Dan tak berapa lama kemudian,
Negara yang masih menunggu tiba-tiba saja baru melihat Dilara sedang berlari
kecil menuju kepada dirinya. Tepat di arah kanannya lalu mengalihkan wajahnya
ke depan melihat ke air danau yang ,mengalir tenang itu. “Kenapa harus kembali?
Apakah akalmu sudah buntu, seperti kau sudah menemukan jalan buntu di kejauhan sana?”,
tegur sapa Negara dengan melihat padanya berautkan wajah sedikit sinish.
Sementara Dilara baru saja
berhenti didekatnya. “Katakan sekali lagi! karna aku kurang jelas
mendengarnya.”, perintah pinta Dilara ingin mendengar kata darinya lagi. Negara
pun menjadi berdiri dari duduknya sembari mengulang katanya lagi. Begitu Negara
usai mengulang katanya lagi, Dilara langsung menyahutnya dengan menngajak
Negara untuk mengantarkannya pulang sekarang juga. Spontan Negara menjadi
bingung, terkejut kecil atas ajakkannya itu.
“Apa kau telah yakin dengan
perkataanmu?”, tanya Negara meminta keseriusan darinya. Sedikit lupa dengan
tujuannya sendiri yang bisa membuat Dilara mengetahui maksud dirinya.”Aku
serius! Karna, aku merasa terancam setelah melihat Firlana di sana.”, Dilara
mengucapkan keseriusannya. Negara yang sudah mendengar ucapan darinya, langsung
menarik tangan Dilara mengajaknya berlari. Karna begitu bergegas untuk segera
mengantarkan Dilara pulang ke rumah keluarganya.
Dan kini telah sampai pada pertengahan
jalan, Dilara masih belum menyadari sesuatu. Sesuatu yang belum disadarinya
adalah, kalau jalan yang sedang Negara tuju merupakan jalan menuju ke rumah
kediaman darinya. Kemudian Dilara baru tersadar, saat ketika Negara
menghentikan mobil kendaraannya. Itu berawal dari dirinya yang mengaku seperti
mengenal pintu gerbang rumah yang sedang dilihatnya kini.
Namun dirinya harus terpaksa
turun, karna Negara sudah membukakan pintu mobil untuknya. Dan Dilara pun turun
menuruti Negara yang melayaninya bak seorang putri. “Tidak, ini bukan rumah
tujuanku!”, ungkap mendesah Dilara melihat ke pintu gerbang yang baru saja
terbuka. Negara yang merasa kalau Dilara akan mencoba pergi lagi dari rumah,
menarik tangan Dilara kembali membawanya ke dalam dengan berjalan sedikit
angkuh.
Sesampainya memasuki halaman
rumah, Dilara melempar kata kepada Negara yang terpaksa memberi bentakan
padanya sebagai membalasnya. “Berhenti! Tidak ada alasan bagimu membawaku
kemari. Ini bukanlah rumah tujuanku!”, Dilara memperingati Negara melihat ke bangunan
rumah kediamannya. Negara pun menjadi berhenti langkahnya, begitu juga Dilara
yang baru melihat padanya.
“Firlana! Dia yang kau sebut telah
membuatmu merasa terancam!”, Negara memberi bentakan dengan melihat balik
padanya bertatap geram.
“Kamu salah pengertian! Maksudku
berbicara begitu, karna tidak ingin dia membawaku pulang kemari! Tapi mengapa
kamu yang membawaku pulang kemari?”, Dilara mengeluhkan penuh sesalnya.
“Bagaimanapun juga itulah
alasanku.”, Negara langsung menyahut memberitahukan alasannya.
Lalu keduanya yang sedang berdiri
bersama, tiba-tiba saja melihat kedua orangtua dari Dilara sedang berjalan
menghampiri mereka berdua dari pintu masuk rumah. Dilara menggeserkan dirinya
menjauh sedikit dari Negara melihat terkejut kepada kedua orangtuanya. “Kau
telah menghentikan langkahku tuk menghindari perjodohan kita.”, bisik kecil
Dilara mengungkap menegaskan ke Negara. Negara melihat padanya kembali,
terkejut karna mendengar kata darinya.
“Perjodohan apa? Aku benar tidak
mengerti dengan apa yang baru saja kau ungkapkan?”, tanya Negara begitu
bertanya-tanya raut wajahnya kini. Tapi sayangnya itu telah ditanyakannya balik
hanya berkhayal saja. “Papah, Dilara sudah kembali! Semoga saja, papah dapat
mencabut persoalan dari rencana papah itu?”, sapa Dilara kepada ayahnya
diakhiri memohon. Lalu beralih pergi akan memasuki rumah. Ibunya yang melihat
sikap putrinya itu, permisi pada keduanya tuk menyusul Dilara.
Dan kini tinggallah mereka berdua,
sesama pria yang berbada hanya status dalam KTP saja. “Maafkan, kami berdua,
om! Sungguh, saya tidak bermaksud berperilaku kasar terhadap putri, om!”,
Negara meminta maaf menyadari sikapnya yang telah memberi bentakan pada Dilara
tadi. Merasa bersalah sendiri melihat segan begitu menghormati. Ayah dari
Dilara memberi senyum sambil menggeleng lalu berkata, “Terimakasih, karna kamu
sudah membawa putriku pulang.”.
Katanya singkat, namun membuat
hati Negara menjadi tenang lepas dari rasa bersalahnya sendiri. Negara pun
menunjukkan senyum, berlanjut mengatakan permisi untuk pulang. Ayah Dilara
langsung mempersilahkannya, bersikap kebapaan nan kewibawaan. Dan pertemuan
dari keduanya telah berakhir sampai disitu.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Malam harinya. . . .
Masih di rumah kediaman Dilara, di
dalam kamar kedua orangtuanya. Ayah dan ibunya sedang duduk bersama di tempat
tidur mereka berdua. Ayahnya sedang mempelajari sebuah dokumen penting, ibunya
sedang menjahit kancing pada kemeja dari ayahnya yang akan dikenakan pada esok
hari. Ditengah keadaan mereka berdua yang sama menyibukkan diri itu, ayahnya
berbicara menyampaikan tentang sebuah pertemuan dengan ayah dari Negara.
Pertemuan itu akan dilakukannya
pada esok hari, dengan membawa Dilara beserta dirinya. ibunya yang sudah
mendengar penyampaian dari dirinya, menjadi hening seketika namun tangannya
masih tetap menjahit. “Ayah, ada baiknya kita membicarakan pertemuan itu pada
Dilara dulu. Setidaknya kita menyampaikannya lebih dulu padanya bukan?”,
sambung ibunya berbicara secara tiba-tiba. Ayahnya menjadi melihat ke ibunya
sejenak.
Kemudian mengambil ponsel
miliknya, mengirim sebuah pesan pada Dilara mengenai pertemuan itu yang akan
dilakukan esok hari. Ibunya yang tidak sengaja melihat sikap dari ayahnya yang
seperti demikian, mempunyai harapan ketika esok hari telah datang tidak akan
mengguncang perasaan dari putrinya. Beralih ke Dilara yang berada di dalam
kamarnya sendiri pula, sedang berbaring manja namun telah menyimpan kegelisahan
di kasur tempat tidurnya.
Dan baru saja membaca pesan dari ayahnya
mengenai pertemuan itu. “Kedua kalinya papah memintaku tuk berhadapan dengan
seorang yang berhubungan dengan Negara.”, bisiknya mengungkap kegelisahannya.
Sementara disana. . . .
Di rumah kediaman Firlana. Firlana
sedang memegang gitarnya, duduk santai di kursi sofa, di dalam kamarnya. Ia
akan mengakustikan sebuah kata puitis diringi dengan petikan senar pada
gitarnya. “Sahabatku, kekasihku namun masih gelap? Sudahkah dirinya pulang?
Terjagakah sudah dirinya, terlelap dan kini sedang menari-nari di dalam mimpinya?
Where you at, I still miss you and I’ll never to missing you!”, kata puitisnya
begitu merasakan perasaannya yang belum dinyatakan olehnya.
Beralih ke Negara, di sana Negara
sedang menonton film anime favoritnya di dalam kamarnya sendiri. Cukup ia
berbaring di kasur tempat tidurnya, ia sudah serius menyimak jalan cerita pada
film anime favoritnya itu. Karna menonton film anime favoritnya merupakan
sebagai penghantar tidur untuknya, sebab ia tidak bisa tidur bila tidak
menonton film anime favoritnya itu.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar