengan bersandar di kursi kerjanya. Ia
sedang menunggu seorang office boy membawakan secangkir moccacino padanya. Setelah
beberapa menit menunggu, seorang office boy yang ditunggu kedatangannya pun
datang memasuki ruang kerjanya. Negara mulai menegakkan duduknya sembari
berpangku tangan di atas meja kerjanya. Office boy itu baru saja meletakkan
secangkir moccacino di meja kerjanya.
Sementara Negara fokus ke tanda
pengenal dari seorang office boy itu. Seorang office boy itu adalah seorang
office yang ditemuinya kemarin. “Nil Ra…?”, sapa Negara pada office boy itu. Entah
dirinya hanya menyapa atau bersambung menanyakan. Office boy itu baru melihat
padanya, tegap berdiri menyahutnya. “Maaf pak, anda sedang memanggil saya?”,
office boy itu menyahut tanya karna merasa dilema.
“Tidak, saya hanya ingin
memastikan namamu menurut pada tanda pengenal yang sudah kamu pakai.”, sanggah
Negara sedikit lugu. Office boy itu memberi senyum mulai menatap segan. Negara
masih tetap pada keluguannya lalu mempersilahkan office boy itu untuk pergi
bila sudah tidak ada yang ingin disampaikan. Dan office boy itupun berkata
pamit untuk pergi dengan kesopanannya kepada bos barunya. Pertemuan mereka
berdua pun terjadi amat singkat daripada pertemuan pertama, kemarin.
Malam harinya. . . .
Sebelum makan malam bersama
dilakukan, Dilara dan kedua orangtuanya menyempatkan untuk berkumpul di ruang keluarga.
Mereka duduk bersama secara bersejajar, dengan Dilara duduk di tengah kedua
orangtuanya. Dan ayahnya akan langsung menyampaikan apa yang sudah disimpannya
pada pagi tadi.
“Dilara, teman papah telah
menawarkan suatu pekerjaan untukmu, yaitu kamu bisa bekerja di kantor
perusahaan milik keluarganya. Apakah kamu mau menerimanya?”, permisi ayahnya
melihat mohon.
“Bila persyaratannya tidak rumit,
Dilara akan mencobanya papah. Sebab, Firlana sudah mendapatkan pekerjaannya,
masa iya Dilara harus menunda apa yang sudah ditawarkan oleh teman papah kepada
Dilara.”, sahut Dilara mendukungnya. Melihat bijak nan perhatian.
Ayahnya menjadi tersenyum, lalu
mencium kening putrinya itu. Disambung ibunya yang ikut tersenyum mendekap
putrinya dari samping. Lalu mereka bertiga beralih untuk segera melakukan makan
malam bersama.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!
Minggu pagi, Firlana sedang
menyibukkan diri mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya pada sebuah
koper miliknya. Karna nanti ketiika memasuki pertengahan hari, ia akan terbang
ke Bali. Alasannya demi menjalani sebuah tour dari rumah galeri “MILARATIONIC”,
tempatnya telah bekerja. “Tunggu saja aku kembali.”, bisiknya biasa masih
mempersiapkan barang-barangnya. Entah mengarah pada siapa bisikkan biasa dari
dirinya itu, dan akan segera kita ketahui bersama.
Selang waktu berjalan. . . .
Hari sudah memasuki pertenaghan
hari. Di rumah kediamanannya, Dilara sedang menerima hukuman dari ibunya. Sebab
ia telah tidak sengaja menyenggol beberapa piring hingga pecah, ketika mencoba
mencuci tangannya sehabis memegang barang kotor. Dilara dihukum menyirami
tanaman yang berada disekitar halaman depan rumahnya. Dengan mimik wajah yang
kurang bersahabat, Dilara bersedia menerima hukuman tersebut.
Ketika masih sedang menyirami
tanaman di sekitar halaman depan rumahnya, Dilara tidak sengaja melihat Firlana
yang sudah berjalan di halaman rumahnya akan segera menghampirinya. Firlana
memakai seragam dari rumah galeri “MILARATIONIC”. Dilara pun menghentikan
pekerjaannya beranjak menghampiri Firlana. Dan kini mereka sudah sama-sama
berhenti, berhadapan serta berpandangan.
“Sejarang-jarangnya aku berkunjung
kerumahmu, kenapa baru hari ini telah dapat aku melihat, kau sedang menyirami
tanaman?”, sapa Firlana menanyakan sedikit heran.
“Rapi banget? Pasti kamu sedang
mengenakan seragam dari rumah galeri “MILARATIONIC”?”, Dilara menyahut lain
mulai menyinggung kecil. Firliana menjadi tertawa kecil melihatnya.
“Sayangnya aku tidak bisa berargumen
panjang sama kamu hari ini. Karna aku harus pergi, mengikuti tour….?”, belum
sempat Firlana menuntaskan penyampaiannya. Dilara memotong.
“Ciyeee, yang tour gak ajak-ajak
diriku. Asik dong yah, traveling….?”, Dilara memberi singgungan lagi. Firlana
membalas memotong.
“Alasannya karna dari pekerjaan,
bukan traveling yang sudah terbesit dipemikiranmu?”, Firlana berkata jujur
menenangkan Dilara.
Dilara pun menjadi terdiam
melihatnya bingung. Sedangkan Firlana berpesan, “Tunggu saja aku kembali.”,
tegasnya kecil. Dilara semakin terdiam melihatnya bingung. “Janjimu seperti
seorang kekasih saja. Ya, aku persilahkan kamu demi keberhasilanmu.”, Dilara
berkata mempersilahkan. Mencoba mengalah meniadakan sebuah argumen. Firlana pun
berkata pamit padanya, “Miss you”, dengan bahasa sedikit manja. Dan Dilara
mengangguk, memberi senyum padanya sebagai balasan.
Dan kini Firlana sudah berbalik
pergi membelakanginya, Dilara masih melihat dirinya menunggu hingga Firlana
memasuki mobil taxi sebagai tumpangan. Sementara di balkon atas bagian depan
rumahnya, ibu dari Dilara sudah melihat keduanya sedari tadi. “Bagaimana kalau
persahabatan lama mereka, akan berubah menjadi cinta diantara putriku dengan
sahabat lelakinya? Dan kini itu yang sedang aku cemaskan!?”, bisik ibunya sesudah
melihat mereka berdua secara diam-diam.
Beberapa saat kemudian. . . .
Kini Dilara sudah berada di dalam
kamarnya, ia sedang duduk di meja belajarnya. Masih duduk di meja belajarnya
itu, Dilara memperhatikan lembaran pada buku hariannya yang belum tertulis
sesuatu apapun. Lalu ia mempunyai ide tuk mencoba membuat tulisan grafitri pada
lembar dibuku hariannya itu. Dicobanya menuliskan, “Aku takut Jatuh Cinta
Padamu”, dengan penuh pada lembaran dibuku hariannya tersebut. Lalu berdiam
meredamkan gejolak asmara yang kini dirasanya karna sebuah perpisahan tadi.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar