Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #36

Dua hari kemudian. . . .

Di malam hari, Negara sedang melakukan panggilan video call dengan Dilara, di rumah kediamannya masing-masing. Dilara sedang berada di balkon depan rumahnya. Sementara Negara sedang berada di ruang kerjanya, tepatnya sedang duduk sendiri di hadapan laptop kerjanya. Dalam keadaan yang demikian, mereka berduapun mulai berbincang, membicarakan tentang hari esok.
“Apakah saya telah mengganggu malammu?”, tanya Negara melihat biasa.
“Bapak, sudah ketiga kalinya bapak bertanya yang sama secara berturut. Mulailah bapak mengajakku berbicara denganku memakai topik yang lain.”, Dilara mengingatkan melihat biasa namun menunggu.
“Masih betah bersamaku?”, tanya Negara memancing pengakuan darinya. Dilara menjadi tertawa kecil sebab sedikit merasa geli dengan tanya dari dirinya.
“Sebagai seorang asisten sementara dari bapak. Ya, mesti betah-betahin lah dengan beragam tugas yang telah bapak percayakan kepada saya.”, jawab Dilara begitu merasa biasa terhadap dirinya.
“Ternyata kau kurang memahani maksud diriku. Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang yang dahulu.”, Negara mulai memberitahukan sesuatu menatap keluh. Sedikit berkeluh.
“Jadi bapak bermaksud, telah menjamin sebuah rasa bahagia untukku? Pada hari esok?”, Dilara bertanya mencoba mengerti namun telah ada sebuah kekeliruan.
Negara pun memberi senyum lepas menunjukkan pesona, seolah menunjukkan bahasa tubuh yang tak ingin melanjutkan perbincangannya lagi dengannya. Dilara yang merasa sudah mengerti dengan bahasa tubuh dirinya, memberi senyum balik sebab tidak tahu harus meyambung perbincangannya dengan berbicara tentang apa. Namun kemudian setelah hening sempat terjadi, Negara mulai berbicara lagi, “Bicaralah”, memberi kesempatan Dilara tuk berbicara.
 “Apa bapak sudah merasa cukup berbicara dengan saya malam ini?”, Dilara menyahut tanya menatap menunggu kepastian dari dirinya. Negara memberi senyum lepas menunjukkan pesonanya lagi, “Sampai jumpa pada hari esok. Selamat malam.”, katanya mencoba mengakhiri. Dilara menjadi tertawa kecil lalu menyahut, “Terimakasih, selamat malam juga bapak.”. usainya mendengar sahutan terakhir darinya, Negara pun memutuskan video callnya.
Bahasa tubuh yang sempat Negara tunjukkan tadi, didasari oleh rasa keluhnya yang telah kurang dimengerti maksud dari dirinya, oleh Dilara. Dan ketika Dilara sempat mencoba mengerti, telah ada sebuah kekeliruan. Sebab apa yang tadi sudah Dilara tanyakan maksud dari dirinya serta mengujarkan, bukan sebuah jawaban yang sedang ditunggu oleh Negara. Karna Negara membutuhkan sebuah pengakuan dari apa yang sempat ditanyakan tadi pada Dilara.
Dari jawaban Dilara itulah, yang telah menghancurkan keinginan Negara tuk menyambung perbincangan mereka berdua lagi. 

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Hari esoknya, di dalam gedung kantor perusahaan milik keluarga Negara. Tampak Dilara sedang berjalan dengan terburu-buru karna sudah mengetahui bahwa dirinya telah terlambat sampai ke kantor. Namun ketika benar sudah sampai ke ruang kerja dari Negara, tiba-tiba saja tangannya di pegang oleh seorang bersamaan dengan dirinya yang akan memegang gagang pintu ruang kerja dari Negara. Seorang yang telah memegang tangannya itu ialah Negara.
Dilara sudah mengetahui melihat padanya berdiam, sedangkan Negara membuka pintu ruang kerjanya sembari menunjukkan seorang wanita di dalam ruang kerjanya. Dilara pun melihat ke seorang itu, lalu melihat lagi ke Negara masih berdiam. Negara menutup pintu ruangannya kembali, dan mereka berdua bertahan berdiri di luar tepat di depan pintu luar ruangan dari Negara. “Kenapa bisa terlambat?”, Negara mulai berkata bertanya melihat pada dirinya.
“Maaf, pak. Saya telat bangun pagi, dan sebab itu saya terjebak macet selama beberapa menit.”, Dilara mengatakan kendalanya mengapa dirinya bisa terlambat pergi ke kantor. “Masih betah bersamaku?”, Negara mengulang tanyanya pada tadi malam. Dilara menjadi menatap tanya, sebab dua kali sudah Negara menanyakan yang demikian. Sedangkan Negara terpandang ke sekitarnya, dimana para karyawannya sudah berdatangan melakukan tugas pekerjaannya masing-masing.
Setelah terpandang ke pada para karyawannya itu, Negara mengajak Dilara untuk pergi ke café yang terletak di luar gedung. Dilara pun mengiyakan ajakan darinya, dan mereka berduapun mulai beranjak beralih dari tempatnya menuju café sebagai tujuan dari keduanya.

Beberapa saat kemudian. . . .

  Kini keduanya telah duduk berhadapan di café yang tadi sebagai tujuan dari mereka berdua, keduanya sedang berpandangan diam dan akan memulai perbincangannya. “Pak, saya mulai merasa penasaran dengan seorang wanita yang telah duduk di kursi kerja, tempat saya.”, ungkap Dilara memulai berwajah tanya. Negara menarik nafasnya berwajahkan sedikit dingin menyahut, “Bukan dia yang telah duduk di kursi kerjamu. Tapi kamu yang telah sementara duduk di kursi kerjanya dia.”, penjelasannya.
“Apakah dia sudah kembali, seorang asisten tetapnya kamu?”, Dilara bertanya wajahnya mulai menggebu-gebu. Negara pun mengulang katanya yang kemarin, “Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang yang dahulu.”. Spontan Dilara menjadi tertawa kecil berwajahkan bahagia, mengangguk karna baru mengerti terhadap perkataan yang telah di ulangi olehnya itu.
Kemudian Dilara menjadi berhenti dari tawanya, wajahnya yang bahagia seketika berubah menjadi menanyakan. Sebab Negara menanyakan lagi sebuah tanya yang sama, “Masih betah bersamaku?”. “Ini sudah ketiga kalinya kamu menanyakan sebuah tanya yang sama padaku. Haruskah aku menjawab yang sama seperti yang sudah….?”, keluh Dilara sedikit mencoba menegaskan. Namun telah di sahut oleh Negara, menyanggah.
“Bukan jawaban itu yang aku mau, aku hanya butuh pengakuan dirimu dari pertanyaanku yang sama. Itu saja, Dilara!”, menegaskan menatap sedikit dingin. Dilara menunjukkan wajah lemas berkata, “Dingin, pak.”, sebab merasa bahwa peperangan dingin akan terjadi. Lalu melihat ke bawah mengalah. “Memang benar seorang yang sedang berada di dalam ruang kerjaku, seorang asisten tetap dari ku yang telah kembali bekerja.”, Negara berbicara lagi berubah menunjukkan bahasa lembut.
Dilara menetap melihat ke bawah, memberi senyum serta memberi selamat padanya. “Sekarang kamu bebas. Pergi kemana saja yang kamu suka. Lagipula kau tidak harus menemaniku lagi bukan?”, Negara mengatakan tentang kebesan untuk dirinya berusaha tegar. Dilara menjadi melihat padanya lagi, merasa tersentuh. “Kebersamaan kita telah berakhir sampai di sini pak.”, sambung Dilara merasa tegar. Dan Negara memegang tangan kanan dari Dilara yang terletak di meja, menggenggamnya.
Dlara yang merasakan serta begitu mengetahui, jantungnya mulai berdegug merasakan sebuah gejolak. Sedangkan Negara merasa sedikit mulas pada perutnya sendiri, mencoba tidak merasakan rasa mulas pada perutnya. “Terimakasih untuk bantuanmu, sibukmu, waktumu, lelahmu, kebosananmu dan yang lainnya. Maaf, bila ada yang sudah mengganggumu serta membuatmu pernah merasa tidak berkenan.”, kata perpisahannya kepada Dilara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Lalu Negara melepaskan genggamannya sebab ada yang tiba-tiba saja menghubunginya. Negara pun mengangkat teleponnya, menganggurkan Dilara sesaat. Dilara yang melihat Negara sedang berbicara dengan seorang melalui telepon. Menjadi tersenyum sambil mengatakan, “Dimulai hari ini, saya tidak akan lagi di buat menunggu kedatangan bapak dari pertemuan lagi, pertemuan lagi.”, sedikit mengejek.
Negara yang telah mendengar kata darinya, memberi senyum masih berbicara dengan seorang tersebut melalui teleponnya. Suasana kini berubah menjadi santai, begitupun Negara yang sudah memutuskan teleponnya. “Sampai dimana tadi?”, tegur Negara melihat Dilara yang sedang meminum minumannya. “Sampai benar bapak menyuruh saya untuk pulang.”, sahut Dilara mengajak canda. Karna Dilara sudah merasa begitu tegar.
Negara menjadi tersenyum melihatnya senang. “kalau begitu, ya silahkan. Tapi ingat, jangan lupa untuk main-main lagi ke sini. Sudah paham?”, Negara mempersilahkannya menunjukkan perasaan senangnya. Dilara pun berdiri dari duduknya mencoba menatapnya, berdiam. Negara dengan cueknya masih duduk melihat padanya. “Rasanya baru kali ini, saya melihat lagi karakter khasnya kamu. Cu-ek!!!!”, Dilara mengungkap apa yang telah ada pada pikirannya.
Negara menjadi berdiri pula, lalu berkata menyahutnya. “Jangan salah paham dulu, karna bila sekali dia memberi perhatian. Maka akan terasa begitu mengesankan.”, Negara mencoba menyanggah dengan sedikit menggoda. Dilara menjadi tersenyum manja menatap kagum. Dan Negara memberi tangannya, mengajak tuk segera berpamitan. Dilara yang baru melihatnya, menggapai tangan dari Negara menikmati sebuah perpisahan.
“Aku akan merindukanmu. Bukankah sekarang kita sudah menjadi teman?”, ungkap Negara bersambung tanya menatap seperti menyanjung Dilara. Dilara ,mulai menatap sedikit malu, mengangguk. Lalu menarik tangannya sendiri, baru memulai beranjak meninggalkan Negara. Negara yang sudah melihat tingkahnya, dapat memaklumi sebab telah di ketahui kalau Dilara sedang mengalami salah tingkah.

Selang waktu berjalan. . . .

Kini Dilara sedang berada di rumah kediamannnya kembali. Dilara sedang berdiri di depan jendela, di dalam kamarnya yang terbuka. Ia sedang menghirup udara mencoba meresapinya secara perlahan, mengingat momen perpisahannya tadi dengan Negara. Lalu ia berbalk, membelakangi jendela kamarnya yang terbuka, tiba-tiba saja menunjukkan wajah girang melihat langit-langit kamarnya. Dan Dilara akan mengungkap sesuatu yang baru saja telah dapat dirangkum oleh hatinya.
“Jantung yang telah berdegug, bergejolak ketika sedang bersamanya. Baru tersadari olehku, bahwa itu adalah sebuah tanda jika aku telah jatuh hati padanya.”, ungkapnya bernada girang dapat menerima yang sudah terjadi pada dirinya. Lalu melangkah masih melihat ke langit-langt kamarnya menyambung, “Tuhan, aku tidak pernah merasakan sebuah rasa yang amat indah ini. Sungguh sebuah anugerah yang telah lama aku tunggu.”, berhenti langkahnya berdiam menatapi langit-langit kamarnya.
Sementara Negara di sana, ia sedang berdiri mengahadap jendela yang terbuka di dalam ruang kerjanya. Negara pun berbisik, “Rasa lega muncul, ketika dirinya telah tiada di hadapanku. Sebab rasa mulas pada perutku tidak aku rasakan lagi. Namun, aku sudah pastikan kalau diriku telah menantinya tuk kembali di sini, bersamaku, milikku.”. Mereka berdua telah saling membicarakan, tapi akankah ada sebuah momen penyatuan antara apa yang telah mereka berdua rasakan? Simak saja lagi ceritanya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar