Hari telah berganti. Di kantor
perusahaan milik keluarga dari Negara, tepatnya di pagi hari sekitar pukul
delapan lewat duapuluh menit. Di ruang kerja Negara telah di diami oleh Milara
yang sedang duduk di kursi khusus tamu. Milara sedang menunggu Negara yang
masih berada di luar ruangan seorang diri. Tak berapa lama kemudian, ia melihat
seorang pria berdasi memasuki ruangan tersebut membawakan segelas minuman dan
kini telah di letakkannya di meja khusus untuk dirinya.
Milara pun menjadi melihat hening
serta heran ke seorang pemuda itu, sedangkan pemuda itu berdiri melihatnya
dengan baru menunjukkan senyum tegak berdiri di depannya. “Maaf, sudah
seharusnya saya mengantarkan minuman kepada pak Negara serta pada tamu darinya.
Maka dari itu, jangan heran melihat penampilanku nona.”, seorang pemuda itu
menyapa sembari menyanggah kecil. Pemuda itu adalah Nil Ra.
Milara masih dalam keadaan yang
sama, lalu beralih melihat ke foto dari Negara dan kembali melihat ke pemuda
itu mulai menatap aneh. Sementara pemuda itu menganggukkan kepalanya dan
berbalik pergi akan keluar ruangan meninggalkan. “Sepertinya, ada yang harus
aku tanyakan padanya?!”, bisiknya tegas tanya ketika sudah melihat pemuda itu
pergi. Dan kabar baik yang telah dirasanya kini secara tersembunyi dari
siapapun, karna ia tidak membaginya.
Kabar baiknya ialah bahwa ia kini
sudah bisa menerima sikap dari Firlana yang apa adanya terhadap dirinya.
Memang, Firlana sama sekali tidak mengetahui perasaan dari dirinya, sehingga
pernah membuatnya merasa patah hati. Namun daripada itu, Milara menyembuhkan
rasa patah hatinya itu dengan mencintai kesigapan dari Firlana dalam bekerja di
rumah galeri miliknya.
Setelah beberapa saat berlalu. . . .
Di kantin dekat pantry, Milara
sudah beralih duduk santai menunggu Negara mendatanginya. Sebab sudah merasa
jenuh bila harus lama lagi menunggu Negara mendatanginya di ruang kerja yang
tadi. milara duduk seorang diri di kantin tersebut, melihat ke layar televisi
sebagai hiburannya. Kemudian secara tiba-tiba ditemuinya kembali sosok Nil Ra,
yang sedang berjalan akan melewati dirinya dari arah belakang.
“Tunggu!”, tegur langsung Milara
memintanya untuk berhenti sejenak. Nil Ra pun menjadi terhenti seketika dengan
pandangannya langsung mengarah ke Milara. “Disini aku masih sebagai tamu dari
Negara. Lalu mengapa kau tidak mengantarkan minuman padaku sebelum segelas minuman
ini ada di meja tempatku berduduk santai?”, ungkap Milara. Nil Ra
mendengarkannya lalu melihat ke segelas minuman di meja tempat Milara berduduk
santai akan menyahutnya dengan melihat ke Milara kembali.
“Maaf, akan tetapi saya akan
melakukannya ketika mendapat perintah dari pak Negara.”, Nil Ra meminta maaf
menyertakan kebijakan.
“Oyah? Lalu bagaimana jika
seandainya saya telah menjadi seorang istri dari pak Negara? Apakah masih perlu
menunggu perintah darinya saja, baru kamu melakukannya?”, tanya Milara sedikit
menggugupkan Nil Ra.
Nil Ra menundukkan wajahnya
melihat ke bawah sebab merasa tidak tahu harus menjawab apa. Sedangkan Milara
melihatnya yang begitu lalu terpandang pada Negara yang baru saja tampak sedang
berjalan tuk segera menghampiri dirinya. Dan beralih dengan berkata lagi
mempersilahkan Nil Ra untuk pergi. Nil Ra pun mengangguk masih dengan
keadaannya begitu dan beranjak pergi meninggalkan. Sekilas Milara jadi terpana,
ketika menyaksikan Nil Ra sudah beranjak pergi membelakanginya.
“Dirinya, mengingatkan romansaku
waktu itu. Romansa yang aku rasakan karna Firlana.”, gumamnya dihati lalu
merasa ada yang menyapanya tepat disampingnya. Dan begitu Milara melihat ke arah
sampingnya, ia langsung memeluk Negara menyambut kedatangannya. “Maaf yah, aku
sudah lama mendelay waktu untuk kita melakukan pekerjaan tentang kerjasama….?”,
Negara berkata meminta maaf seperti merayunya. Karna bahasanya begitu lembut.
“Sudah, gak apa-apa kok! Karna aku
tau kamu pasti mendatangiku demi menuntaskan pekerjaan kita tentang kerjasama
itu.”, sanggah Milara dengan memotong lalu mengajak Negara tuk segera beranjak
menuju keruangan kerja yang tadi kembali. Dan kini mereka berdua sudah berjalan
bersama, bersebelahan menuju keruang kerja dari Negara.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Di sebuah danau, Firlana sedang
menjalani tugasnya melakukan foto pre-wedd terhadap sepasang kekasih yang akan
segera menjalani sebuah pernikahan. Dan ketika Firlana akan bersiap memotret
sepasang kekasih itu, Firlana terbayang dirinya sendiri bersama Dilara sedang
melakukan foto pre-wedd. Sontak Firlana pun menjadi menghentikan diri sejenak
tuk memotret sepasang kekasih itu. sepasang kekasih itu menjadi melihat padanya
aneh, sebab Firlana berwajahkan bingung disertai aneh.
Sementara petugas yang baru
melihat keadaan dari dirinya itu, menegur dirinya untuk tetap fokus dalam
pemotretan yang harus dilakukannya. Firlana yang mendengar teguran dari petugas
tersebut, langsung membuka kata dengan meminta maaf kepada sepasang kekasih itu.
Dan kini Firlana memulai pemotretannya dengan membayangi jika dirinya sendiri
bersama Dilara sedang melakukan foto pre-wedd. Bahkan Firlana sampai
menghayatiya sehingga menjadi senyum-seyum sendiri.
Semangat tersendiri sudah ada pada
dirinya, dan membuat rasa percaya dirinya untuk memotret pasangan kekasih itu
semakin bertambah. Setelah usai melakukan pemotretan, Firlana berbalik
membelakangi sepasang kekasih itu lalu berkata beranda-andai dalam hatinya.
“Tuhan, aku memilih dia yang akan menjadi pengantin wanitaku kelak. Andai saja
bisa aku nyatakan, maka aku akan merasa hidup dalam seribu tahun lamanya.”,
katanya teringat apa yang telah dibayanginya tadi.
Sore harinya. . . .
Di rumah galeri “MILARATIONIC”,
tempat Firlana telah bekerja. Di dalam ruang kerjanya sendiri, Firlana sedang
mengoreksi hasil pemotretan pre-wedd yang sudah dilakukannya tadi siang. Ia
sedang mengamati ada atau tidaknya sebuah kecacatan pada hasil pemotretannya,
dan bila ada sebuah kecacatan maka ia sendiri akan memperbaikinya dengan
memakai fasilitas aplikasi yang ada. Sementara Milara baru mendatanginya, baru
pula memasuki ruang kerja dari dirinya.
“Selamat sore, ibu Milara.”, sapa
Firlana yang baru mengetahui kedatangan Milara. Pandangannya tertuju pada
monitor computer.
“Bagaimana dari hasil
pemotretanmu? Apakah ada suatu kendala yang berarti, ketika kau masih melakukan
pemotretan untuk pre-wedd?”, tanya Milara begitu meluruskan katanya. Melihat ke
monitor computer pula.
“Alhamdulillah, bisa dibilang
sembilanpuluh lima persen saya lancar melakukan pemotretan tersebut. Hanya saja
tersisa lima persen lagi tuk menyempurnakannya, sebab hasil pemotretan masih
saya koreksi sebelum akan benar-benar dicetak.”, Firlana menjawab serta
menjelaskan. Lalu melihat ke Milara dan terhenti sejenak dari pengerjaannya.
Milara menjadi tersenyum baru
melihat balik padanya. “Maaf, sebelumnya apakah ada yang ingin anda sampaikan
pada saya?”, sambung Firlana memberi tanya sebab tak ingin ada keheningan yang
tak berarti terjadi. “Iya, ingin aku sampaikan bahwa aku pernah jatuh hati
padamu.”, ungkap Milara secara spontan dengan tatapan matanya yang sedikit
berbinar. Tapi sayang itu hanya sebuah ungkapkan dari hati Milara saja,
mengungkap didalam hatinya sendiri.
Kemudian dengan tiba-tiba, suara
bel yang menandakan jam kerja pagi
sampai sore untuk semua karyawan telah berakhir, berbunyi. Milara pun terbangun
dari menatap Firlana beralih melihat ke jam dinding, sedangkan Firlana
mematikan computer sembari merapihkan barang-barang di meja kerjanya bersiap
akan pulang. Dan ketika keduanya sama-sama berdiri hendak akan beralih beranjak
pergi. Firlana mengatakan sesuatu pada Milara yang sudah berbalik membelakangi.
“Bu, bisa saya menitipkan sebuah
flashdisk untuk disampaikan pada petugas percetakan yang bekerja dari sore ini
sampai malam? Sebab, esok pagi pada pukul delapan pemotretan yang sudah saya
lakukan tadi akan diambil oleh sang pemesan.”, permisi Firlana berdiri tegak
dibalik Milara. Milara pun berbalik sembari meminta sebuah flashdisk darinya.
Firlana langsung memberikannya dengan senyuman kecil nan lembut.
Dan Milara mengajaknya untuk
beralih beranjak pergi bersama usainya menerima flashdisk tersebut. Mereka
berduapun kini sudah berjalan bersama di luar ruang kerja dari Firlana.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Di sana, di rumah kediaman Dilara.
Dilara sedang berdiri di balkon depan rumahnya, sedang di teras bawah balkon rumah,
ayah dan ibunya duduk bersama sambil membincangkan sesuatu. Dilara yang masih
berdiri ditempatnya melihat pemandangan di depan, tiba-tiba saja mendengar
bunyi percakapan dari ayah ibunya di teras bawah rumahnya.
“Sebenarnya, maksud dari ayah
mengirim Dilara ke kantor perusahaan milik dari keluarga teman ayah. Ayah ingin
lebih mendekatkan Dilara kepada seorang putra dari teman ayah.”, curah ayah
Dilara melihat keluh ke ibunya.
“Masih ada kesempatan lain untuk
ayah dekatkan Dilara kepada seorang putra yang telah ayah maksudkan. Mengapa
ayah harus melihat keluh pada ibu seperti ini?”, sambung ibunya menasehati lalu
bertanya. Melihat biasa balik padanya.
“Ibu, ayah ingin menjodohkan
mereka berdua. Sebab bila mereka telah bekerja di dalam kantor yang sama, maka
kami akan mudah mengontrol sudah sejauh mana mereka berdua telah saling
mengenal serta dekat.”, ayahnya mengutarakan apa yang sudah diniatkannya
bersama ayah dari Negara. Sedikit mengecilkan suaranya.
Namun tetap saja bisa didengar
oleh Dilara walau terdengar samar-samar, Dilara yang kini menjadi hening
terdiam mendengarkannya masih ditempatnya. “Ayah, mengapa tidak memberitahukan
ibu sejak awal? Ibu benar-benar kaget mendengarnya. Untung saja Dilara tidak
sedang berada disekitar kita.”, ibunya mempertanyakan lalu sedikit berucap
syukur. Sedangkan ayahnya memilih tuk mengajak ibunya beralih memasuki ke dalam
rumah menyudahi perbincangannya.
Ibunya pun menuruti tanpa mengucap
lagi, sebab pikirnya tidak akan berbuntut panjang tentang sebuah perjodohan
yang telah disampaikan oleh ayahnya. Kembali pada Dilara, ia kini mulai merasa
cemas. Bagaimana kalau rencana perjodohan itu sampai terjadi pada dirinya?,
pikirnya terlintas. Lalu apakah Negara sudah mengetahui atau malah sama sekali
belum mengetahui tentang sebuah perjodohan itu, seperti dirinya?, pikirnya lagi
terlintas yang kedua.
Usainya menikmati kedua pemikiran
yang terlintas pada dirinya itu, Dilara pun beralih masuk segera menuju
memasuki kamarnya sendiri. Agar bisa lebih jauh memikirkan apa yang baru saja
diketahuinya secara tiba-tiba nan mendadak sekali itu.
Malam harinya. . . .
Dilara sedang duduk bersantai
dikasur tempat tidurnya, usainya melakukan makan malam bersama ayah ibunya. Ia
masih memikirkan apa yang sudah diketahuinya pada sore tadi. “Aku masih
terbayang. Sulit bagiku tuk menepis apa yang sudah terjadi, serta apa yang baru
sudah aku ketahui pada sore tadi?!”, bisiknya mengungkap bercampur tanya
melihat lurus kedepan. Setelah beberapa saat mengungkap sudah dicampuri dengan
keheningan seorang diri.
Dilara pun beralih untuk tidur
demi menghilangkan yang sudah seperti dianggapnya beban itu. Dan ketika malam
semakin larut, Dilara sudah terbawa jauh
terjaga dalam tidurnya. Tepat pukul jam duabelas malam, Dilara bermimpi tentang
apa yang sudah terjadi denganya pada sore tadi. Bahkan suara perbincangan dari
ayah ibunya seperti bernada semakin menjadi-jadi mempertegaskannya. Sehingga
membuat Dilara menjadi mengigau dalam lelap tidurnya yang masih terjaga.
“Tidak, mah, pah! Dilara, bukan
Siti Nurbaya!”, itulah kata dari mengigaunya yang akan diulanginya beberapa
kali dalam beberapa saat. Sebab jauh dari alam bawah sadarnya, kalau Dirinya
tidak bisa menerima keras tentang niat dari ayahnya yang akan menjodohkan
dirinya dengan Negara.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar