Kembali pada Negara, didalam
ruangannya sendiri ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Seseorang telah
dimintanya untuk datang menghadapnya pada hari kemarin, namun waktu kini sudah menunjukkan
pukul sembilan lewat duapuluh menit. Seseorang yang sedang ditunggu
kedatangannya belum juga datang tuk menghadapnya. Negara yang tak ingin jenuh
karna menunggu, beralih akan beranjak pergi ke ruangan ayahnya, berniat akan
mempertanyakan seseorang itu pada ayahnya.
Setelah beberapa saat kemudian,
kinipun Negara sudah sampai di ruangan ayahnya. Menghadap ayahnya yang sedang
duduk di kursi kerja, berdri lurus di depan meja kerja ayahnya. Dan Negara akan
langsung berkata mempertanyakan usai melihat hening ayahnya. “Yah, apa kabar
anak dari teman ayah? Mengapa dia belum datang kemari tuk menghadap, Negara?”,
tanya Negara berwajahkan bingung. Ayahnya yang sudah melihat dirinya, berdiri
dari duduknya akan menyampaikan sesuatu.
“Sebetulnya, ayah ingin kamu
mempekerjakan Dilara sebagai asisten darimu. Agar kamu dapat berteman seperti
ayahnya dengan ayah sendiri. Tapi kenyataannya, kamu sudah memilih wanita
itu.”, ayahnya menyampaikan sesuatu yang membuat Negara sedikit merasa kaget.
Negara pun mencoba melihat kebawah memikirkan. “Alasanku hanya satu yah, aku
terlanjur melihat sisi keibuan dari diri wanita itu.”, sahutnya memberitahu
alasannya. Melihat lagi ke ayahnya.
“Dilara hari ini tidak bisa
datang, ayahnya yang mengabarkan itu. Dan esok, ia baru bisa datang.”, ayahnya
memberitahu tentang kedatangan dari Dilara. Negara sudah mendengarnya, mulai
menampakkan wajah lesuhnya. Lalu berpamitan untuk pergi beralih menuju ke
ruangannya sendiri. Negara bersikap seperti itu, karna Negara kurang menyukai
sikap dari Dilara yang kurang konsisten, pikirnya.
Sore harinya. . . .
Di sebuah taman biasa, Dilara
benar berjumpa dengan Firlana. Bahkan kini keduanya sudah duduk bersama
diantara hamparan bunga yang sedang bermekaran di sekelilingnya. Dilara sedang memegang
sebuah miniature tugu Khatulistiwa, sedangkan Firlana menunjukkan foto
pemandangan alam yang ada di kota Pontianak dari ponselnya. Firlana telah
berhasil mengabadikan berbagai macam pemandangan di kota Pontianak.
Diantaranya adalah, Tugu
Khatulistiwa, Hutan Bakau, Pantai Sinka Zoo, Rumah Keraton, tempat ziarah Batu
Layang dan sebagainya. Usainya melihat foto dari beberapa pemandangan itu,
Dilara akan mengajaknya berbicara. “Sekarang, aku sedang menggenggam miniature
dari Tugu Khatulistiwa. Di hari kemudian, kamu bawa aku kesana untuk memeluk
Tugu Khatulistiwa ya?!”, Dilara mengutarakan apa yang baru saja terbesit
menjadi sebuah keinginannya. Melihat Firlana.
Firlana menjadi terdiam melihat
balik padanya, lalu memberi senyum. “Jadi kamu lebih mempercayaiku untuk pergi
kesana? Bohong kalau kamu gak bermimpi akan pergi kesana bersama orangtuamu!”,
Firlana mengingatkannya tentang peran orangtua yang akan selalu menemani
anaknya. Dilara menjadi hening melihatnya, mengingat kesibukkan orangtuanya,
terutama ayahnya. Firlana mulai menyentuh pipinya sambil mengatakan maaf.
“Maaf yah, aku hanya tidak ingin
kamu menjadi lupa dengan sikap protect dari mereka berdua yang sebagai
orangtuamu. Karna bagaimanapun juga, yang menjaga lebih baik orangtua kita
bukan orang lain.”, Firlana berkata bijak karna menyayanginya. Dilara
menurunkan tangan Firlana dari menyentuh pipinya sembari memberi senyum. “Kau,
udah kesekian kalinya ngajarin aku untuk tidak berharap serta bergantung pada
orang lain.”, Dilara berbalas menyahut menyanjungnya.
Firlana pun menjadi tersenyum haru
merasa senang dihatinya, lalu menunjukkan sebuah pelangi yang baru saja terlihat
di langit tepat di depan mereka. Dilara pun melihatnya, dan mereka berdua
sama-sama memusatkan perhatiannya ke pelangi itu. Bersambung dengan
berbincang-bincang berisi aneka canda, agar senyum ceria mewarnai suasana
diantara mereka berdua, terlebih lagi ada pelangi yang sedang mereka nikmati
bersama.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!
Hari telah berganti, pada pukul
tujuh lewat tigapuluh menit pagi. Negara di kursi kerjanya, di dalam ruang
kerjanya sedang sibuk menandatangi beberapa berkas beragendakan sebuah
kerjasama dari perusahaan lain. Ditengah kesibukkannya, ada yang mengetuk pintu
ruang kerjanya dan secara spontan Negara memerintahkan untuk segera masuk
kepada siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya itu.
Dan siapa yang telah mengetuk
pintu ruang kerjanya itu sudah berjalan memasuki ruang kerjanya, sedangkan
Negara baru melihat ke siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya. Mulai
mengamati hingga siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya tu sudah
berdiam di depan meja kerjanya, menghadap padanya. Siapa yang telah mengetuk
pintu ruang kerja Negara itu adalah dua orang mantan office, yang telah di
tunjuknya sebagai seksi keamanan dan sebagai asisten dari dirinya.
“Selamat pagi, pak Kusuma
Negara.”, sapa kedua orang itu membuat Negara tersadar dari pengamatannya.
Negara berdiri dari kursinya, “Selamat bekerja dibagian yang baru, Nil Ra dan
kamu….?”, Negara berucap selamat kepada keduanya. Namun menjadi terhenti
melihat ke seorang lagi yang belum diketahui namanya. “Saya, Shanty.”, seorang
lagi itu memperkenalkan namanya yang ditunjuk sebagai asisten dari dirinya.
“Sungguh ucapan sapa dan
pengenalan awal yang bagus.”, Negara memberi sanjungan sambil menepuk kecil
kedua tangannya tiga kali sambil melihat keduanya. Lalu Negara mempersilahkan Nil
Ra untuk memulai kerjanya yang baru, begitupun dengan Shanty yang telah
ditunjuk sebagai asisten dari dirinya. Dan mereka, Nil Ra dan Shanty memulai
pekerjaan yang baru pada hari ini. Nil Ra akan segera pergi untuk mengawas para
pekerja office.
Sedangkan Shanty akan segera
membantu Negara dalam mengatur berkas pekerjaan.
Selang waktu berjalan. . . .
Masih di kantor perusahaan milik
keluarga dari Negara, kini Dilara sudah berada di dalamnya akan segera menuju
ke ruangan sang manager alias Negara. Sesampainya di ruangan sang manager, Dilara
langsung membuka pintu ruangan lalu berdiri membelakangi pintu ruangan karna
baru mengingat sesuatu. “Maaf, saya telah lupa berkata permisi.”, kata
penyampaian maafnya melihat Negara yang sedang duduk di kursi kerja
membelakangi dirinya.
Lalu Negara memutarkan kursi
kerjanya menghadap ke Dilara yang masih berdiri ditempatnya. “Nona Dilara,
silahkan kemari!”, perintah Negara sedikit tegas dingin. Dilara pun mulai
melangkah tuk menghampirinya, tidak terpancing dengan perintah sedikit tegas
darinya karna melihat wajah Negara yang selalu lugu. Dan kini Negara meletakkan
kedua tangannya di meja kerjanya, melihat Dilara yang baru saja duduk merapihkan
pakaiannya.
“Lebih enak bersapa anda, kamu
atau kau?”, Negara mencoba berbasa-basi. Dilara melihat santai akan menyahut.
“Bagaimana kalau pake sapa, lo,
gue aja?”, Dilara memberi masukan berbalas tanya.
“Tidak ada kesopanan dalam bersapa,
lo dan gue. Paham?”, Negara memberi penjelasaan. “Kau mau bekerja dibagian apa?
Karna kalau sebagai office, kau merupakan seorang putri dari teman ayah saya.
Karyawan masih penuh, dan untuk asisten saya sudah memilih.”, Negara mulai
menjelaskan tentang keadaan pekerja di kantornya.
“Saya juga tidak tahu, saya di sini
ditugaskan untuk bekerja dibagian apa? Office boy, kalaupun ditawari saya tidak
akan mahu, pak.”, ungkap Dilara dengan kejujuran sedikit lugu.
“Ya bagus, berarti anda masih
memikirkan status sosial anda.”, Negara memberi sahutan membuat Dilara merasa
kalau dirinya telah sedikit mencoba memberi sindiran.
Dan Dilara memilih diam bertahan
tidak menyahut lagi, sedangkan Negara yang masih melihat padanya mengambil map
yang berisi sebuah data dari dirinya. Sementara Negara perhatiannya kepada map
yang berisi sebuah data dari dirinya, dan Dilara melihatnya hening tanpa menghadirkan
perbincangan lain.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!
Setelah beberapa menit berlalu,
Negara menyudahi kesibukkannya yang tadi. Berdiri melihat ponselnya, sedang
Dilara melihat jenuh kebawah. “Dilara, aku ingin menunjukkan seseorang kepadamu.”,
tegur sapa kembali Negara melihat dirinya. Dilara pun melihat padanya balik
berwajahkan jenuh. Negara memberi senyum pada dirinya, lalu beralih melihat ke
asisten barunya hingga asisten barunya itu berdiri disampingnya.
“Dia adalah asisten baruku.”,
Negara memperkenalkannya dengan melihat ke Dilara kembali. Dilara pun berdiri
meihat ke asisten itu. “Selamat yah, semoga anda tidak selalu berargumen
dengannya.”, Dilara memberi selamat memakai senyuman sebagai sindiran. Usainya
memberi selamat Dilara kembali melihat ke Negara. Negara menunjukkan wajah
masam tidak menyukai gaya bicara dirinya.
“Biarkan aku yang memohon, untuk
segera beranjak dari sini.”, sambung Dilara semakin memberi sindiran. Negara
menjadi membuang muka darinya masih berwajahkan masam. “Oyah, pak manager yang
kini enggan tuk saya hormati. Kalau saja dari awal saya mengetahui kalau anda
sedang mencari seorang asisten, maka saya akan membatalkan niat saya untuk
datang kembali demi menghadap anda.”, Dilara menyambungnya lagi terakhir membuat
Negara kembali melihat padanya.
“Saya rasa sudah cukup anda tuk
menghina saya. Dan sekarang, pintu ruangan saya akan terbuka lebar untuk anda
segera beranjak keluar ruangan ini.”, Negara membalas sindiran darinya
menunjukkan wajah sedikit dendam. Dilara pun mengambil map miliknya dari
Negara, lalu berbalik beranjak pergi bersikap cuek nan acuh. “lakukan saja
tugasmu!”, perintah Negara kepada asistennya. Dan asistennya menuruti
perintahnya tanpa menanyakan apa yang telah disaksikannya tadi.
Setelah beberapa menit Dilara
sudah pergi meninnggalkan ruang kerja dari Negara, Milara baru saja mendatangi
ruang kerja dari Negara. Bahkan Milara kini sudah berdiam menghadap ke pintu
ruang kerja dari Negara, berniat akan mengetuk namun sudah dibuka lebih dulu oleh
Negara secara bersamaan. Milara pun langsung memberi senyum mencoba menatap
Negara, Negara langsung bertindak dengan lugunya.
“Sungguh waktu yang pas! Tanpa ada
yang memberitahu kedatangan dirimu, kita sudah berhadapan seperti ini.”, Negara
mengutarakan usai menutup pintu ruang kerjanya. Milara berdiam hening
membatalkan niatnya yang ingin mengutarakan sesuatu. “Aku senang, karna aku
bisa langsung menemuimu dan sekarang aku mahu kita bersantai di kantin dekat
pantry!”, Milara menyahut tidak sesuai dengan apa yang telah sempat
diniatkannya tadi.
“Secara kebetulan, aku memang
ingin memulihkan mood ku.”, Negara mengutarakan keadaan dirinya sendiri sambil
memberi senyum. Milara menjadi tertawa dan mereka mulai beranjak bersama segera
beralih kesebuah kantin didekat pantry.
Di rumah kediaman Firlana. . . .
Firlana sedang asik melihat gambar
hasil pemotretannya pada kamera miliknya, di ruang keluarga. Ia sedang
menikmati suasana sunyi, sepi nan sangat bersahajakan dirinya. Namun tiba-tiba
ada seorang asisten rumahnya menghampiri dirinya sembari memberikan sebuah
surat padanya. Firlana pun terpaksa mengalihkan keasikkannya itu dengan segera
membaca surat yang telah diterimanya dari seorang asisten rumahnya.
Tertulis, “Firlana, apa kabar? Aku
kangen sama kamu dan dia, you both deh! Tunggu aku pulang tepat di hari ulang
tahunmu yang ke duapuluh tiga tahun ya? Wish you all the best.”. isi dari
tulisan sebuah surat itu yang amat singkat dan nama pengirim telah dirahasiakan.
Sejenak Firlana berpikir, ada seseorang yang berusaha bersikap misterius. Dan
dirinya akan segera mengetahui siapa seseorang yang telah berusaha bersikap
misterius terhadapnya, pikirnya lagi.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar