Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #29

Dua hari kemudian. . . .

 Negara masih menunggu ayahnya yang telah bersedia mencarikannya seorang asisten sementara, untuk dirinya sendiri. itu tertampak saat kini, Negara yang sedang terdududk di kursi kerjanya, memeriksa beberapa proposal yang telah di kerjakannya. Ia tampak seorang diri, tanpa ditemani seorang asisten tetap dari dirinya, yang meja kerjanya terletak di arah kiri dari dirinya. Seorang atasan tampak tak bertuan ketika sudah ditinggal cuti kerja oleh seorang asisten tetapnya.
Itulah yang baru saja terbesit dalam pikiran dirinya. “Sampai kapan, papa akan benar mendatangi seorang asisten sementara kepadaku?”, gumamnya berkeluh dihati melihat ke meja kerja dari seorang asisten tetapnya. Sementara diluar ruang kerjanya, ada seorang wanita berpakaian rapi seperti akan segera menuju ke ruang kerja dari dirinya. Seperti layaknya seorang calon karyawan baru yang akan melakukan interview dengan dirinya.
Kembali pada Negara, dirinya masih saja pada kesibukannya sehingga kurang menyadari kalau ada seorang yang telah memasuki ruang kerjanya sendiri. “Duduklah!”, perintahnya spontan ketika merasa bahwa ada seorang yang telah menemuinya di dalam ruang kerjanya sendiri. Berlanjut berpikir bahwa seorang itu adalah Milara. “Selamat pagi, pak.”, ucap seorang itu mencoba menyapanya ketika sudah duduk di kursi.
Sedangkan Negara baru saja mencoba melihat pada seorang itu, ternyata seorang itu bukan Milara tetapi Dilara. “Aku belum memintamu untuk bertemu! Tapi mengapa kau yang lebih dulu menemuiku?”, tanya Negara sedikit menegaskan bingung. Dilara memberi senyum akan memberitahukan sebuah informasi. “Meja kerja yang terletak di arah kiri dari bapak tampak kosong. Bolehkah aku segera untuk menempatinya?”, permisi Dilara memberitahukan informasi yang langsung dimengerti oleh Negara.
“Jadi ayah mengirimmu ke sini untuk menjadi asisten sementara dariku?”, tanya Negara berwajah kaget ingin memastikan. Dilara masih memberi senyum mengangguk. “Tapi mengapa bisa kamu langsung menerimanya????”, Negara semakin menegaskannya. Dilara mulai berbicara mengejeknya, “Tidak baik loh, menolak permintaan dari calon mertua.”, lalu memalingkan wajahnya melihat ke arah lain.
Negara pun beralih dengan meminta Dilara untuk segera duduk di meja kerja tempat asisten tetapnya yang sedang cuti. Sebab sudah ada beberapa proposal yang harus dikerjakan oleh Dilara menggunakan laptop yang sudah tersedia. Dilara kembali melihat padanya, kembali memberi senyum namun tidak ada keikhlasan dihatinya. Sedangkan Negara hanya melihat diam padanya. Setelah melihat Dilara telah duduk di meja kerja asisten tetap dari dirinya, dirinya pun kembali pada kesibukannya.

Selang waktu berjalan. . . .

Waktu jam makan siang telah tiba, Negara dan Dilara kini sedang berada di kantin dekat pantry. Mereka berdua sedang menikmati makan siangnya bersama. Ditengah masih menikmati makan siangnya bersama. Mereka berdua akan berbicara singkat. Dimulai dari Negara yang melihat ke Dilara. “Aku tidak mengerti, mengapa ayah bisa memintamu tuk menjadi seorang asisten sementara untukku? Sedang yang aku tahu ayah tidak pernah mencoba tuk membaginya denganku!”, Negara mengutarakan.
Dilara baru melihat padanya akan menyahut serta menjawabnya. “Aku juga tidak mengerti, mengapa calon mertua bisa memintaku tuk menjadi asisten sementara darimu? Mungkin, calon mertua ingin kita lebih menjadi dekat lagi, kali ya?”, Dilara mengutarakan dengan sejelas-jealsnya. Negara menjadi tertawa kecil lalu berkata, “Calon mertua, jadi kamu sudah bersedia tuk menjadi istriku?”, Negara berkata berlanjut menertawainya kecil.
Dilara pun menyanggahnya, “Hey! Aku tidak lebih dari mengejekmu!”, sedikit menajamkannya. Dan mereka berdua kembali menikmati makan siangnya masing-masing. Tidak menyambung pembicaraannya lagi. Tanpa amat disadari oleh keduanya, bahwa orang-orang yang juga sedang makan di kantin yang sama. Sempat memusatkan perhatiannya pada mereka berdua, namun tidak sampai mengurusi apa yang sudah mereka berdua sedang bicarakan tadi.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Hari telah berganti malam. Di sebuah restaurant, Firlana sedang makan malam bersama Dilara. Firlana sengaja mengajak Dilara makan malam bersama di sebuah restaurant tersebut, sebab ingin memanjakan sahabat yang sudah menjadi kesayangan lamanya itu. mereka berdua sedang duduk berhadapan di meja bundar, menikmati hiburan yang ada. Tersenyum, berwajahkan ceria terlihat pada keduanya ketika sedang menikmati hiburan yang sedang mereka berdua perhatikan.
Kemudian Dilara melihat ke Firlana akan bercurah. “Firlana, ternyata sebuah keromantisan tidak hanya bisa didapat dari sang kekasih. Aku bersyukur, di sini aku bisa mendapatkan keromantisan itu darimu.”, berbahasa kagum. Firlana baru melihat padanya balik, akan bercurah menanyakan. “Wajar saja, sebab baru sekali ini aku megajakmu ke restaurant bukan? Nikmati Dilara, karna, kapan lagi aku bisa mengajakmu ke restaurant ini.”, bahasanya bijak begitu bersikap kebapaan.
Dilara menjadi tersenyum haru namun hatinya mulai merasa takut, rasa takut yang belum dimengert olehnya sendiri. mereka berdua kini menjadi berpandangan kagum mulai menunjukkan pesonanya masing-masing. Kemudian menjadi terhenti sebab pelayan telah mengantarkan makanan yang sudah mereka pesan sekitar lima menit yang lalu. Dan kini mereka berdua beralih tuk menikmati sajian makan malam bersama memalingkan menikmati hiburan yang ada.

Beberapa saat kemudian. . . .

Setelah makan malam bersama di sebuah restaurant, kini mereka berdua sudah beralih ke sebuah taman di mana telah diadakannya pasar malam. Mereka di sana berjalan berdampingan, melihat-lihat keramaian yang ada. Kemudian mereka berdua membeli jajanan yang berupa gulali berbentuk wajah beruang. Milik Dilara berwarna putih dan milik Firlana berwarna hitam. Kali ini yang mentraktir adalah Firlana, sebab baru menerima gaji bulanannya.
“Firlana, apa kamu tidak merasa boros?”, tanya Dilara usainya membeli jajanan tersebut. berdiam bersama di suatu tempat yang lain. Firlana pun menjawab dengan melihat ceria padanya. “Aku mentraktirmu, seolah aku tidak bisa memanjakanmu seperti saat ini pada esok harinya.”. Dilara menjadi tersenyum manja namun mulai ada keharuan pada dirinya sendiri, lalu merangkul Firlana sambil berkata “Jangan katakan itu lagi ya”.
Firlana yang mendengarnya hanya menunjukkan gelak tawanya menatapi sahabat yang sudah menjadi kesayangan lamanya itu. kemudian keduanya berjalan bersama lagi menuju ke suatu tempat yang lain. Namun ditengah keduanya masih berjalan bersama sambil menikmati gulalinya masing-masing. Tiba-tiba saja Dilara merasa bahwa ponselnya bergetar yang tersimpan di saku celananya. Dilara pun memilih tuk berhenti dari jalannya, begitupula Firlana yang ikut berhenti melihat padanya.
Ternyata ada sebuah telepon dari Negara, terpaksa Dilara mengangkatnya mencueki Firlana yang sedang bersamanya sejenak. Baru diketahui olehnya, jika Negara memintanya untuk datang lebih awal tigapuluh menit ke kantor pada esok hari. Alasannya karna ada sesuatu yang harus dikerjakan oleh Dilara lebih awal. Dan Dilara pun mematuhinya dengan mengatakan kalau esok hari ia akan datang pada pukul setengah tujuh pagi, dari jam normal pukul tujuh pagi.
Firlana yang sudah meliahatnya memutuskan teleponnya, akan mulai bertanya. “Bapak? Apakah sahabat kesayanganku ini sudah bekerja?”, tanya Firlana sebab mendengar Dilara menyebut nama bapak tadi ketika sedang berbicara melalui telepon dari seseorang. Dilara melihat padanya berwajah hening sesaat, lalu berkata menyahutnya. “Iya, sangat dadakan kok, bisa kerja disana?”, sahutnya memberi jawaban dengan canggung.
Usai mendengar sahutan serta jawaban darinya, Firlana beralih melihat ke jam tangannya. Di lihatnya jika waktu menunjukan pukul sembilaan malam. Dan Firlana pun mengajak Dilara untuk pulang, dengan Firlana yang akan mengantarkan Dilara ke rumah kediamannya. Sebab di awal Firlana lah yang menjemput Dilara di rumah kediamannya. Tak perlu mengulur waktu, keduanya pun kini beralih dari tempatnya menuju ke parkiran khusus kendaraan beroda dua.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar