Dua hari kemudian. . . .
Di malam hari, Negara sedang
melakukan panggilan video call dengan Dilara, di rumah kediamannya
masing-masing. Dilara sedang berada di balkon depan rumahnya. Sementara Negara
sedang berada di ruang kerjanya, tepatnya sedang duduk sendiri di hadapan laptop
kerjanya. Dalam keadaan yang demikian, mereka berduapun mulai berbincang,
membicarakan tentang hari esok.
“Apakah saya telah mengganggu
malammu?”, tanya Negara melihat biasa.
“Bapak, sudah ketiga kalinya bapak
bertanya yang sama secara berturut. Mulailah bapak mengajakku berbicara
denganku memakai topik yang lain.”, Dilara mengingatkan melihat biasa namun
menunggu.
“Masih betah bersamaku?”, tanya
Negara memancing pengakuan darinya. Dilara menjadi tertawa kecil sebab sedikit
merasa geli dengan tanya dari dirinya.
“Sebagai seorang asisten sementara
dari bapak. Ya, mesti betah-betahin lah dengan beragam tugas yang telah bapak
percayakan kepada saya.”, jawab Dilara begitu merasa biasa terhadap dirinya.
“Ternyata kau kurang memahani
maksud diriku. Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam
tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang
yang dahulu.”, Negara mulai memberitahukan sesuatu menatap keluh. Sedikit
berkeluh.
“Jadi bapak bermaksud, telah
menjamin sebuah rasa bahagia untukku? Pada hari esok?”, Dilara bertanya mencoba
mengerti namun telah ada sebuah kekeliruan.
Negara pun memberi senyum lepas
menunjukkan pesona, seolah menunjukkan bahasa tubuh yang tak ingin melanjutkan
perbincangannya lagi dengannya. Dilara yang merasa sudah mengerti dengan bahasa
tubuh dirinya, memberi senyum balik sebab tidak tahu harus meyambung
perbincangannya dengan berbicara tentang apa. Namun kemudian setelah hening
sempat terjadi, Negara mulai berbicara lagi, “Bicaralah”, memberi kesempatan
Dilara tuk berbicara.
“Apa bapak sudah merasa cukup berbicara dengan
saya malam ini?”, Dilara menyahut tanya menatap menunggu kepastian dari
dirinya. Negara memberi senyum lepas menunjukkan pesonanya lagi, “Sampai jumpa
pada hari esok. Selamat malam.”, katanya mencoba mengakhiri. Dilara menjadi
tertawa kecil lalu menyahut, “Terimakasih, selamat malam juga bapak.”. usainya
mendengar sahutan terakhir darinya, Negara pun memutuskan video callnya.
Bahasa tubuh yang sempat Negara
tunjukkan tadi, didasari oleh rasa keluhnya yang telah kurang dimengerti maksud
dari dirinya, oleh Dilara. Dan ketika Dilara sempat mencoba mengerti, telah ada
sebuah kekeliruan. Sebab apa yang tadi sudah Dilara tanyakan maksud dari
dirinya serta mengujarkan, bukan sebuah jawaban yang sedang ditunggu oleh
Negara. Karna Negara membutuhkan sebuah pengakuan dari apa yang sempat
ditanyakan tadi pada Dilara.
Dari jawaban Dilara itulah, yang
telah menghancurkan keinginan Negara tuk menyambung perbincangan mereka berdua
lagi.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Hari esoknya, di dalam gedung
kantor perusahaan milik keluarga Negara. Tampak Dilara sedang berjalan dengan
terburu-buru karna sudah mengetahui bahwa dirinya telah terlambat sampai ke
kantor. Namun ketika benar sudah sampai ke ruang kerja dari Negara, tiba-tiba
saja tangannya di pegang oleh seorang bersamaan dengan dirinya yang akan
memegang gagang pintu ruang kerja dari Negara. Seorang yang telah memegang
tangannya itu ialah Negara.
Dilara sudah mengetahui melihat
padanya berdiam, sedangkan Negara membuka pintu ruang kerjanya sembari
menunjukkan seorang wanita di dalam ruang kerjanya. Dilara pun melihat ke
seorang itu, lalu melihat lagi ke Negara masih berdiam. Negara menutup pintu
ruangannya kembali, dan mereka berdua bertahan berdiri di luar tepat di depan
pintu luar ruangan dari Negara. “Kenapa bisa terlambat?”, Negara mulai berkata
bertanya melihat pada dirinya.
“Maaf, pak. Saya telat bangun
pagi, dan sebab itu saya terjebak macet selama beberapa menit.”, Dilara
mengatakan kendalanya mengapa dirinya bisa terlambat pergi ke kantor. “Masih
betah bersamaku?”, Negara mengulang tanyanya pada tadi malam. Dilara menjadi
menatap tanya, sebab dua kali sudah Negara menanyakan yang demikian. Sedangkan
Negara terpandang ke sekitarnya, dimana para karyawannya sudah berdatangan
melakukan tugas pekerjaannya masing-masing.
Setelah terpandang ke pada para
karyawannya itu, Negara mengajak Dilara untuk pergi ke café yang terletak di
luar gedung. Dilara pun mengiyakan ajakan darinya, dan mereka berduapun mulai
beranjak beralih dari tempatnya menuju café sebagai tujuan dari keduanya.
Beberapa saat kemudian. . . .
Kini
keduanya telah duduk berhadapan di café yang tadi sebagai tujuan dari mereka
berdua, keduanya sedang berpandangan diam dan akan memulai perbincangannya. “Pak,
saya mulai merasa penasaran dengan seorang wanita yang telah duduk di kursi
kerja, tempat saya.”, ungkap Dilara memulai berwajah tanya. Negara menarik
nafasnya berwajahkan sedikit dingin menyahut, “Bukan dia yang telah duduk di
kursi kerjamu. Tapi kamu yang telah sementara duduk di kursi kerjanya dia.”,
penjelasannya.
“Apakah dia sudah kembali, seorang
asisten tetapnya kamu?”, Dilara bertanya wajahnya mulai menggebu-gebu. Negara
pun mengulang katanya yang kemarin, “Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia
sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera
teralihkan pada orang yang dahulu.”. Spontan Dilara menjadi tertawa kecil
berwajahkan bahagia, mengangguk karna baru mengerti terhadap perkataan yang
telah di ulangi olehnya itu.
Kemudian Dilara menjadi berhenti
dari tawanya, wajahnya yang bahagia seketika berubah menjadi menanyakan. Sebab
Negara menanyakan lagi sebuah tanya yang sama, “Masih betah bersamaku?”. “Ini
sudah ketiga kalinya kamu menanyakan sebuah tanya yang sama padaku. Haruskah
aku menjawab yang sama seperti yang sudah….?”, keluh Dilara sedikit mencoba
menegaskan. Namun telah di sahut oleh Negara, menyanggah.
“Bukan jawaban itu yang aku mau,
aku hanya butuh pengakuan dirimu dari pertanyaanku yang sama. Itu saja,
Dilara!”, menegaskan menatap sedikit dingin. Dilara menunjukkan wajah lemas
berkata, “Dingin, pak.”, sebab merasa bahwa peperangan dingin akan terjadi.
Lalu melihat ke bawah mengalah. “Memang benar seorang yang sedang berada di
dalam ruang kerjaku, seorang asisten tetap dari ku yang telah kembali
bekerja.”, Negara berbicara lagi berubah menunjukkan bahasa lembut.
Dilara menetap melihat ke bawah,
memberi senyum serta memberi selamat padanya. “Sekarang kamu bebas. Pergi
kemana saja yang kamu suka. Lagipula kau tidak harus menemaniku lagi bukan?”,
Negara mengatakan tentang kebesan untuk dirinya berusaha tegar. Dilara menjadi
melihat padanya lagi, merasa tersentuh. “Kebersamaan kita telah berakhir sampai
di sini pak.”, sambung Dilara merasa tegar. Dan Negara memegang tangan kanan
dari Dilara yang terletak di meja, menggenggamnya.
Dlara yang merasakan serta begitu
mengetahui, jantungnya mulai berdegug merasakan sebuah gejolak. Sedangkan
Negara merasa sedikit mulas pada perutnya sendiri, mencoba tidak merasakan rasa
mulas pada perutnya. “Terimakasih untuk bantuanmu, sibukmu, waktumu, lelahmu,
kebosananmu dan yang lainnya. Maaf, bila ada yang sudah mengganggumu serta
membuatmu pernah merasa tidak berkenan.”, kata perpisahannya kepada Dilara.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Lalu Negara melepaskan
genggamannya sebab ada yang tiba-tiba saja menghubunginya. Negara pun
mengangkat teleponnya, menganggurkan Dilara sesaat. Dilara yang melihat Negara
sedang berbicara dengan seorang melalui telepon. Menjadi tersenyum sambil
mengatakan, “Dimulai hari ini, saya tidak akan lagi di buat menunggu kedatangan
bapak dari pertemuan lagi, pertemuan lagi.”, sedikit mengejek.
Negara yang telah mendengar kata
darinya, memberi senyum masih berbicara dengan seorang tersebut melalui
teleponnya. Suasana kini berubah menjadi santai, begitupun Negara yang sudah
memutuskan teleponnya. “Sampai dimana tadi?”, tegur Negara melihat Dilara yang
sedang meminum minumannya. “Sampai benar bapak menyuruh saya untuk pulang.”,
sahut Dilara mengajak canda. Karna Dilara sudah merasa begitu tegar.
Negara menjadi tersenyum
melihatnya senang. “kalau begitu, ya silahkan. Tapi ingat, jangan lupa untuk
main-main lagi ke sini. Sudah paham?”, Negara mempersilahkannya menunjukkan
perasaan senangnya. Dilara pun berdiri dari duduknya mencoba menatapnya,
berdiam. Negara dengan cueknya masih duduk melihat padanya. “Rasanya baru kali
ini, saya melihat lagi karakter khasnya kamu. Cu-ek!!!!”, Dilara mengungkap apa
yang telah ada pada pikirannya.
Negara menjadi berdiri pula, lalu
berkata menyahutnya. “Jangan salah paham dulu, karna bila sekali dia memberi
perhatian. Maka akan terasa begitu mengesankan.”, Negara mencoba menyanggah
dengan sedikit menggoda. Dilara menjadi tersenyum manja menatap kagum. Dan
Negara memberi tangannya, mengajak tuk segera berpamitan. Dilara yang baru
melihatnya, menggapai tangan dari Negara menikmati sebuah perpisahan.
“Aku akan merindukanmu. Bukankah
sekarang kita sudah menjadi teman?”, ungkap Negara bersambung tanya menatap
seperti menyanjung Dilara. Dilara ,mulai menatap sedikit malu, mengangguk. Lalu
menarik tangannya sendiri, baru memulai beranjak meninggalkan Negara. Negara
yang sudah melihat tingkahnya, dapat memaklumi sebab telah di ketahui kalau
Dilara sedang mengalami salah tingkah.
Selang waktu berjalan. . . .
Kini Dilara sedang berada di rumah
kediamannnya kembali. Dilara sedang berdiri di depan jendela, di dalam kamarnya
yang terbuka. Ia sedang menghirup udara mencoba meresapinya secara perlahan,
mengingat momen perpisahannya tadi dengan Negara. Lalu ia berbalk, membelakangi
jendela kamarnya yang terbuka, tiba-tiba saja menunjukkan wajah girang melihat
langit-langit kamarnya. Dan Dilara akan mengungkap sesuatu yang baru saja telah
dapat dirangkum oleh hatinya.
“Jantung yang telah berdegug,
bergejolak ketika sedang bersamanya. Baru tersadari olehku, bahwa itu adalah
sebuah tanda jika aku telah jatuh hati padanya.”, ungkapnya bernada girang
dapat menerima yang sudah terjadi pada dirinya. Lalu melangkah masih melihat ke
langit-langt kamarnya menyambung, “Tuhan, aku tidak pernah merasakan sebuah
rasa yang amat indah ini. Sungguh sebuah anugerah yang telah lama aku tunggu.”,
berhenti langkahnya berdiam menatapi langit-langit kamarnya.
Sementara Negara di sana, ia
sedang berdiri mengahadap jendela yang terbuka di dalam ruang kerjanya. Negara
pun berbisik, “Rasa lega muncul, ketika dirinya telah tiada di hadapanku. Sebab
rasa mulas pada perutku tidak aku rasakan lagi. Namun, aku sudah pastikan kalau
diriku telah menantinya tuk kembali di sini, bersamaku, milikku.”. Mereka
berdua telah saling membicarakan, tapi akankah ada sebuah momen penyatuan
antara apa yang telah mereka berdua rasakan? Simak saja lagi ceritanya.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar