Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #10

Hari telah berganti. Di kantor perusahaan milik keluarga dari Negara, tepatnya di pagi hari sekitar pukul delapan lewat duapuluh menit. Di ruang kerja Negara telah di diami oleh Milara yang sedang duduk di kursi khusus tamu. Milara sedang menunggu Negara yang masih berada di luar ruangan seorang diri. Tak berapa lama kemudian, ia melihat seorang pria berdasi memasuki ruangan tersebut membawakan segelas minuman dan kini telah di letakkannya di meja khusus untuk dirinya.
Milara pun menjadi melihat hening serta heran ke seorang pemuda itu, sedangkan pemuda itu berdiri melihatnya dengan baru menunjukkan senyum tegak berdiri di depannya. “Maaf, sudah seharusnya saya mengantarkan minuman kepada pak Negara serta pada tamu darinya. Maka dari itu, jangan heran melihat penampilanku nona.”, seorang pemuda itu menyapa sembari menyanggah kecil. Pemuda itu adalah Nil Ra.
Milara masih dalam keadaan yang sama, lalu beralih melihat ke foto dari Negara dan kembali melihat ke pemuda itu mulai menatap aneh. Sementara pemuda itu menganggukkan kepalanya dan berbalik pergi akan keluar ruangan meninggalkan. “Sepertinya, ada yang harus aku tanyakan padanya?!”, bisiknya tegas tanya ketika sudah melihat pemuda itu pergi. Dan kabar baik yang telah dirasanya kini secara tersembunyi dari siapapun, karna ia tidak membaginya.
Kabar baiknya ialah bahwa ia kini sudah bisa menerima sikap dari Firlana yang apa adanya terhadap dirinya. Memang, Firlana sama sekali tidak mengetahui perasaan dari dirinya, sehingga pernah membuatnya merasa patah hati. Namun daripada itu, Milara menyembuhkan rasa patah hatinya itu dengan mencintai kesigapan dari Firlana dalam bekerja di rumah galeri miliknya.

Setelah beberapa saat berlalu. . . .

Di kantin dekat pantry, Milara sudah beralih duduk santai menunggu Negara mendatanginya. Sebab sudah merasa jenuh bila harus lama lagi menunggu Negara mendatanginya di ruang kerja yang tadi. milara duduk seorang diri di kantin tersebut, melihat ke layar televisi sebagai hiburannya. Kemudian secara tiba-tiba ditemuinya kembali sosok Nil Ra, yang sedang berjalan akan melewati dirinya dari arah belakang.
“Tunggu!”, tegur langsung Milara memintanya untuk berhenti sejenak. Nil Ra pun menjadi terhenti seketika dengan pandangannya langsung mengarah ke Milara. “Disini aku masih sebagai tamu dari Negara. Lalu mengapa kau tidak mengantarkan minuman padaku sebelum segelas minuman ini ada di meja tempatku berduduk santai?”, ungkap Milara. Nil Ra mendengarkannya lalu melihat ke segelas minuman di meja tempat Milara berduduk santai akan menyahutnya dengan melihat ke Milara kembali.
“Maaf, akan tetapi saya akan melakukannya ketika mendapat perintah dari pak Negara.”, Nil Ra meminta maaf menyertakan kebijakan.
“Oyah? Lalu bagaimana jika seandainya saya telah menjadi seorang istri dari pak Negara? Apakah masih perlu menunggu perintah darinya saja, baru kamu melakukannya?”, tanya Milara sedikit menggugupkan Nil Ra.
Nil Ra menundukkan wajahnya melihat ke bawah sebab merasa tidak tahu harus menjawab apa. Sedangkan Milara melihatnya yang begitu lalu terpandang pada Negara yang baru saja tampak sedang berjalan tuk segera menghampiri dirinya. Dan beralih dengan berkata lagi mempersilahkan Nil Ra untuk pergi. Nil Ra pun mengangguk masih dengan keadaannya begitu dan beranjak pergi meninggalkan. Sekilas Milara jadi terpana, ketika menyaksikan Nil Ra sudah beranjak pergi membelakanginya.
“Dirinya, mengingatkan romansaku waktu itu. Romansa yang aku rasakan karna Firlana.”, gumamnya dihati lalu merasa ada yang menyapanya tepat disampingnya. Dan begitu Milara melihat ke arah sampingnya, ia langsung memeluk Negara menyambut kedatangannya. “Maaf yah, aku sudah lama mendelay waktu untuk kita melakukan pekerjaan tentang kerjasama….?”, Negara berkata meminta maaf seperti merayunya. Karna bahasanya begitu lembut.
“Sudah, gak apa-apa kok! Karna aku tau kamu pasti mendatangiku demi menuntaskan pekerjaan kita tentang kerjasama itu.”, sanggah Milara dengan memotong lalu mengajak Negara tuk segera beranjak menuju keruangan kerja yang tadi kembali. Dan kini mereka berdua sudah berjalan bersama, bersebelahan menuju keruang kerja dari Negara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Di sebuah danau, Firlana sedang menjalani tugasnya melakukan foto pre-wedd terhadap sepasang kekasih yang akan segera menjalani sebuah pernikahan. Dan ketika Firlana akan bersiap memotret sepasang kekasih itu, Firlana terbayang dirinya sendiri bersama Dilara sedang melakukan foto pre-wedd. Sontak Firlana pun menjadi menghentikan diri sejenak tuk memotret sepasang kekasih itu. sepasang kekasih itu menjadi melihat padanya aneh, sebab Firlana berwajahkan bingung disertai aneh.
Sementara petugas yang baru melihat keadaan dari dirinya itu, menegur dirinya untuk tetap fokus dalam pemotretan yang harus dilakukannya. Firlana yang mendengar teguran dari petugas tersebut, langsung membuka kata dengan meminta maaf kepada sepasang kekasih itu. Dan kini Firlana memulai pemotretannya dengan membayangi jika dirinya sendiri bersama Dilara sedang melakukan foto pre-wedd. Bahkan Firlana sampai menghayatiya sehingga menjadi senyum-seyum sendiri.
Semangat tersendiri sudah ada pada dirinya, dan membuat rasa percaya dirinya untuk memotret pasangan kekasih itu semakin bertambah. Setelah usai melakukan pemotretan, Firlana berbalik membelakangi sepasang kekasih itu lalu berkata beranda-andai dalam hatinya. “Tuhan, aku memilih dia yang akan menjadi pengantin wanitaku kelak. Andai saja bisa aku nyatakan, maka aku akan merasa hidup dalam seribu tahun lamanya.”, katanya teringat apa yang telah dibayanginya tadi.

Sore harinya. . . .

Di rumah galeri “MILARATIONIC”, tempat Firlana telah bekerja. Di dalam ruang kerjanya sendiri, Firlana sedang mengoreksi hasil pemotretan pre-wedd yang sudah dilakukannya tadi siang. Ia sedang mengamati ada atau tidaknya sebuah kecacatan pada hasil pemotretannya, dan bila ada sebuah kecacatan maka ia sendiri akan memperbaikinya dengan memakai fasilitas aplikasi yang ada. Sementara Milara baru mendatanginya, baru pula memasuki ruang kerja dari dirinya.
“Selamat sore, ibu Milara.”, sapa Firlana yang baru mengetahui kedatangan Milara. Pandangannya tertuju pada monitor computer.
“Bagaimana dari hasil pemotretanmu? Apakah ada suatu kendala yang berarti, ketika kau masih melakukan pemotretan untuk pre-wedd?”, tanya Milara begitu meluruskan katanya. Melihat ke monitor computer pula.
“Alhamdulillah, bisa dibilang sembilanpuluh lima persen saya lancar melakukan pemotretan tersebut. Hanya saja tersisa lima persen lagi tuk menyempurnakannya, sebab hasil pemotretan masih saya koreksi sebelum akan benar-benar dicetak.”, Firlana menjawab serta menjelaskan. Lalu melihat ke Milara dan terhenti sejenak dari pengerjaannya.
Milara menjadi tersenyum baru melihat balik padanya. “Maaf, sebelumnya apakah ada yang ingin anda sampaikan pada saya?”, sambung Firlana memberi tanya sebab tak ingin ada keheningan yang tak berarti terjadi. “Iya, ingin aku sampaikan bahwa aku pernah jatuh hati padamu.”, ungkap Milara secara spontan dengan tatapan matanya yang sedikit berbinar. Tapi sayang itu hanya sebuah ungkapkan dari hati Milara saja, mengungkap didalam hatinya sendiri.
Kemudian dengan tiba-tiba, suara bel yang menandakan jam kerja  pagi sampai sore untuk semua karyawan telah berakhir, berbunyi. Milara pun terbangun dari menatap Firlana beralih melihat ke jam dinding, sedangkan Firlana mematikan computer sembari merapihkan barang-barang di meja kerjanya bersiap akan pulang. Dan ketika keduanya sama-sama berdiri hendak akan beralih beranjak pergi. Firlana mengatakan sesuatu pada Milara yang sudah berbalik membelakangi.
“Bu, bisa saya menitipkan sebuah flashdisk untuk disampaikan pada petugas percetakan yang bekerja dari sore ini sampai malam? Sebab, esok pagi pada pukul delapan pemotretan yang sudah saya lakukan tadi akan diambil oleh sang pemesan.”, permisi Firlana berdiri tegak dibalik Milara. Milara pun berbalik sembari meminta sebuah flashdisk darinya. Firlana langsung memberikannya dengan senyuman kecil nan lembut.
Dan Milara mengajaknya untuk beralih beranjak pergi bersama usainya menerima flashdisk tersebut. Mereka berduapun kini sudah berjalan bersama di luar ruang kerja dari Firlana.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Di sana, di rumah kediaman Dilara. Dilara sedang berdiri di balkon depan rumahnya, sedang di teras bawah balkon rumah, ayah dan ibunya duduk bersama sambil membincangkan sesuatu. Dilara yang masih berdiri ditempatnya melihat pemandangan di depan, tiba-tiba saja mendengar bunyi percakapan dari ayah ibunya di teras bawah rumahnya.
“Sebenarnya, maksud dari ayah mengirim Dilara ke kantor perusahaan milik dari keluarga teman ayah. Ayah ingin lebih mendekatkan Dilara kepada seorang putra dari teman ayah.”, curah ayah Dilara melihat keluh ke ibunya.
“Masih ada kesempatan lain untuk ayah dekatkan Dilara kepada seorang putra yang telah ayah maksudkan. Mengapa ayah harus melihat keluh pada ibu seperti ini?”, sambung ibunya menasehati lalu bertanya. Melihat biasa balik padanya.
“Ibu, ayah ingin menjodohkan mereka berdua. Sebab bila mereka telah bekerja di dalam kantor yang sama, maka kami akan mudah mengontrol sudah sejauh mana mereka berdua telah saling mengenal serta dekat.”, ayahnya mengutarakan apa yang sudah diniatkannya bersama ayah dari Negara. Sedikit mengecilkan suaranya.
Namun tetap saja bisa didengar oleh Dilara walau terdengar samar-samar, Dilara yang kini menjadi hening terdiam mendengarkannya masih ditempatnya. “Ayah, mengapa tidak memberitahukan ibu sejak awal? Ibu benar-benar kaget mendengarnya. Untung saja Dilara tidak sedang berada disekitar kita.”, ibunya mempertanyakan lalu sedikit berucap syukur. Sedangkan ayahnya memilih tuk mengajak ibunya beralih memasuki ke dalam rumah menyudahi perbincangannya.
Ibunya pun menuruti tanpa mengucap lagi, sebab pikirnya tidak akan berbuntut panjang tentang sebuah perjodohan yang telah disampaikan oleh ayahnya. Kembali pada Dilara, ia kini mulai merasa cemas. Bagaimana kalau rencana perjodohan itu sampai terjadi pada dirinya?, pikirnya terlintas. Lalu apakah Negara sudah mengetahui atau malah sama sekali belum mengetahui tentang sebuah perjodohan itu, seperti dirinya?, pikirnya lagi terlintas yang kedua.
Usainya menikmati kedua pemikiran yang terlintas pada dirinya itu, Dilara pun beralih masuk segera menuju memasuki kamarnya sendiri. Agar bisa lebih jauh memikirkan apa yang baru saja diketahuinya secara tiba-tiba nan mendadak sekali itu.

Malam harinya. . . .

Dilara sedang duduk bersantai dikasur tempat tidurnya, usainya melakukan makan malam bersama ayah ibunya. Ia masih memikirkan apa yang sudah diketahuinya pada sore tadi. “Aku masih terbayang. Sulit bagiku tuk menepis apa yang sudah terjadi, serta apa yang baru sudah aku ketahui pada sore tadi?!”, bisiknya mengungkap bercampur tanya melihat lurus kedepan. Setelah beberapa saat mengungkap sudah dicampuri dengan keheningan seorang diri.
Dilara pun beralih untuk tidur demi menghilangkan yang sudah seperti dianggapnya beban itu. Dan ketika malam semakin larut, Dilara sudah terbawa  jauh terjaga dalam tidurnya. Tepat pukul jam duabelas malam, Dilara bermimpi tentang apa yang sudah terjadi denganya pada sore tadi. Bahkan suara perbincangan dari ayah ibunya seperti bernada semakin menjadi-jadi mempertegaskannya. Sehingga membuat Dilara menjadi mengigau dalam lelap tidurnya yang masih terjaga.
“Tidak, mah, pah! Dilara, bukan Siti Nurbaya!”, itulah kata dari mengigaunya yang akan diulanginya beberapa kali dalam beberapa saat. Sebab jauh dari alam bawah sadarnya, kalau Dirinya tidak bisa menerima keras tentang niat dari ayahnya yang akan menjodohkan dirinya dengan Negara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar