Pagi harinya pada pukul tujuh,
Firlana terbangun dari tidurnya. Lalu mencoba membangunkan dirinya dengan duduk
di kasur tempat tidurnya. “Di-kasur????”, tanyanya spontan setelah mengetahui
kalau dirinya kini sedang berada di kasur tempat tidurnya. Dan Firlana pun
mencoba tuk mengngingat kejadian pada malam tadi, usainya menjemput ayahnya di bandara.
Mengulang kejadian pada malam tadi. . . .
Usainya sudah menjemput ayahnya di
bandara, saat ketika masih di dalam perjalanan menuju jalan pulang ke rumah
kediamannya. Firlana berniat akan segera memasuki kamarnya sendiri saat dirinya
telah tiba kembali ke rumah kediamannya bersama ayahnya. Setelah beberapa saat
berlalu, kini Firlana bersama ayahnya sudah tiba kembali ke rumah kediamannya.
Bahkan Firlana kini sudah berdiam diri di dalam kamarnya sendiri.
Ia sedang duduk di meja kerjanya,
sambil menuliskan sesuatu dibuku hariannya. “Dilara, abi, aku hampir saja
meraih dua kebahagian itu. Namun, satu kebahagianku telah aku saksikan sendiri
hampir dimiliki oleh orang lain.”, tulisannya sambil membisik dihatinya.
Usainya menuliskan tulisan dari membisik dihatinya itu, mimisan yang kesekian
kaiinya kembali terjadi padanya. Secara spontan dirinya pun mengambil sehelai
tisu didekatnya, mengusap darah yang keluar dari hidungnya sampai bersih.
Namun setelah dirinya membersihkan
darah yang keluar dari hidungnya, tiba-tiba saja dirinya menjadi tertidur pingsan
tak sadarkan diri. Dan cuma itulah yang dingatnya dari kejadian pada malam
tadi. Firlana tidak mengetahui kalau ayahnya telah memasuki kamarnya,
menyaksikan apa yang terjadi padanya termasuk apa yang sudah ditulisnya.
Sebelum ayahnya memindahkan dirinya untuk berbaring tidur di tempat tidurnya.
Kemudian secara tiba-tiba ayahnya
membuka pintu kamarnya dengan langsung mengatakan, “Firlana, kamu jangan
seperti seorang pangeran. Ayo beralih ke lantai bawah untuk sarapan bersama
abi!”, berdiri ditempat. Melihat kasih penuh ajakan ke putra semata wayangnya
itu, Firlana. Firlana yang sudah melihat ayahnya, memberi senyum akan segera
mematuhi ajakannya. Firlana memberi senyum hingga ayahnya menutup kembali pintu
kamarnya beralih beranjak ke lantai bawah.
Dan lagi, Firlana mengingat
kejadian pada malam tadi. ia pun mendapat sebuah pemikiran, kalau ayahnya sudah
mengetahui apa yang terletak dimeja belajarnya sebelum ia dipindahkan tuk
berbaring di kasur tempat tidurnya, oleh ayahnya sendiri.
Beberapa saat kemudian. . . .
Kini Firlana sudah duduk bersama
ayahnya di meja makan, mereka berdua baru saja seesai melakukan sarapan pagi
bersama. Mereka yang duduk berdampingan, bahkan sudah saling bertatap muka.
Ayahnya akan mengajaknya berbicara tentang sebuah liburan ke Singapura.
“Berhubung dengan hari libur kerja selama
seminggu dari rumah galeri tempat kamu telah bekerja. Dan berhubung pula abi
yang pulang ke rumah ini, bagaimana kalau kamu liburan saja, abi yang akan
gantikanmu menjaga rumah ini?”, ayahnya memberitahukan sesuatu membuat semacam
teka-teki. Firlana berdiam sejenak mencoba mencerna apa yang telah didengarnya.
“Bagaimana kalau liburannya
bersama abi. Bukankah, pada sekian tahun sebelumnya abi selalu menemani Firlana
di Jakarta, ketika sedang libur kerja dari perusahaan tempat abi telah
bekerja?”, Firlana memberi ajakan balik serta pertanyaan balik ke ayahnya.
Ayahnya pun menjadi tersenyum
menggelengkan kepalanya, “Tidak, abi ingin kamu berlibur sendiri di Singapura.
Karna abi ingin memberikan waktu untuk kamu menikmati beberapa hari di sana
tanpa terbayang-bayangi sesuatu yang mungkin sudah mencemaskanmu.”, memakai
bahasa amat lembut. Firlana menjadi berdiam lagi sejenak, teringat dengan apa
yang telah didapatkannya dalam pemikirannya tadi saat berada di dalam kamarnya.
Ia merasa kalau apa yang telah
disampaikan oleh ayahnya itu, sangat berhubungan dengan apa yang telah
didapatkannya dalam pemikirannya tadi saat berada di dalam kamarnya. “Eeeemb,
aku mau mematuhi apa yang telah abi sampaikan. Abi atur saja semuanya, Firlana,
si-ap kok.”, Firlana langsung memberi persetujuannya. Ayahnya pun merasa
senang, raut wajahnya terlihat bahagia. Namun ketika Firlana permisi untuk
pergi, raut wajah ayahnya berubah sedikit menjadi tertegun.
Seperti telah menyembunyikan sesuatu.
Bahkan raut wajahnya benar sudah menjadi tertegun, berdiam diri saat ketika
melihat putra semata wayangnya itu beranjak pergi menuju ke ruang lain masih di
dalam rumah.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Malam harinya, Firlana sedang
membereskan pakaian yang akan dibawanya untuk berlibur di Singapura ke dalam
sebuah koper. Sebab sudah positif, ayahnya mengabarkan kalau pada esok pagi
dirinya akan pergi ke Singapura melalui jalur penerbangan pada pukul delapan
pagi. Firlana masih sibuk dengan yang demikian itu, dan sengaja tidak
memberitahu kepada Dilara kalau dirinya akan pergi ke Singapura pada esok pagi
karna sebuah alasan tertentu.
Ya, alasannya adalah bahwa dirinya
telah menyetujui untuk berlibur ke Singapura. Demi meredamkan dendam yang telah
dirasakannya karna Dilara secara diam-diam telah mengadakan sebuah acara
lamaran pada suatu malam kemarin. Berharap ketika dirinya sudah pulang ke
Indonesia kembali, rasa dendamnya akan dapat terbuyarkan perlahan hingga tidak
ada lagi rasa dendam yang dirasa oleh dirinya terhadap Dilara. Terlebih lagi
jika dirinya sudah bertemu secara bertatap muka dengan Dilara.
Malam pun berlalu, bulan yang
tadinya bersahaja kini telah digantikan oleh mentari yang baru saja memancarkan
bias sinarnya di bumi. Kehangatan, itu yang akan segera dirasakan oleh makhluk
hidup di bumi, meniadakan dinginnya karna embun di pagi hari. Dan tepat pada
pukul tujuh lewat tigupuluh menit pagi, Firlana sudah bersiap untuk pergi
sedang berada diteras rumah bersama ayahnya. Mereka berdua saling berpelukan menikmati
saat-saat akan dimulainya sebuah perpisahan.
“Abi, bila ada seorang yang
mencariku. Maka jangan katakan kalau aku sedang berlibur ke Singapura!
Katakanlah apa yang menurut abi pantas untuk menyembunyikanku yang sedang
berlibur ke Singapura.”, pinta serta pesan dari Firlana kepada ayahnya. Ayahnya
memberi senyum mempersilahkannya untuk pergi. “Maaf, bila ada yang akan
mengecewakanmu ketika kau sudah sampai ke sana.”, ayahnya meminta maaf tuk
melepaskan putranya berlibur ke Singapura.
Firlana hatinya seketika menjadi
terenyuh, lalu berbalik berjalan menuju ke kendaraan mobilnya sendiri yang akan
mengantarkannya ke Bandara. Sedangkan ayahnya berdiri meratapi kepergian
putranya untuk berlibur ke Singapura. “Abi, begitu menyayangimu. Semoga kamu bisa
mematuhi apa yang akan abi lakukan untukmu di sana, melalui seorang teman yang
berprofesi sebagai Dokter di sana.”, bisik ayahnya ketika melihat mobil
kendaraan yang kan membawa putranya telah pergi berjalan.
Beberapa saat kemudian. . . .
Ada seorang wanita, yang bernama Hesty juga
sebagai seorang ibu sesusuan dari Dilara. Berkunjung ke rumah kediaman dari Firlana,
berniat akan menemui seorang putranya. Sesampainya di sana bahkan sudah berdiri
tegak didepan pintu masuk rumah, ia pun menunggu akan dibukakan pintu oleh
pemilik rumah setelah menekan bel rumah tersebut. Hesti mengamati disekeliling
keadaan rumah tersebut, sehingga kini ia telah melihat seorang pria telah
membukakan pintu untuknya.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
“Hesty….?”, sapa seorang pria itu
sedikit kaget yang merupakan seorang ayah dari Firlana seketika mengetahui.
“Pada malam itu, aku melihatmu di bandara bersama putraku! Jadi, pertemukanlah
aku sekarang dengan putraku! Sebab aku masih merasa tidak rela, hak asuh dari
putraku jatuh ketanganmu!”, Hesty menyahut dengan berbicara mempertegas.
Ternyata Hesty adalah seorang ibu kandung dari Firlana.
Ayah dari Firlana menjadi hening
seketika, lalu akan berbicara lagi. “Dia kini telah aku asingkan keluar
Negeri.”, ayah dari Firlana berbicara amat terbuka. Namun telah terjadi kesalah
pahaman pada pemikiran Hesty dalam menanggapinya.
“Bahkan pada saat sekarang pun,
kamu tetap gak izinin aku tuk bertemu dengan putraku? Fio, masih ingatkah
sewaktu kau menemaniku saat aku bersalin dulu? Aku mohon, izinkan aku tuk
melihat wajah dari putraku yang kini sudah beranjak dewasa.”, Hesty mencoba
mengajak Fio tuk mengingat tentang masa lalu mereka berdua. Masa lalu yang
masih penuh cinta. Dan Fio pun mengingat kembali saat dirinya menemani Hesty
bersalin sewaktu dulu.
“Tapi bagaimanapun juga, putra
kita sedang tidak berada di Jakarta. Dia telah aku beri waktu untuk liburan ke
Singapura. Tidak ada gunanya kau memohon lagi untuk bertemu dengannya sekarang.”,
Fio memberi penjelasan sedikit berkeras hati.
Dan mereka berdua menjadi
bertatapan dingin, berdiam diri karna sama-sama menjadi angkuh tidak akan
memulai pembicaraan lagi. Kemudian Hesty beralih, berbalik tuk beranjak akan
pergi meninggalkan dengan rasa kesalnya. Sedangkan Fio masih berdiri memandangi
Hesty yang beranjak pergi hingga keluar dari pintu gerbang, memasuki kendaraan
mobil taxi yang sebagai tumpangannya. Setelah melihat Hesty telah pergi tiada
dari pandangannya, Fio berbisik sesuatu.
“Kalau saja tidak ada isu yang mengabarkan
jika kau telah bermain hati dibelakangku, maka perceraian kita tidak akan
pernah terjadi. Telingaku berapi, hatiku membara, jiwaku terguncang sangat
hebat makanya aku tega tuk melakukan sebuah perceraian dari pernikahan kita.”,
bisiknya keluh mengingat saat kelamnya masa lalu. Ia tampak seperti mensesali
kelamnya masa lalu, namun khayalannya seperti ingin rujuk kembali ketika
mengingat indahnya saat masih penuh cinta semasa dulu.
Sore harinya ditempat lain. . . .
Negara masih berada di kantornya,
ia sedang duduk di kantin sambil merenungkan sesuatu. Ia sedang merenungkan
tentang sandiwaranya bersama Dilara terhadap kedua keluarga besar dari mereka
berdua. “Semoga saat kami mengaku akan mengakhiri sandiwara ini, bunda gak akan
kumat lagi penyakitnya.”, bisik hatinya setelah merenungkan. Lalu menjadi
berdiri dari duduknya, mengingat hari esok dimana dirinya akan pergi menemui
Milara dirumah galeri milik Milara.
Dan ketika hendak akan bergeser ke
kanan tuk melangkah pergi, tiba-tiba saja ia menabrak Nil Ra yang kebetulan
akan melewati dirinya. keduanya pun kini saling berpandangan kaget. “Maaf,
pak.”, Nil Ra meminta maaf dikemudian. Negara melihatnya diam mencoba
mengamati, “Tidak apa.”, sahutnya berlapang dada. Nil Ra pun berakta lagi sebab
merasa tidak enak hati, “Saya janji, pak. Tidak akan terjadi kedua kali seperti
yang telah terjadi kini.”. sedikit berekspresi sungkan.
Dan Negara langsung berkata
mengakhiri, “Selamat sore”, berlanjut beranjak pergi meninggalkan cuek.
Sedangkan Nil Ra menjadi melihat pada dirinya bingung, sebab Nil Ra belum
menjawab sapa dari dirinya, dirinya sudah beranjak pergi lebih dulu dengan
cuek. “Ya ampun pak Negara. Semoga ada yang lebih mengerti dengan sikap pak
Negara yang baru saja saya saksikan.”, bisik Nil Ra dihati sebab merasa kaget.
S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar