Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #7

Kembali pada Negara, didalam ruangannya sendiri ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Seseorang telah dimintanya untuk datang menghadapnya pada hari kemarin, namun waktu kini sudah menunjukkan pukul sembilan lewat duapuluh menit. Seseorang yang sedang ditunggu kedatangannya belum juga datang tuk menghadapnya. Negara yang tak ingin jenuh karna menunggu, beralih akan beranjak pergi ke ruangan ayahnya, berniat akan mempertanyakan seseorang itu pada ayahnya.
Setelah beberapa saat kemudian, kinipun Negara sudah sampai di ruangan ayahnya. Menghadap ayahnya yang sedang duduk di kursi kerja, berdri lurus di depan meja kerja ayahnya. Dan Negara akan langsung berkata mempertanyakan usai melihat hening ayahnya. “Yah, apa kabar anak dari teman ayah? Mengapa dia belum datang kemari tuk menghadap, Negara?”, tanya Negara berwajahkan bingung. Ayahnya yang sudah melihat dirinya, berdiri dari duduknya akan menyampaikan sesuatu.
“Sebetulnya, ayah ingin kamu mempekerjakan Dilara sebagai asisten darimu. Agar kamu dapat berteman seperti ayahnya dengan ayah sendiri. Tapi kenyataannya, kamu sudah memilih wanita itu.”, ayahnya menyampaikan sesuatu yang membuat Negara sedikit merasa kaget. Negara pun mencoba melihat kebawah memikirkan. “Alasanku hanya satu yah, aku terlanjur melihat sisi keibuan dari diri wanita itu.”, sahutnya memberitahu alasannya. Melihat lagi ke ayahnya.
“Dilara hari ini tidak bisa datang, ayahnya yang mengabarkan itu. Dan esok, ia baru bisa datang.”, ayahnya memberitahu tentang kedatangan dari Dilara. Negara sudah mendengarnya, mulai menampakkan wajah lesuhnya. Lalu berpamitan untuk pergi beralih menuju ke ruangannya sendiri. Negara bersikap seperti itu, karna Negara kurang menyukai sikap dari Dilara yang kurang konsisten, pikirnya.

Sore harinya. . . .

Di sebuah taman biasa, Dilara benar berjumpa dengan Firlana. Bahkan kini keduanya sudah duduk bersama diantara hamparan bunga yang sedang bermekaran di sekelilingnya. Dilara sedang memegang sebuah miniature tugu Khatulistiwa, sedangkan Firlana menunjukkan foto pemandangan alam yang ada di kota Pontianak dari ponselnya. Firlana telah berhasil mengabadikan berbagai macam pemandangan di kota Pontianak.
Diantaranya adalah, Tugu Khatulistiwa, Hutan Bakau, Pantai Sinka Zoo, Rumah Keraton, tempat ziarah Batu Layang dan sebagainya. Usainya melihat foto dari beberapa pemandangan itu, Dilara akan mengajaknya berbicara. “Sekarang, aku sedang menggenggam miniature dari Tugu Khatulistiwa. Di hari kemudian, kamu bawa aku kesana untuk memeluk Tugu Khatulistiwa ya?!”, Dilara mengutarakan apa yang baru saja terbesit menjadi sebuah keinginannya. Melihat Firlana.
Firlana menjadi terdiam melihat balik padanya, lalu memberi senyum. “Jadi kamu lebih mempercayaiku untuk pergi kesana? Bohong kalau kamu gak bermimpi akan pergi kesana bersama orangtuamu!”, Firlana mengingatkannya tentang peran orangtua yang akan selalu menemani anaknya. Dilara menjadi hening melihatnya, mengingat kesibukkan orangtuanya, terutama ayahnya. Firlana mulai menyentuh pipinya sambil mengatakan maaf.
“Maaf yah, aku hanya tidak ingin kamu menjadi lupa dengan sikap protect dari mereka berdua yang sebagai orangtuamu. Karna bagaimanapun juga, yang menjaga lebih baik orangtua kita bukan orang lain.”, Firlana berkata bijak karna menyayanginya. Dilara menurunkan tangan Firlana dari menyentuh pipinya sembari memberi senyum. “Kau, udah kesekian kalinya ngajarin aku untuk tidak berharap serta bergantung pada orang lain.”, Dilara berbalas menyahut menyanjungnya.
Firlana pun menjadi tersenyum haru merasa senang dihatinya, lalu menunjukkan sebuah pelangi yang baru saja terlihat di langit tepat di depan mereka. Dilara pun melihatnya, dan mereka berdua sama-sama memusatkan perhatiannya ke pelangi itu. Bersambung dengan berbincang-bincang berisi aneka canda, agar senyum ceria mewarnai suasana diantara mereka berdua, terlebih lagi ada pelangi yang sedang mereka nikmati bersama.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!

Hari telah berganti, pada pukul tujuh lewat tigapuluh menit pagi. Negara di kursi kerjanya, di dalam ruang kerjanya sedang sibuk menandatangi beberapa berkas beragendakan sebuah kerjasama dari perusahaan lain. Ditengah kesibukkannya, ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya dan secara spontan Negara memerintahkan untuk segera masuk kepada siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya itu.
Dan siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya itu sudah berjalan memasuki ruang kerjanya, sedangkan Negara baru melihat ke siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya. Mulai mengamati hingga siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerjanya tu sudah berdiam di depan meja kerjanya, menghadap padanya. Siapa yang telah mengetuk pintu ruang kerja Negara itu adalah dua orang mantan office, yang telah di tunjuknya sebagai seksi keamanan dan sebagai asisten dari dirinya.
“Selamat pagi, pak Kusuma Negara.”, sapa kedua orang itu membuat Negara tersadar dari pengamatannya. Negara berdiri dari kursinya, “Selamat bekerja dibagian yang baru, Nil Ra dan kamu….?”, Negara berucap selamat kepada keduanya. Namun menjadi terhenti melihat ke seorang lagi yang belum diketahui namanya. “Saya, Shanty.”, seorang lagi itu memperkenalkan namanya yang ditunjuk sebagai asisten dari dirinya.
“Sungguh ucapan sapa dan pengenalan awal yang bagus.”, Negara memberi sanjungan sambil menepuk kecil kedua tangannya tiga kali sambil melihat keduanya. Lalu Negara mempersilahkan Nil Ra untuk memulai kerjanya yang baru, begitupun dengan Shanty yang telah ditunjuk sebagai asisten dari dirinya. Dan mereka, Nil Ra dan Shanty memulai pekerjaan yang baru pada hari ini. Nil Ra akan segera pergi untuk mengawas para pekerja office.
Sedangkan Shanty akan segera membantu Negara dalam mengatur berkas pekerjaan.

Selang waktu berjalan. . . .

Masih di kantor perusahaan milik keluarga dari Negara, kini Dilara sudah berada di dalamnya akan segera menuju ke ruangan sang manager alias Negara. Sesampainya di ruangan sang manager, Dilara langsung membuka pintu ruangan lalu berdiri membelakangi pintu ruangan karna baru mengingat sesuatu. “Maaf, saya telah lupa berkata permisi.”, kata penyampaian maafnya melihat Negara yang sedang duduk di kursi kerja membelakangi dirinya.
Lalu Negara memutarkan kursi kerjanya menghadap ke Dilara yang masih berdiri ditempatnya. “Nona Dilara, silahkan kemari!”, perintah Negara sedikit tegas dingin. Dilara pun mulai melangkah tuk menghampirinya, tidak terpancing dengan perintah sedikit tegas darinya karna melihat wajah Negara yang selalu lugu. Dan kini Negara meletakkan kedua tangannya di meja kerjanya, melihat Dilara yang baru saja duduk merapihkan pakaiannya.
“Lebih enak bersapa anda, kamu atau kau?”, Negara mencoba berbasa-basi. Dilara melihat santai akan menyahut.
“Bagaimana kalau pake sapa, lo, gue aja?”, Dilara memberi masukan berbalas tanya.
“Tidak ada kesopanan dalam bersapa, lo dan gue. Paham?”, Negara memberi penjelasaan. “Kau mau bekerja dibagian apa? Karna kalau sebagai office, kau merupakan seorang putri dari teman ayah saya. Karyawan masih penuh, dan untuk asisten saya sudah memilih.”, Negara mulai menjelaskan tentang keadaan pekerja di kantornya.
“Saya juga tidak tahu, saya di sini ditugaskan untuk bekerja dibagian apa? Office boy, kalaupun ditawari saya tidak akan mahu, pak.”, ungkap Dilara dengan kejujuran sedikit lugu.
“Ya bagus, berarti anda masih memikirkan status sosial anda.”, Negara memberi sahutan membuat Dilara merasa kalau dirinya telah sedikit mencoba memberi sindiran.
Dan Dilara memilih diam bertahan tidak menyahut lagi, sedangkan Negara yang masih melihat padanya mengambil map yang berisi sebuah data dari dirinya. Sementara Negara perhatiannya kepada map yang berisi sebuah data dari dirinya, dan Dilara melihatnya hening tanpa menghadirkan perbincangan lain.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!!

Setelah beberapa menit berlalu, Negara menyudahi kesibukkannya yang tadi. Berdiri melihat ponselnya, sedang Dilara melihat jenuh kebawah. “Dilara, aku ingin menunjukkan seseorang kepadamu.”, tegur sapa kembali Negara melihat dirinya. Dilara pun melihat padanya balik berwajahkan jenuh. Negara memberi senyum pada dirinya, lalu beralih melihat ke asisten barunya hingga asisten barunya itu berdiri disampingnya.
“Dia adalah asisten baruku.”, Negara memperkenalkannya dengan melihat ke Dilara kembali. Dilara pun berdiri meihat ke asisten itu. “Selamat yah, semoga anda tidak selalu berargumen dengannya.”, Dilara memberi selamat memakai senyuman sebagai sindiran. Usainya memberi selamat Dilara kembali melihat ke Negara. Negara menunjukkan wajah masam tidak menyukai gaya bicara dirinya.
“Biarkan aku yang memohon, untuk segera beranjak dari sini.”, sambung Dilara semakin memberi sindiran. Negara menjadi membuang muka darinya masih berwajahkan masam. “Oyah, pak manager yang kini enggan tuk saya hormati. Kalau saja dari awal saya mengetahui kalau anda sedang mencari seorang asisten, maka saya akan membatalkan niat saya untuk datang kembali demi menghadap anda.”, Dilara menyambungnya lagi terakhir membuat Negara kembali melihat padanya.
“Saya rasa sudah cukup anda tuk menghina saya. Dan sekarang, pintu ruangan saya akan terbuka lebar untuk anda segera beranjak keluar ruangan ini.”, Negara membalas sindiran darinya menunjukkan wajah sedikit dendam. Dilara pun mengambil map miliknya dari Negara, lalu berbalik beranjak pergi bersikap cuek nan acuh. “lakukan saja tugasmu!”, perintah Negara kepada asistennya. Dan asistennya menuruti perintahnya tanpa menanyakan apa yang telah disaksikannya tadi.
Setelah beberapa menit Dilara sudah pergi meninnggalkan ruang kerja dari Negara, Milara baru saja mendatangi ruang kerja dari Negara. Bahkan Milara kini sudah berdiam menghadap ke pintu ruang kerja dari Negara, berniat akan mengetuk namun sudah dibuka lebih dulu oleh Negara secara bersamaan. Milara pun langsung memberi senyum mencoba menatap Negara, Negara langsung bertindak dengan lugunya.
“Sungguh waktu yang pas! Tanpa ada yang memberitahu kedatangan dirimu, kita sudah berhadapan seperti ini.”, Negara mengutarakan usai menutup pintu ruang kerjanya. Milara berdiam hening membatalkan niatnya yang ingin mengutarakan sesuatu. “Aku senang, karna aku bisa langsung menemuimu dan sekarang aku mahu kita bersantai di kantin dekat pantry!”, Milara menyahut tidak sesuai dengan apa yang telah sempat diniatkannya tadi.
“Secara kebetulan, aku memang ingin memulihkan mood ku.”, Negara mengutarakan keadaan dirinya sendiri sambil memberi senyum. Milara menjadi tertawa dan mereka mulai beranjak bersama segera beralih kesebuah kantin didekat pantry.

Di rumah kediaman Firlana. . . .

Firlana sedang asik melihat gambar hasil pemotretannya pada kamera miliknya, di ruang keluarga. Ia sedang menikmati suasana sunyi, sepi nan sangat bersahajakan dirinya. Namun tiba-tiba ada seorang asisten rumahnya menghampiri dirinya sembari memberikan sebuah surat padanya. Firlana pun terpaksa mengalihkan keasikkannya itu dengan segera membaca surat yang telah diterimanya dari seorang asisten rumahnya.
Tertulis, “Firlana, apa kabar? Aku kangen sama kamu dan dia, you both deh! Tunggu aku pulang tepat di hari ulang tahunmu yang ke duapuluh tiga tahun ya? Wish you all the best.”. isi dari tulisan sebuah surat itu yang amat singkat dan nama pengirim telah dirahasiakan. Sejenak Firlana berpikir, ada seseorang yang berusaha bersikap misterius. Dan dirinya akan segera mengetahui siapa seseorang yang telah berusaha bersikap misterius terhadapnya, pikirnya lagi.

S A C Uku

bukan cerita cinta segitiga!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar