Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #21

Pagi harinya pada pukul tujuh, Firlana terbangun dari tidurnya. Lalu mencoba membangunkan dirinya dengan duduk di kasur tempat tidurnya. “Di-kasur????”, tanyanya spontan setelah mengetahui kalau dirinya kini sedang berada di kasur tempat tidurnya. Dan Firlana pun mencoba tuk mengngingat kejadian pada malam tadi, usainya menjemput ayahnya di bandara.

Mengulang kejadian pada malam tadi. . . .

Usainya sudah menjemput ayahnya di bandara, saat ketika masih di dalam perjalanan menuju jalan pulang ke rumah kediamannya. Firlana berniat akan segera memasuki kamarnya sendiri saat dirinya telah tiba kembali ke rumah kediamannya bersama ayahnya. Setelah beberapa saat berlalu, kini Firlana bersama ayahnya sudah tiba kembali ke rumah kediamannya. Bahkan Firlana kini sudah berdiam diri di dalam kamarnya sendiri.
Ia sedang duduk di meja kerjanya, sambil menuliskan sesuatu dibuku hariannya. “Dilara, abi, aku hampir saja meraih dua kebahagian itu. Namun, satu kebahagianku telah aku saksikan sendiri hampir dimiliki oleh orang lain.”, tulisannya sambil membisik dihatinya. Usainya menuliskan tulisan dari membisik dihatinya itu, mimisan yang kesekian kaiinya kembali terjadi padanya. Secara spontan dirinya pun mengambil sehelai tisu didekatnya, mengusap darah yang keluar dari hidungnya sampai bersih.
Namun setelah dirinya membersihkan darah yang keluar dari hidungnya, tiba-tiba saja dirinya menjadi tertidur pingsan tak sadarkan diri. Dan cuma itulah yang dingatnya dari kejadian pada malam tadi. Firlana tidak mengetahui kalau ayahnya telah memasuki kamarnya, menyaksikan apa yang terjadi padanya termasuk apa yang sudah ditulisnya. Sebelum ayahnya memindahkan dirinya untuk berbaring tidur di tempat tidurnya.
Kemudian secara tiba-tiba ayahnya membuka pintu kamarnya dengan langsung mengatakan, “Firlana, kamu jangan seperti seorang pangeran. Ayo beralih ke lantai bawah untuk sarapan bersama abi!”, berdiri ditempat. Melihat kasih penuh ajakan ke putra semata wayangnya itu, Firlana. Firlana yang sudah melihat ayahnya, memberi senyum akan segera mematuhi ajakannya. Firlana memberi senyum hingga ayahnya menutup kembali pintu kamarnya beralih beranjak ke lantai bawah.
Dan lagi, Firlana mengingat kejadian pada malam tadi. ia pun mendapat sebuah pemikiran, kalau ayahnya sudah mengetahui apa yang terletak dimeja belajarnya sebelum ia dipindahkan tuk berbaring di kasur tempat tidurnya, oleh ayahnya sendiri.

Beberapa saat kemudian. . . .

Kini Firlana sudah duduk bersama ayahnya di meja makan, mereka berdua baru saja seesai melakukan sarapan pagi bersama. Mereka yang duduk berdampingan, bahkan sudah saling bertatap muka. Ayahnya akan mengajaknya berbicara tentang sebuah liburan ke Singapura.
 “Berhubung dengan hari libur kerja selama seminggu dari rumah galeri tempat kamu telah bekerja. Dan berhubung pula abi yang pulang ke rumah ini, bagaimana kalau kamu liburan saja, abi yang akan gantikanmu menjaga rumah ini?”, ayahnya memberitahukan sesuatu membuat semacam teka-teki. Firlana berdiam sejenak mencoba mencerna apa yang telah didengarnya.
“Bagaimana kalau liburannya bersama abi. Bukankah, pada sekian tahun sebelumnya abi selalu menemani Firlana di Jakarta, ketika sedang libur kerja dari perusahaan tempat abi telah bekerja?”, Firlana memberi ajakan balik serta pertanyaan balik ke ayahnya.
Ayahnya pun menjadi tersenyum menggelengkan kepalanya, “Tidak, abi ingin kamu berlibur sendiri di Singapura. Karna abi ingin memberikan waktu untuk kamu menikmati beberapa hari di sana tanpa terbayang-bayangi sesuatu yang mungkin sudah mencemaskanmu.”, memakai bahasa amat lembut. Firlana menjadi berdiam lagi sejenak, teringat dengan apa yang telah didapatkannya dalam pemikirannya tadi saat berada di dalam kamarnya.
Ia merasa kalau apa yang telah disampaikan oleh ayahnya itu, sangat berhubungan dengan apa yang telah didapatkannya dalam pemikirannya tadi saat berada di dalam kamarnya. “Eeeemb, aku mau mematuhi apa yang telah abi sampaikan. Abi atur saja semuanya, Firlana, si-ap kok.”, Firlana langsung memberi persetujuannya. Ayahnya pun merasa senang, raut wajahnya terlihat bahagia. Namun ketika Firlana permisi untuk pergi, raut wajah ayahnya berubah sedikit menjadi tertegun.
Seperti telah menyembunyikan sesuatu. Bahkan raut wajahnya benar sudah menjadi tertegun, berdiam diri saat ketika melihat putra semata wayangnya itu beranjak pergi menuju ke ruang lain masih di dalam rumah.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Malam harinya, Firlana sedang membereskan pakaian yang akan dibawanya untuk berlibur di Singapura ke dalam sebuah koper. Sebab sudah positif, ayahnya mengabarkan kalau pada esok pagi dirinya akan pergi ke Singapura melalui jalur penerbangan pada pukul delapan pagi. Firlana masih sibuk dengan yang demikian itu, dan sengaja tidak memberitahu kepada Dilara kalau dirinya akan pergi ke Singapura pada esok pagi karna sebuah alasan tertentu.
Ya, alasannya adalah bahwa dirinya telah menyetujui untuk berlibur ke Singapura. Demi meredamkan dendam yang telah dirasakannya karna Dilara secara diam-diam telah mengadakan sebuah acara lamaran pada suatu malam kemarin. Berharap ketika dirinya sudah pulang ke Indonesia kembali, rasa dendamnya akan dapat terbuyarkan perlahan hingga tidak ada lagi rasa dendam yang dirasa oleh dirinya terhadap Dilara. Terlebih lagi jika dirinya sudah bertemu secara bertatap muka dengan Dilara.
Malam pun berlalu, bulan yang tadinya bersahaja kini telah digantikan oleh mentari yang baru saja memancarkan bias sinarnya di bumi. Kehangatan, itu yang akan segera dirasakan oleh makhluk hidup di bumi, meniadakan dinginnya karna embun di pagi hari. Dan tepat pada pukul tujuh lewat tigupuluh menit pagi, Firlana sudah bersiap untuk pergi sedang berada diteras rumah bersama ayahnya. Mereka berdua saling berpelukan menikmati saat-saat akan dimulainya sebuah perpisahan.
“Abi, bila ada seorang yang mencariku. Maka jangan katakan kalau aku sedang berlibur ke Singapura! Katakanlah apa yang menurut abi pantas untuk menyembunyikanku yang sedang berlibur ke Singapura.”, pinta serta pesan dari Firlana kepada ayahnya. Ayahnya memberi senyum mempersilahkannya untuk pergi. “Maaf, bila ada yang akan mengecewakanmu ketika kau sudah sampai ke sana.”, ayahnya meminta maaf tuk melepaskan putranya berlibur ke Singapura.
Firlana hatinya seketika menjadi terenyuh, lalu berbalik berjalan menuju ke kendaraan mobilnya sendiri yang akan mengantarkannya ke Bandara. Sedangkan ayahnya berdiri meratapi kepergian putranya untuk berlibur ke Singapura. “Abi, begitu menyayangimu. Semoga kamu bisa mematuhi apa yang akan abi lakukan untukmu di sana, melalui seorang teman yang berprofesi sebagai Dokter di sana.”, bisik ayahnya ketika melihat mobil kendaraan yang kan membawa putranya telah pergi berjalan.   

Beberapa saat kemudian. . . .

 Ada seorang wanita, yang bernama Hesty juga sebagai seorang ibu sesusuan dari Dilara. Berkunjung ke rumah kediaman dari Firlana, berniat akan menemui seorang putranya. Sesampainya di sana bahkan sudah berdiri tegak didepan pintu masuk rumah, ia pun menunggu akan dibukakan pintu oleh pemilik rumah setelah menekan bel rumah tersebut. Hesti mengamati disekeliling keadaan rumah tersebut, sehingga kini ia telah melihat seorang pria telah membukakan pintu untuknya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

“Hesty….?”, sapa seorang pria itu sedikit kaget yang merupakan seorang ayah dari Firlana seketika mengetahui. “Pada malam itu, aku melihatmu di bandara bersama putraku! Jadi, pertemukanlah aku sekarang dengan putraku! Sebab aku masih merasa tidak rela, hak asuh dari putraku jatuh ketanganmu!”, Hesty menyahut dengan berbicara mempertegas. Ternyata Hesty adalah seorang ibu kandung dari Firlana.
Ayah dari Firlana menjadi hening seketika, lalu akan berbicara lagi. “Dia kini telah aku asingkan keluar Negeri.”, ayah dari Firlana berbicara amat terbuka. Namun telah terjadi kesalah pahaman pada pemikiran Hesty dalam menanggapinya.
“Bahkan pada saat sekarang pun, kamu tetap gak izinin aku tuk bertemu dengan putraku? Fio, masih ingatkah sewaktu kau menemaniku saat aku bersalin dulu? Aku mohon, izinkan aku tuk melihat wajah dari putraku yang kini sudah beranjak dewasa.”, Hesty mencoba mengajak Fio tuk mengingat tentang masa lalu mereka berdua. Masa lalu yang masih penuh cinta. Dan Fio pun mengingat kembali saat dirinya menemani Hesty bersalin sewaktu dulu.
“Tapi bagaimanapun juga, putra kita sedang tidak berada di Jakarta. Dia telah aku beri waktu untuk liburan ke Singapura. Tidak ada gunanya kau memohon lagi untuk bertemu dengannya sekarang.”, Fio memberi penjelasan sedikit berkeras hati.
Dan mereka berdua menjadi bertatapan dingin, berdiam diri karna sama-sama menjadi angkuh tidak akan memulai pembicaraan lagi. Kemudian Hesty beralih, berbalik tuk beranjak akan pergi meninggalkan dengan rasa kesalnya. Sedangkan Fio masih berdiri memandangi Hesty yang beranjak pergi hingga keluar dari pintu gerbang, memasuki kendaraan mobil taxi yang sebagai tumpangannya. Setelah melihat Hesty telah pergi tiada dari pandangannya, Fio berbisik sesuatu.
“Kalau saja tidak ada isu yang mengabarkan jika kau telah bermain hati dibelakangku, maka perceraian kita tidak akan pernah terjadi. Telingaku berapi, hatiku membara, jiwaku terguncang sangat hebat makanya aku tega tuk melakukan sebuah perceraian dari pernikahan kita.”, bisiknya keluh mengingat saat kelamnya masa lalu. Ia tampak seperti mensesali kelamnya masa lalu, namun khayalannya seperti ingin rujuk kembali ketika mengingat indahnya saat masih penuh cinta semasa dulu.

Sore harinya ditempat lain. . . .

Negara masih berada di kantornya, ia sedang duduk di kantin sambil merenungkan sesuatu. Ia sedang merenungkan tentang sandiwaranya bersama Dilara terhadap kedua keluarga besar dari mereka berdua. “Semoga saat kami mengaku akan mengakhiri sandiwara ini, bunda gak akan kumat lagi penyakitnya.”, bisik hatinya setelah merenungkan. Lalu menjadi berdiri dari duduknya, mengingat hari esok dimana dirinya akan pergi menemui Milara dirumah galeri milik Milara.
Dan ketika hendak akan bergeser ke kanan tuk melangkah pergi, tiba-tiba saja ia menabrak Nil Ra yang kebetulan akan melewati dirinya. keduanya pun kini saling berpandangan kaget. “Maaf, pak.”, Nil Ra meminta maaf dikemudian. Negara melihatnya diam mencoba mengamati, “Tidak apa.”, sahutnya berlapang dada. Nil Ra pun berakta lagi sebab merasa tidak enak hati, “Saya janji, pak. Tidak akan terjadi kedua kali seperti yang telah terjadi kini.”. sedikit berekspresi sungkan.
Dan Negara langsung berkata mengakhiri, “Selamat sore”, berlanjut beranjak pergi meninggalkan cuek. Sedangkan Nil Ra menjadi melihat pada dirinya bingung, sebab Nil Ra belum menjawab sapa dari dirinya, dirinya sudah beranjak pergi lebih dulu dengan cuek. “Ya ampun pak Negara. Semoga ada yang lebih mengerti dengan sikap pak Negara yang baru saja saya saksikan.”, bisik Nil Ra dihati sebab merasa kaget.

S A C Uku

bukan cerita cinta segitiga!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar