Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #37

Setelah beberapa hari terlewati, tepatnya di pagi hari setelah melakukan sarapan pagi. Dilara baru menyadari bahwa pada malam nanti, pesta pernikahan dari temannya bernama Raya akan segera dilaksanakan. Dilara yang sudah berada di dalam kamarnya, mencoba berpikir sejenak pakaian apakah yang akan ia kenakan. Dilara pun kini menjadi berjalan berbolak-balik, mencoba berpikir keras pakaian apakah yang akan ia kenakan pada malam nanti.
Beralih ke sana, Negara yang sedang duduk di kursi kerjanya, di dalam ruang kerjanya. Sedang mengamati sebuah undangan pernikahan yang harus di hadirinya pada malam nanti. Beralih kembali ke Dilara, Dilara sedang mengambil beberapa baju gaun miliknya dari lemari berniat akan mencobanya demi mengetahui cocok atau tidak ketika ia sudah memakai salah-satu dari beberapa baju gaun miliknya itu.

Dan malampun tiba. . . .

Malam telah menampakkan beragam keindahannya di pesta pernikahan Raya, seorang teman semasa SMA dari Dilara dan Firlana. Raya dan sang mempelai pria, mendapat sambutan, ucapan selamat dari para tamu yang turut menghadiri pesta pernikahannya. Dari sekian banyak tamu yang telah memberi selamat padanya, menghampirinya kepelaminannya. Ada seorang yang membuatnya merasa teramat girang nan haru, seorang itu baru tampak sedang berjalan menghampirinya kepelaminannya.
Seorang itu adalah Dilara, yang kini sedang berjalan sambil membawa kado mencoba menghampiri Raya di pelaminan. Dan begitu Dilara sudah berdiam, berhadapan dengan Raya di pelaminan. Raya langsung memeluknya menyalurkan rasa bahagianya. Dilara pun menjadi ikut merasa kebahagiaan darinya, mulai merasa tersentuh.
“Dilara di mana Firlana? Aku telah menunggu kedatangannya bersamamu.”, tanya serta bercurah Raya usainya melepas pelukannya. Menatap Dilara bertanya, mencari.
“Dia, sedang berhalangan hadir.”, Dilara langsung berkata menanggapi tidak mencritakan yang sebenarnya. Menatap canggung.
Raya meresponnya dengan langsung mempercayainya, menunjukkan senyum kebahagiaannya. Sedangkan Dilara beralih memberi selamat padanya, lalu mencoba melihat ke sang mempelai pria memberi selamat pula padanya. Namun amat disayangkan, Dilara kurang memperhatikan wajah dari sang mempelai pria tersebut. sebab Dilara terburu bergegas tuk meninggalkan pelaminan, meinggalkan kedua pengantin.  
Tak berapa lama Dilara pergi meninggalkan pelaminan. Sang mempelai pria yang sudah terduduk di kursi pelaminannya, tiba-tiba saja menjadi berdiri dari duduknya. Ketika baru saja melihat, mengetahui jika seorang tamu laki-laki telah berjalan mencoba tuk menghampirinya. Sang mempelai pria tersebut adalah Nil Ra, dan seorang tamu laki-laki itu adalah Negara. “Raya, lihatlah! Temanku sudah datang.”, katanya berbisik memberitahukan Raya.
Raya yang sedang duduk telah mendengar bisiknya, melihat padanya. Tiba-tiba saja menjadi ikut berdiri ketika sudah mengetahui siapa seorang teman yang telah dimaksud oleh Nil Ra. Mereka berduapun kini menjadi melihat bersama ke Negara, menantinya di pelaminan. Dan begitu Negara telah berdiam dihadapan keduanya, di pelaminan. Negara melihat bingung kepada kedua sang mempelai, sebab kedua sang mempelai berdiam menatap pada dirinya sedikit tersenyum canggung.
“Selamat malam, pak. Maaf jika kami hanya berdiam sedikit tersenyum canggung, dalam menatap bapak.”, Nil Ra memberanikan tuk berkata menyampaikan kata maaf. “Selamat ya, sudah sah menjadi suami istri.”, Negara baru memberi selamat melihat keduanya. Raya sang mempelai wanita menjadi tersenyum lepas melihat keduanya. Sedangkan Negara baru saja terpandang pada Raya, lalu tertolehkan kepalanya ke belakang, tak sengaja melihat Dilara sedang seorang diri.
Negara pun spontan menjadi melangkah pergi meninggalkan kedua sang mempelai, sebab tujuannya kini terarah pada Dilara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Kini Dilara sedang berjalan melihat pemandangan, hiburan yang ada. Ia merasa sepi, sebab baru terpikirkan kalau Firlana sedang tidak bersamanya, tidak pula menjadi seorang partner di pesta pernikahan dari Raya. Kemudian ada seorang yang menghentikan jalannya dengan seorang itu memilih berdiam di depannya. Dilara pun menjadi tersadar melihat ke seorang itu, “Pak Negara, kenapa bisa sampai ke pesta pernikahan dari teman semasa SMA ku?”, tanyanya begitu sedikit terkejut.
Negara berdiam melihatnya lalu mengajaknya untuk melihat sang mempelai pria di pelaminan, dengan memalinngkan wajahnya sendiri melihat ke sang mempelai pria. Dilara menjadi reflek mengikutinya, lalu bergumam
“Astaga, baru aku sadari kalau dia adalah Nil Ra?”, seketika baru mengetahuinya. Negara memalingkan wajahnya sendiri kembali melihat Dilara. “Apakah Nil Ra turut mengundang dirimu juga?”, tanya Negara ingin mengetahui kehadiran Dilara di pesta pernikahan dari Nilra. Dilara menjadi tersenyum melihat padanya balik, kembali.
“Sang mempelai wanita, adalah teman semasa SMA ku. Kalau benar begitu, berarti kita telah turut menghadiri pesta pernikahan dari teman kita masing-masing.”, bahasanya lembut menjawab tanya dari Negara. Usai menjawab, Dilara memperhatikan Negara yang memakai baju kemeja berwarna merah muda. Sedangkan dirinya memakai baju gaun berwarna hitam.
“Ada apa dengan penampilanku? Tampak begitu soft ya?”, tanya Negara setelah melihat Dilara memperhatikan penampilannya. Dilara mulai menatapnya tertegun. “Ayo, kita berdansa seperti para tamu lainnya.”, ajak Negara menyambung menatap mulai menggoda. Dilara menjadi menatap keluh baru berkata,“Tidak terimakasih.”. Dan keduanya akan saling berbicara, seperti sedang melepas rindu setelah tidak cukup lama tidak bertemu bertatap muka.
“Dilara, setelah momen perpisahan itu terjadi, tidakkah kau ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Negara mengingatkan momen perpisahan pada waktu itu.
“Jadi maksud bapak, ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Dilara sebab merasa bingung.
Negara mengangkat kedua tangannya, kedua telapak tangannya menyentuh wajah dari Dilara memakai sentuhan lembut. “Sungguh, saat ini aku telah memakai seluruh perasaanku.”, katanya menatap tajam mengutarakan perasaannya melalui kontak mata. Dilara pun telah dapat membacanya, berdiam diri, membisu sambil merasakan degug jantungnya bergejolak lagi. “Sudahkah ada cinta untukku?”, sambung Negara bertanya soal cinta padanya.
Dilara menjadi beralih melihat ke bawah, teringat dengan bayang-bayang tentang perjodohannya serta kejadian pada malam itu. Pada malam itu dimana sahabatnya, Firlana sedang berada dirumah sakit, sementara Dilara sedang menunggu kedatangannya dengan duduk bersama Negara di bawah langit penuh bintang. Hingga pada akhirnya Dilara membaca sebuah pesan dari Firlana yang membatalkan janjinya, tuk menemuinya di sebuah taman pada malam itu.
Setelah hening berjalan karna Dilara terbayang-bayang hal demikian, Dilara baru berkata lagi. “Pak, sepertinya saya harus pulang sekarang.”, pamitnya ingin meninggalkan Negara. Negara yang sudah mendengarnya, melepaskan kedua telapak tangannya dari menyentuh wajah Dilara. Berpaling melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Dan ketika Negara akan kembali berpaling melihat ke Dilara, Dilara sudag lebih dulu pergi dengan meninggalkan sentuhan pada tangannya.
Negara sudah mengutarakan seluruh perasaannya, bahkan tadi sudah menanyakan soal cinta pada Dilara. Dan Negara hanya meratapi Dilara yang masih berusaha pergi menghindar darinya. Sementara Dilara yang sudah berada di luar area tempatpesta pernikahan Raya berlangsung, menjadi menangis kecil. Sebab merasa dilema dengan apa yang sudah diutarakan oleh Negara padanya tadi, dengan bayang-bayang itu yang telah teringat olehnya kembali. Dan mulai memikirkan keduanya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Malam telah berganti pagi. Pada pukul delapan pagi lewat beberapa menit. Dilara telah berada di rumah sakit tempat Firlana masih di rawat. Bahkan ia kini di sana baru saja memasuki ruang ICCU, lalu duduk berdiam meratapi sahabatnya yang masih betah tidur dalam lelapnya. Saat ketika sudah berdiri meratapinya, Dilara tiba-tiba saja terpandang pada sebuah kertas yang terletak pada meja, tepat di samping tempat tidur dari sahabatnya itu berbaring.
Dilara pun mengambil sebuah kertas yang kian membuatnya menjadi semakin penasaran saja. Dan ternyata setelah di amati, sebuah kertas tersebut merupakan sebuah undangan dari Raya untuk sahabatnya itu. “Raya? Pantas saja ia menanyakan tentang kedatangan dari Firlana semalam tadi.”, gumamnya berbisik megamati sebuah undangan dari Raya tersebut. Tanpa di ketahuinya, yang telah membawa undangan tersebut adalah ayah dari Firlana, tepatnya pada semalam tadi.
Dan tanpa di saksikan olehnya, ayah dari Firlana telah membacakan isi dalam undangan tersebut. Bersamaan dengan pesta pernikahan dari Raya di sana, sedang berlangsung pada semalam tadi. Ada sebuah hikmah yang telah didapatkan oleh ayah dari Firlana. Setelah membaca isi dalam undangan tersebut, Firlana telah menunjukkan sebuah respon dengan menunjukkan senyum amat kecil di bibirnya. Dan ayah dari Firlana yang sudah melihat secara bersamaan, menjadi tersenyum semangat.

Enam bulan kemudian. . . .

Sudah genap enam bulan Firlana telah di rawat, di rumah sakit yang sama serta keadaannya yang masih sama. Hampir tidak ada perubahan yang ia tunjukan, dan monitor yang mengontrol kondisi dirinya kadang menurun, namun selalu dapat stabil dengan sendirinya. Kini ia sedang di temani oleh ibu kandungnya, yang baru saja berhasil di temui oleh ayahnya setelah sekian bulan mencari keberadaan dari ibu kandungnya.
“Firlana, ini ami. Maafkan ami yang telah membuatmu menunggu lama, serta membuat abi menagalami kesulitan dalam mencari keberadaan ami.”, curahnya berbisik haru meratapi wajah putra semata wayangnya. Ayahnya yang sedari tadi ada bersamanya, berada disamping ibu kandungnya akan berkata sesuatu. “Tidak usah kau sesali itu. mungkin sudah begitu jalannya. Jangan bersikap mensesali.”, ayahnya menghibur ibu kandungnya.
Lalu secara tiba-tiba, terdengar suara monitor yang menandakan bahwa jantung dari Firlana mulai melemah. Ayahnya pun langsung bergegas memanggil suster terdekat, dan ibu kandungnya bergegas menyusul ayahnya ikut memanggil seorang suster terdekat. Kedua orangtuanya merasa panik, hingga mata dari keduanya mulai berkaca-kaca ketika sudah melihat beberapa suster bergegas akan menangani putra semata wayang mereka berdua.
Sementara di luar ruangan, tampak Dilara sedang berjalan akan segera menuju ke ruangan dari Firlana. Namun ketika sudah sampai baru melewati jendela ruangan dari Firlana, langkahnya menjadi terhenti karna terpandang pada jendela ruangan tersebut yang telah tertutup tabir. Dilara pun mendekati jendela yang telah tertutup tabir itu sambil merabanya, merasakan cemas ketakutan sehingga mengetuk kecil jendela itu.
Didengarnya jika suara monitor seperti sedang berisik, suara gerak-gerik para suster dan dokter pun mulai didengarnya. Dirinya menjadi terdiam hening sesaat, menikmati suara yang sedang beraktifitas di balik jendela yang tertutup tabir itu. lalu kemudian menjadi melangkah mundur tiga langkah, berhenti di tempat sambil menutup kedua telinganya. Tangisannya pun menjadi pecah, terisak meraung seorang diri.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Kemudian Dilara memberanikan diri tuk membuka kedua telinganya kembali, terlihat kini kedua tangannya menggantung lemas ke bawah. Terdengar suara monitor dari dalam ruangan tersebut sudah mereda, rasa lega pun mulai di rasakannya. Lalu ia mendengar suara yang telah memanggil dirinya, tepat di arah samping kanan dirinya. Dan ketika ia mencoba melihat ke siapa yang telah memanggilnya tadi, mendadak dirinya menjadi kaget.
Sebab siapa yang telah memanggilnya tadi adalah Milara. “Katakan padaku? Siapa yang sudah kau tangiskan?”, tanya Milara begitu menanyakan menatap Dilara. Dilara menjadi menangis kecil melihat kebawah. “Kenapa ibu Milara bisa sampai ke sini?”, Dilara berbalik tanya. Milara pun menjawab, “Saya sedang menemani sahabat saya menebus obat untuk ibunya, tepat di apotik rumah sakit ini.”. Dilara sudah mendengar jawaban darinya, berdiam hening.
Sedangkan Milara terpandang pada ayah dari Firlana yang baru saja keluar dari pintu ruangan ICCU. Ayah dari Firlana pun menjadi terpandang pula padanya, lalu berkata meminta Milara untuk ikut dengan dirinya. Milara langsung meresponnnya dengan berjalan menghampiri, dan mereka berdua pergi bersama ke suatu tempat untuk bicara. Meninggalkan Dilara bersama seorang lagi. “Apa kabar? Aku dengan seluruh perasaanku yang masih sama. Telah tak terlihat oleh pandanganmu.”, sapa seseorang.
Seseorang yang sedari tadi telah tertutupi oleh tubuh Milara, sebab berdiam dibaliknya. Dilara yang hening meratapi Milara sedang berjalan pergi bersama ayah dari Firlana, baru menolehkan kepalanya ke arah seseorang tadi yang telah bersapa dengannya. “Bapak?”, sapanya lemas bertanya mulai menatapi. Seseorang tersebut adalah Negara, yang telah mengajak Milara untuk pergi bersama demi membelikan obat untuk ibunya sendiri tepat di apotek rumah sakit ini.
“Siapakah yang sedang sakit? Sehingga membuatmu menjadi begitu tersedih seperti itu?”, Tanya Negara segera ingin mengetahui. Mencoba menatap bijak. Dilara menatapnya sedih, lalu berkata, “Firlana. Dan mungkin kini, ayahnya sedang mencoba untuk bicara dengan ibu Milara. Agar ibu Milara tidak menjadi salah paham.”. Mendengar tuturnya, Negara mengangkat tangan kanannya menyentuh kepala dari Dilara, karna baru mengetahui sebab Dilara begitu tersedih.
“Sabar ya.”, Negara baru berkata lagi menatap begitu haru. Lalu di sambung tangan kirinya memegang kepala dari Dilara, dan menarik kepala dari Dilara hingga tersandar di dada dari dirinya sendiri. Dilara yang sudah merasa kepalanya telah tersandar di dada dari Negara, merasa tenang hatinya serta merasa begitu tegar dengan seketika. “Terimakasih bapak, telah mencoba memberi sandaran padaku di saat aku yang sedang berduka kini.”, Dilara berucap terimakasih bernada sedikit pilu.
Usainya berucap, Dilara mengangkat kepalanya dari sandaran di dada Negara, beralih melihat Negara yang juga melihat padanya. Lalu tertolehkan terpandang Milara yang sudah datang kembali bersama ayah dari Firlana. Ayah dari Firlana berhenti di samping pintu ruang ICCU, sedangkan Milara menghampiri Negara. Dan ketika sudah berhenti di antara keduanya, Milara menetap melihat ke Dilara akan berbicara.
“Ayahnya sudah menceitakan semuanya. Terimakasih, karna selama ini kamu sudah turut menjaganya. Kamu, benar-benar sosok seorang sahabat yang baik untuknya.”, Milara mengutarakan serta berucap terimakasih padanya. Dilara menjadi sedikit kaget padanya, beralih melihat ke ayah dari Firlana. Lalu didengarnya kalau Milara berkata pamit padanya, membuat Dilara kembali melihat ke pada dirinya. Dengan hanya memberi senyum, Dilara mempersilahkannya.
Dan Milara yang sudah melihat, mulai bergegas melangkah kecil. Begitupun Negara mengikuti Milara bergegas, setelah melihat diam ke Dilara. Sementara ayah dari Firlana yang sudah melihat perpisahan dari mereka bertiga, mulai merasa tersentuh terinngat wajah dari putra semata wayangnya yang kala itu masih sehat.         

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar