Seorang tamu itu adalah Milara,
yang sudah berdiri di depan meja kerja Negara melihat keduanya. “Negara, sedang
apa Dilara di sini?”, tanya Milara menetap melihat ke Negara tanya. “Untuk
sementara waktu, dia menjadi asistenku.”, jawab Negara tanpa berbasa-basi.
Usainya menjawab, Negara berdiri dari duduknya. Lalu tangannya memegang telapak
tangan dari Dilara, karna dirasa kalau Dilara akan bergeser untuk beranjak.
Dilara pun menjadi terhenti bersikap biasa masih melihat Milara.
“Cukup heningnya. Negara, aku
menunggumu di luar saja. Sebab aku telah membawa klien yang sedang menungguku
di lobby.”, Milara berkata permisi meminta Negara untuk bersiap. Lalu mulai
beranjak akan keluar dari ruangan. Dengan Negara yang masih memegang telapak
tangan dari Dilara, Dilara mencoba melihat padanya berwajahkan keluh. “Pergi
lagi, pak?”, tanyanya menyentuh perasaan Negara. Negara pun melihat balik
padanya berwajahkan bingung.
“Maksud bapak dengan masih
memegang telapak tangan saya. Apakah semakin mengisyaratkan sebuah permisi dari
bapak, untuk pergi lagi?”, Dilara menguatarakan keluhnya menunjukkan emosinya.
Negara hanya berkata “Maaf”, melepaskan pegangannya beralih mengambil tasnya
dan beranjak akan meninggalkan ruangan. Dilara yang merasa ditinggal pergi
lagi, mencoba memakluminya bahkan semakin memakluminya dengan jadwal dari
Negara yang padat.
“Asisten, dituntut untuk selalu
menemani bosnya! Tapi bolehkah, asisten menuntut untuk selalu ditemani bosnya?
Sungguh, kali ini aku benar-benar membutuhkan Negara untuk mengobrol walaupun
hanya sejenak saja.”, curahannya berbahasa sedikit sedih meratapi pintu ruangan
yang sudah kembali tertutup.
Sore harinya. . . .
Dilara mendapat telepon dari
Negara, yang telah memerintahkan dirinya untuk pulang saja tidak perlu lagi
menunggu kepulangannya kembali ke kantor. Sebab beralasan jika Negara harus
menyambung jadwal kerjanya beralih pergi ke kantor perusahaan yang lain. Dilara
yang sudah mengetahui, menyahut dapat menerimanya serta mengakhiri dengan
ucapan, “Jangan terlalu menforsir tubuh pak”. Negara yang di sana masih berada
dirumah galeri “MILARATONIC”.
Menjadi senyum-senyum sendiri
seketika mendengarnya lalu memutuskan teleponnya. Dan dirasakannya bahwa ia telah
mendapat sebuah semangat baru dari Dilara, untuknya menyambung jadwal kerjanya beralih
pergi ke kantor perusahaan lain. Dan sudah dapat diperkirakan olehnya, jikalau
jadwal pekerjaannya akan selesai sekitar pukul setengah sepuluh malam atau
lebih. Sebabnya Negara telah ikut terlibat dalam rapat investasi saham yang
masih berbuntut.
Rapat investasi saham yang sudah
pernah dilakukan di kantor perusahaan milik keluarganya sendiri. sementara kala
itu Dilara belum menjadi asisten sementara darinya.
Malam harinya. . . .
Di rumah kediamannya, Dilara
sedang berada di kamarnya meratapi ponselnya yang amat berasa sepi. Tak ada
pesan masuk dari Firlana menanyakan kabar dirinya. Dirinya pun tak berani tuk
mengirim pesan pada Firlana, walau hanya menanyakan kabar darinya saja. Sebab
pada pesannya terakhir, Firlana menuliskan jika tugas pekerjaannya sedang
padat-padatnya. Dan karna pesan terakhir darinya itu, membuat Dilara segan tuk
mengajaknya mengobrol meski melalui sebuah pesan.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Hari telah berganti, tepat pada
pukul sembilan pagi. Kakak perempuan dari Negara mengalami sebuah kecelakaan
kecil. Dan kini sudah berada di ruang UGD, di sebuah rumah sakit. Kakaknya yang
bernama New Delhi telah menglami luka kecil di bagian kaki kirinya, setelah
menabrak trotoar sebab pada rem mobil kendaraannya kurang berfungi secara
optimal. Sementara Negara bersama Dilara baru saja datang menghampiri dirinya.
Negara pun bertanya tentang keadaan dari dirinya berwajahkan panik.
Kakaknya memberi senyum mengatakan
kalau dirinya baik-baik saja. Lalu mencoba berkata menanyakan kepada Dilara
yang sedang berdiri disamping adiknya itu.
“Dilara? Kau ke sini karna
berinisiatif sendiri? atau adikku yang telah mengajakmu ke sini?”, tanyanya
berwajahkan senang melihat Dilara. Dilara sedikit merasa serta melihat canggung
padanya, akan menyahut namun telah didahulukan oleh Negara.
“Aku yang telah membawanya, kak .
karna kalau tidak, maka akan keluar dari mulutnya kata “Membosankan”.”, Negara
membuat pengakuan sedikit mengejek Dilara. Dilara pun melihat padanya sedikit
kaget.
“Negara, bukan asisten saja yang
selalu dituntut untuk menemani bosnya. Tapi sebisa mungkin bosnya juga bisa
berbalik menemani asistennya. Walaupun hanya sekedar mengerjakan tugas
pekerjaan.”, kakanya memberi nasehat berbahasa bijak, melihat memberi
pengertian ke adiknya itu.
“Dengarkan pak! Bagaimanapun juga
kak New Delhi adalah wanita, sama seperti saya!”, Dilara memberi ketegasan
padanya. Melihat tegas pula.
Usainya mendengar Dilara berkata,
kakak dari Negara memberi resep kepada Neagra. Lalu meminta Negara untuk segera
menebus obat yang sudah tertulis pada resep tersebut. Namun sebelumnya, Dilara
berkata permisi untuk pergi ke toilet sebab berhasrat ingin membuang air kecil
pada mereka berdua. Mereka berduapun mengijinkannya, dan begitu Dilara beranjak
lebih dulu menuju ke toilet. Negara baru beranjak segera akan menuju ke apotek
di rumah sakit yang sama.
Selang beberapa saat berjalan,
Dilara telah usai membuang air kecil di toilet. Dan kini Dilara sedang berjalan
menuju ke ruang UGD. Namun ketika sudah sampai di ruang uGD hendak akan
memasukinya, tiba-tiba saja langkahnya menjadi terhenti sebab melihat seorang
yang merupakan ayah dari Firlana sedang mengobrol dengan seorang dokter. Tepat
di depannya tak jauh dari keberadaannya. “Om? Sedang membicarakan siapa dengan
dokter di sana?”, gumamnya dihati memandanginya.
Namun itu tidak berlangsung lama.
Karna ketika melihat ayah dari Firlana mulai berranjak ke tempat lain, Dilara
pun bergegas memasuki ruang UGD, kembali menghampiri kakak dari Negara. Kakak
dari Negara yang melihatnya sudah kembali, memberi senyum menyambutnya.
Begitupula Dilara membalas senyum darinya. Lalu kakak dari Negara beralih
melihat ke Negara yang baru saja datang menghampiri dirinya kembali,
berwajahkan biasa melihat ke kakaknya.
Dan disambung seorang suster yang datang
dengan membawa kursi roda, sebab kakaknya telah meminta kursi roda untuk
membawanya ke mobil milik Negara. Akan segera pulang ke rumah sebab sudah
ditangani. Negara pun membantu kakaknya berdiri dari tempat tidur untuk bisa
duduk di kursi roda yang telah disediakan. Setelah melihat kakaknya telah duduk
di kursi roda tersebut, secara bersamaan Negara dan Dilara telah memegang pegangan
pada kursi roda yang sama.
Posisi tepatnya Negara yang
menyentuh tangan Dilara tanpa disengaja. Mereka berduapun menjadi saling
berpandangan sedikit kaget, dengan Dilara yang menarik tangannya sendiri
mencoba mengalah. Sedangkan kakaknya menjadi senyum-senyum sendiri setelah
menyaksikan apa yang sudah diperbuat oleh keduanya. Dan kini mereka bertiga
telah beranjak, dengan Negara yang mendorong kursi roda tersebut membawa
kakaknya dan Dilara berjalan disamping kakaknya mendampingi.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar