Pagi harinya, sekitar pukul
sembilan pagi Dilara pergi mengunjungi Firlana di rumah galeri “MILARATIONIC”.
Dilara memilih pergi mengunjungi Firlana di sana sebab ingin membagi beban yang
masih dirasakannya, agar bisa merasa sedikit lepas, harapnya. Sementara di sana,
di rumah galeri “MILARATIONIC”, Firlana berada di ruang percetakan sedang
menunggu hasil foto dari pemotretannnya berhasil tercetak dengan sempurna.
Keadaan Firlana sedang berdiri di depan
printer sambil melipatkan kedua tangannya tepat di dada. Sebenarnya, hari
minggu adalah hari libur untuknya. Namun karna ada pengerjaan yang belum
terselesaikan olehnya pada hari sabtu kemarin. Terpaksa namun masih berbesar
hati melanjutkan pengerjaannya pada hari ini, hari minggu. Firlana masih
bertahan dalam keadaannya seperti itu, sementara Dilara baru saja tertampak di
belakangnya melihatnya yang sedang dalam pengerjaannya.
Dilara akan berdiri menetap pada
tempatnya menunggu Firlana selesai dari dalam pengerjaannya. Sikap Dilara yang
sembunyi itu, membuat Firlana benar-benar tidak sadar bahkan tidak terpandang
sekalipun ke Dilara yang masih menunggunya secara sembunyi.
Hingga pada beberapa menit kemudian. . . .
Kini Firlana sedang merapihkan
hasil pemotretannya yang sudah ter-print, lalu seorang teman sesama jenisnya
menghampirinya akan menanyakan sesuatu. “Aku terpandang beberapa kali dengan
seorang gadis dipojok sana? Ya, tepatnya di belakangmu.”, seorang teman sesama
jenisnya itu langsung mengungkap melihat polos padanya. Firlana terhenti dari
pengerjaannya melihat hening ke seorang teman sesama jenisnya itu.
“Mungkin saja, seorang gadis yang
telah kamu maksudkan merupakan seorang calon mempelai wanita kemarin?”, Firlana
mengingatkan wajah seorang gadis yang melakukan foto pre-wedd pada hari
kemarin. seorang teman sesama jenisnya itu masih melihat padanya polos kali ini
menggeleng. “Sempat aku terpandang tadi bahwa dia sedang memandangimu?”, ungkap
rasa curiga seorang teman sesama jenisnya itu. Firlana menjadi bingung
seketika, lalu berpura-pura mencoba melihat ke belakang.
Dan baru dilihatnya bahwa ada
Dilara yang sedang menunggu melihat padanya sambil tersenyum mengajak. Sedangkan
Firlana langsung berpaling melihat ke seorang teman sesama jenisnya itu,
setelah sudah mengetahui siapa yang sedang dibicarakan oleh temannya tadi.
“Lanjutkan saja! Dia teman wanitaku!”, Firlana memberi perintah mengalihkan
suasana. Usainya memberi perintah, Firlana kembali pada pengerjaannya dan
seorang teman sesama jenisnya itupun membantunya.
Sebab sudah menjadi tugas
pengerjaan keduanya, jadi sangat wajar bila keduanya saling membantu. Sementara
Dilara, melihat jam pada tangannya mulai merasa bosan nan lesuh menunggu
Firlana yang masih dalam pengerjaannya. Dan secara tiba-tiba kembali pada Firlana,
didengarnya seorang temannnya itu berkata menunjukkan rasa pengertiannya.
“Sudah, biar aku saja yang melanjuti! Tugasmu sudah selesai!”, seorang temannya
itu mempertegas kecil.
Firlana menjadi terdiam melihat
padanya bertanya-tanya. “Aku hanya tidak suka melihat sikapmu yang membuat
seorang gadis semuda itu menunggu. Aku yakin, dia pasti sudah merasa bosan
sekarang.”, sambung seorang temannya itu semakin menunjukkan rasa
pengertiannya. Menatap Firlana memberi keyakinan. Firkana pun menjadi luluh
memberi senyuman kecil sembari memberi ucapan terimakasih. Lalu setelahnya
berbalik melangkah menghampiri Dilara yang masih berdiri.
Dan ketika langkahnya sudah sampai
ke Dilara, sudah menyapa pula hingga Dilara melihat padanya. Firlana
menyempatkan tuk menoleh keseorang temannya itu, mengucapkan selamat tinggal.
Seorang temannya itupun langsung mempersilahkannya memberi senyuman selamat
tinggal pula. Dan Firlana bersama Dilara benar beranjak akan melangkah pergi
menuju ke pintu lobby. Sesampainya mereka di pintu lobby, mereka berdua
bertepatan dengan Negara yang baru memasuki pintu lobby.
Teramat disayangkan, walaupun saat
di pintu lobby mereka bertepatan melewatinya. Mereka tidak saling terpandang
antara satu dengan lainnya.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Di sebuah tempat bermain biasa, di
sana Firlana dan Dilara akan menghabiskan waktu bersama. Karna sewaktu masih
dalam perjalanan dari rumah galeri tadi, Dilara telah mengajak Firlana untuk
menghabiskan waktu bersama ditempat bermain tersebut. Mereka berdua di sana
begitu memanfaatkan waktu kebersamaannya. Dapat dilihat dengan mereka berdua yang
kini sedang berjalan bersama sambil bercanda, tertawa lepas walau disertai
dengan bebrapa ejekan, saling berbalas pula.
Kemudian berhenti di sebuah tempat
pemancingan. Mereka berdua sedang beradu siapakah yang lebih dulu dapat
memancing seekor ikan, disertai saling menjatuhkan seekor ikan yang sudah
didapatkan antara mereka berdua agar memancing lagi seekor ikan. Dan tak jarang
ada kericuhan kecil yang ditunjukkan oleh keduanya sebelum pada akhirnya ada
yang mengeluh. Namun daripadanya, itulah keseruan dari keduanya.
Beberapa saat kemudian. . . .
Firlana dan Dilara kini sedang
duduk direrumputan sambil melepas lelah dengan meminum air kelapa muda. Angin
tengah berhembus menyejukkan raga yang sudah berkeringat terasa gerah,
begitupun tumbuhan yang bergoyang karna tertiup hembusan angin. Merasakan
suasana yang seperti itu, Dilara akan mengajak Firlana berbicara tentang ayah.
“Ayah, terbesit apa tentang ayah didalam perasaanmu kini?”, Dilara mencoba
menyinggung melihat lurus kedepan.
“Aku rindu. Aku kangen ditemani
ayah seperti sewaktu kecil dulu. Karna ayah mulai belajar melepaskanku, sejak
pertama aku memasuki sekolah menengah pertama.”, Firlana mencurahkan mengingat wajah
dari ayahnya yang super sibuk. Karna harus bolak-balik ke luar Negeri demi
pekerjaannya. Dilara baru saja menoleh melihat padanya, meresapi apa yang telah
dicurahkan Firlana tadi. “Ayahku, sudah berani mencoba tuk menentukan masa
depanku.”, Dilara mencurahkan bebannya.
Firlana menjadi melihat pada
dirinya balik. “Jangan pernah membenci seorang ayah yang telah menjadi
perantara dari Tuhan, tuk menghidupkan kita di dunia. Walaupun terkadang, Tuhan
menjadikan orangtua kita sebagai perantara untuk menentukan masa depan kita.”,
Firlana memberi nasehat berniat memberi hal positif pada dirinya. Dilara
menjadi bergetar hatinya ketika mendengar kata terakhir dari dirinya. Menjadi
terdiam sesaat lalu berdiri dari duduknya. Dilara belum mengungkap semua
bebannya.
Sementara di kejauhan di balik
dirinya, ada sosok Negara bersama Milara yang sedang mencari lokasi untuk
pameran dari rumah galeri milik Milara. Kembali pada mereka berdua, Firlana
baru ikut berdiri dari duduknya melihat ke Dilara, ikut pula merasakan kegundahan
dari Dilara. “Aku capek, bisa antarkan aku pulang? Kakiku terasa lemas setelah
mengingat ketika aku sedang menunggu lama tadi, sewaktu masih di rumah galeri
itu.”, Dilara berkeluh menunjukkan kelelahannya.
Dan Firlana yang sudah
mendengarnya langsung beralih dengan berdiri membelakanginya, memberi
punggugngnya pada Dilara. Dilara merasa kaget sempat menjadi kaku ditempat.
“Naiklah kepunggungku. Aku akan menopangmu hingga kita menemukan sebuah mobil
kendaraan taxi untuk kita tumpangi.”, perintah Firlana sangat berharap. Dilara
pun menjadi tersenyum lalu mencoba menaiki punggung dari Firlana.
“Jangan pernah berhenti tuk
menjagaku, Firlana.”, ungkap Dilara merasa bahagia ketika sudah menaiki
punggung dari Firlana. Dan Firlana hanya tersenyum lalu menopangnya, membawanya
berjalan perlahan penuh ke hati-hatian. Di kejauhan sana, Negara terpandang
pada keduanya sambil terpikirkan bagaimana bisa bertemu dengan mereka berdua di
kejauhan sana, di sebuah tempat yang sama. Bahkan Negara sudah menjadi setengah
melamun melihat Dilara yang manja sedang ditopang oleh Firlana.
Kemudian pandangannya menjadi
teralih saat ketika Milara memanggilnya, dan Negara pun beralih menghampiri
Milara yang sudah menunggunya.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Malam harinya, di rumah kediaman
Firlana. Firlana sedang memainkan giitar mengakustikan sebuah lagu. Firlana
sedang menyanyikan lirik pada reff lagu tersebut sesuai dengan perasaannya.
Kemudian dengan tiba-tiba ponselnya berdering menandakan ada seorang yang sedan
menghubunginya. Firlana pun menghentikan memainkan gitarnya serta bernyanyinya,
beralih mengangkat telepon dari seorang yang telah menghubunginya.
“Halo?”, sapa Firlana menjawab
sapa tanya. Seorang yang menghubunginya langsung menjawab sapa tanya darinya,
“Ini aku, Dilara. Dilara lagi yang mengusik ketenanganmu.”, seorang yang
menghubunginya itu adalah Dilara. Dan mereka akan bercakap-cakap singkat. “Ada
apa denganmu, Dilara?”, tanya Firlana menanyakan keadaannya di sana. Melihat ke
senar gitarnya.
“Ponselku sudah sedikit eror. Jadi
kalau misalnya esok mendadak tidak aktif, berarti fix ponselku diasramain
dulu.”, Dilara memberitahukan kondisi ponsel miliknya sendiri.
“Terus, kalau aku mau bertemu bagaimana?
Apa aku harus aku berkunjung ke sana dulu, tuk memastikan kamu ada atau
enggak?”, curah Firlana mengungkap cemasnya sendiri untuk bisa bertemu.
Berimajinasi. Dilara pun menjadi tertawa, lalu berkata mengakhiri.
“Sudah, aku lelah. Mau bobo cantik
karna tried banget abis main bareng sama kamu tadi.” katanya mengakhiri.
Menutup teleponnya sebelum Firlana mengucapkan kata goodnight padanya.
Firlana pun merasa terpaksa menerimanya, karna
sejak dulu Dilara memang pernah bersikap seperti itu beberapa kali terhadapnya.
Tak mau menjadi hening memikirkan sikap dari Dilara itu, Firlana kembali
memainkan gitarnya melanjutkan mengakustikan lagu tadi. Sementara di sana,
Dilara didalam kamarnya. Ia sedang duduk di meja belajarnya sambil meratapi
ponsel miliknya. Disadarinya betul, bahwa ia sedang berbohong berbicara tentang
kondisi ponselnya pada Firlana tadi.
sebab telah ada suatu rencana yang
telah ia sembunyikan, ia rahasiakan dari orang lain bahkan untuk dirinya
sendiri. Sebelum pada akhirnya ia akan berhasil melakukan suatu rencana yang terasa
berteka-teki tersebut. Dan kini Dilara beralih mengambil selembar kertas serta
sebuah pena untuk menuliskan sesuatu yang sama rahasianya seperti suatu
rencananya itu. Entah apa yang sedang Dilara pikirkan kini, yang pasti
dirinyalah sendiri yang membuat sebuah teka-teki untuk dirinya sendiri.
Beralih pada Negara. . . .
Negara di rumah kediamannya
sendiri, sedang duduk di ruang kerjanya melihat dokumen yang berupa denah
lokasi akan diselenggarakannya sebuah pameran dari rumah galeri milik Milara,
yang sebagai kegiatannya sebelum pergi untuk tidur. Lalu ia memegang kepalanya
yang mulai terasa cenat-cenut dengan kedua tangannya. Dan tiba-tiba saja
terbayang pada Dilara yang sedang ditopang oleh Firlana pada sore tadi di sebuah
taman bermain.
“Aku tidak boleh berlanjut
memikirkan dia. Aku harus fokus!”, Negara berucap kata bertekad untuk tetap
fokus membantu pameran dari rumah galeri milik sahabatnya itu. Namun yang
terjadi Negara terbayang wajah Dilara yang sedang berargumen dengannya dulu di ruang
kerjanya sendiri, di kantor perusahaan milik keluarganya. Dan itu membuat
Negara menjadi tertidur ditempat karna sedikit kelelahan, yang hampir tidak
dirasakannya kini.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar