Sore
harinya, Mora kembali pergi mengunjungi gereja untuk mendoakan ayahnya yang
sedang jatuh sakit. Kesehatan ayahnya semakin kritis sehingga membuat dirinya
untuk selalu pergi ke gereja, demi mendoakan kesehatan ayahnya agar mendapat
sebuah perubahan menjadi lebih baik. Dan kini Mora telah berjalan keluar
gereja, menuruni anak tangga didepan pintu masuk gereja tersebut. Dengan
harapan doanya dapat dikabulkan oleh Tuhan.
kemudian menjadi terhenti saat
usainya menuruni anak tangga karna
melihat Fachri sedang berjalan menuju kearahnya, menghadapnya. Mau tidak mau
Mora pun berhenti ditempatnya sembari menunggu Fachri yang masih berjalan
menujunya akan berhenti didepannya. Dan kini Fachri telah berhenti didepannya
akan membuat sebuah pengakuan, sedangkan Mora akan mendengarkannya saja.
“Aku, didepanmu kini akan membuat
sebuah pengakuan!”, Fachri menyapa. Mora mengedipkan kedua matanya
mengisyaratkan tuk melanjutkan kata darinya lagi. “Memang aku yang
melakukannya! Tapi, tidak sedikitpun aku berniat jahat dalam permainan itu! Aku
hanya kepikiran dengan jabatanku sebagai seorang Dokter! Karna seorang Dokter,
tidak akan sempat melakukan pendekatan dengan seorang wanita! Dan wanitaku itu,
adalah kamu!”, Fachri mengungkapnya menatap bijak berperasaan.
Mora membuang muka kearah kanan
dirinya. “Mora, maaf, bila kau sudah merasa tidak suka dengan permainanku itu!
Tapi, itulah bukti betapa aku menganggapmu sebagai wanitaku! Wanitaku yang
sekarang, setelah aku mengalami putus cinta dengan Yandra dulu! Perlu kau
ketahui, aku tidak bisa menemukan wanitaku lagi, setelah aku mengalami putus
cinta dengan Yandra! Dan dari itu aku memilih, untuk fokus saja dalam kuliahku
mempelajari ilmu kedokteran!”, Fachri mencoba menceritakannya.
“Cukup Fachri! Aku rasa
pengakuanmu sudah cukup sampai disitu!”, Mora mulai berbicara. Melihat ke
Fachri lagi. “Jika kau benar menganggapku sebagai wanitamu yang sekarang, kau
tidak mungkin melakukan permainan yang sedemikian itu! Aku tidak tau harus
berpikir apa dengan permainanmu, terlebih lagi dengan pengakuanmu yang sudah
kau ungkapkan sekarang ini! Aku tidak bisa mempercayainya Fachri!”, Mora
berkeluh menyerah mencoba akan pergi.
Namun Fachri lebih dulu memegang
tangan kanannya. “Kalau memang benar apa yang sudah kau katakan itu, untuk apa
kau masih memakai gelang persahabatan dariku dipergelangan tangan kananmu,
Mora?, Fachri bertanya mematikannya. Menatap tegas masih memegang tangan
kanannya. Sedangkan Mora baru melihat kepergelangan
tangan kanannya yang masih memakai gelang persahabatan darinya.
“Hari ini aku pergi ke London, aku
harap pengakuan dariku pada hari ini sudah cukup! Selamat tinggal!”, Fachri
berkata pamit dengan melepaskan pegangannya lalu berbalik pergi meninggalkannya.
Sedangkan Mora baru saja melihat padanya yang sudah pergi berjalan
membelakangi. Kemudian beralih memasuki kedalam gereja kembali berniat akan
membuat pengakuan kepada Tuhannya.
Sementara Fachri yang sudah berada
didalam mobilnya, menjadi menangis seketika mengingat Mora yang telah
diungkapnya sebagai wanitanya tadi kini harus pergi meninggalkannya ke London
demi menjalani tugasnya sebagai seorang Dokter. Kembali pada Mora, ia sedang
berdoa membuat sebuah pengakuan kepada Tuhannya. Ia berkata, “Tuhan, sebenarnya
tadi aku sudah berbohong! Aku mempercayainya Tuhan, tatapan kedua matanya telah
berkata jujur padaku!”, pengakuannya menangis.
Hari
ini adalah hari kepergian Fachri ke London, dan belum bisa dipastikan kapan
Fachri akan kembali ke Indonesia. Demi menjalani tugasnya sebagai seorang
Dokter di negeri orang, ia rela mempermalukan dirinya sendiri didepan Mora,
sebagai wanitanya yang sekarang. Jiwanya, raganya, tugasnya memang sedang
dibawanya ke negeri orang. Namun hatinya, setengah dari pengharapannya masih
tertinggal di Indonesia ditanah airnya.
Dan itu hanya dimiliki oleh Mora
seorang tanpa ada yang mengetahuinya, bahkan Mora pun seperti buta untuk
melihat kenyataan yang tersembunyi dari Fachri itu.
Badung Location. . . . Season 2
“Pernikahan Diatas Matrai”
Pada
tiga hari kemudian, kabar duka menyelimuti keluarga Mora, ayahnya telah
meninggal sebab kondisi kesehatannya semakin memburuk menjelang hari-hari
terakhirnya. Dan kini jenazah ayahnya telah diterbangkan ke Indonesia berada dikediaman
Mora. sebab ayahnya berpesan untuk dikebumikan di Indinosia saja, ditanah
kelahirannya. Keluarga besar Mora telah berkumpul dikediamannya, beberapa lilin
duka pun mulai dipajang untuk lebih menghormati kepergian ayahnya.
Ditengahnya
berduka, Mora meneteskan airmatanya sesekali menyempatkan dirinya untuk berbagi
kisahnya dengan Eisya. Dan mereka berdua kini sedang berada didepan pintu masuk
rumah kediaman Mora dengan berdiri saling berhadapan. Eisya membelakangi pintu
masuk rumah kediaman Mora, sedangkan Mora membelakangi pintu gerbang rumah
kediamannya.
“Ayah yang meminta untuk
dikebumikan di Indonesia! Karna ayah ingin dikebumikan ditanah kelahirannya, di
Indonesia!”, Mora mulai berbagi menatap tegar.
“Permintaan dari ayahmu sudah kamu
laksanakan Mora!”, Eisya berkata menyemangatinya. Memberi tatapan ceria.
“Tidak, ada satu permintaan lagi
yang sangat sulit untukku melaksanakannya!”, Mora membantah akan membaginya
padanya.
“Katakan Mora!”, Eisya
memerintahkannya sedikit menatap resah.
“Ayahku ingin, aku memakai gaun
pengantin saat menaburkan bunga dipusaranya! Dengan syarat aku sudah berstatus
menikah!”, ungkap Mora membaginya.
Kemudian secara tiba-tiba ada yang
menyambung dibalik Mora, “Aku yang akan menikahimu, demi membantumu
melaksanakan permintaan kedua dari almarhum ayahmu itu!”, Mora pun berbalik
kebelakang akan mengetahui siapa yang telah berani berkata yang demikian itu.
Ternyata orang itu adalah Fachri, Fachri yang sudah tiba tanpa sepengetahuannya
dan sudah mendengar semua keluhnya bersama Mirza disampingnya. “Fachri?”,
tegurnya penuh tanya lalu melihat kearah kanannya.
Kemudian Mora melihat ibu
kandungnya sedang berjalan dan berhenti disampingnya. “Ibu sudah mendengarnya, demi
melaksanakan permintaan kedua dari ayahmu maka lakukanlah anakku!”, ibunya
berkata memberi perintah masih berwajahkan sedih ke Mora. Eisya, Mirza, dan
Fachri menjadi terdiam seketika mendengar perintah dari Ibu kandung Mora kepada
Mora sendiri. mereka bertiga bersama melihat diam ke Ibu Mora.
“Demi ayah, demi melaksanakan
permintaan kedua darinya!”, Mora baru berbicara lagi menegarkan dirinya sendiri
lalu mengangguk resah dengan melihat kebawah.
“Fachri, pernikahanmu dan anakku
akan diselenggarakan pada lima hari kedepan! Aku serahkan pernikahan dari putri
semata wayangku kepadamu!”, Ibu kandung Mora berakata lagi melihat ke Fachri.
Fachri yang sudah mendengar
katanya mulai memberi senyuman sedikit segan padanya. Lalu mencium tangan ibu
kandung Mora sebagai ungkapan terimakasihnya. Eisya, Mirza, Mora yang sudah
melihat pemandangan dari keduanya itu menjadi terenyuh sesaat menikmatinya.
Badung Location. . . . Season 2
“Pernikahan Diatas Matrai”
Lima hari kemudian. . . .
Pernikahan
Mora dilaksanakan dikediaman Mora, tepatnya didepan peti jenazah ayah Mora.
Mora sudah berpakaian pengantin berwarna putih, begitupun Fachri berpakaian
pengantin berwarna putih. Kedua mempelai berdiri secara berhadapan, dengan
pendeta disamping Mora dan pak penghulu disamping Fachri. Mereka menikah
memakai dua kepercayaan masing-masing. Eisya, Mirza, Yusra serta ibu kandung
Mora serta keluarga besarnya turut menjadi saksi pernikahan keduanya.
Dimulai dengan Fachri yang
melakukan ijab Kabul, kemudian dilanjuti dengan Mora yang mengucapkan janji
suci pernikahan. Keduanya melakukan yang demikian dengan melihat kebawah. Lalu
saling berpandangan ketika sudah melakukan yang demikian itu. Ibu kandung Mora
tersenyum melihat putri semata wayangnya sudah menikah, meskipun kurang
mengerti dengan cara pernikahan keduanya. Namun sudah mengerti jika putrinya
bersama pasangannya berbeda keyakinan.
Sementara Eisya, Mirza, dan Yusra
melihat biasa saja ikut berbahagia meskipun merasa aneh melihat cara pernikahan
keduanya.
Beberapa saat kemudian. . . .
Fachri
dengan masih memakai pakaian pengantinnya, menunggu kedatangan Mora dibalkon
depan lantai dua rumah kediaman Mora. Fachri masih menunggunya sambil
melihat-lihat pemandangan yang ada. Dan kinipun Mora telah mendatangi dirinya
dengan sudah berdiri disampingnya menghadap kepadanya. Sedangkan Fachri baru
saja mengetahui kedatangannya lalu menghadapkan dirinya balik ke Mora.
“Aku harus kembali kerumah sakit
sekarang! Karna sekarang tugasku sebagai seorang Dokter bedah mulai dibutuhkan,
hari ini ada lima pasien yang harus aku bedah!”, Fachri memberitahukan
alasannya telah memanggil Mora untuk menemuinya melalui Eisya tadi. Menatap
memohon.
“Pergilah Fachri, semoga berhasil!
Tapi besok kau harus kembali dengan memakai baju pengantin lagi, karna besok
ayah akan dikebumikan dipemakaman Sandiego!”, Mora mempersilahkannya sembari
mengingatkannya tentang hari esok. Menatap tegar.
Fachri pun membuka baju
pengantinnya lalu melipatnya sembari memberikannya ke Mora. “Aku pergi yah,
assalamu’alaikum!”, Fachri berkata pamit padanya menghargai keberadaannya. Mora
menjadi tersenyum lalu mengatakan, “Selamat siang!”. Kemudian Fachri menyentuh
wajahnya sedikit membelainya, menatap diam lalu beranjak pergi meninggalkan.
Dan Mora beranjak dari tempatnya menuju kebalkon depan atas rumahnya, akan
berdiri didepan pagar balkon atas rumahnya.
Tak berapa lama ia berdiri
ditempat tersebut, ia melihat Fachri sedang berjalan menuju mobilnya yang
terparkir diluar pintu gerbang rumahnya. Mora begitu bersyukur memiliki seorang
teman dekat seperti Fachri, yang mau berkorban untuknya. Padahal Mora belum sepenuhnya
mengenal siapa Fachri sebenarnya.
Esok harinya. . . .
Upacara
kematian untuk ayah Mora pun dilakukan, tepatnya dipemakaman umum Sandiego.
Kini peti jenazah telah dimasukkan keliang lahat, tertutupi tanah tak lupa
dengan batu berbentuk salib berdiri tegak dipusaranya. Satu persatu dari
keluarga besar Mora mulai menaburkan bunga dipusara ayahnya, termasuk Mora
bersama Fachri yang juga menaburkan bunga dipusara ayahnya, memakai pakaian
pengantin kembali.
Sementara Eisya, Mirza juga Yusra
hanya berdiri melihat mereka menunggu upacara kematian ayah Mora selesai. “Kehilangan
seseorang yang telah berjuang menghidupi kita, itu lebih menyakitkan dari
apapun!”, Yusra mengungkap mengajak Eisya dan Mirza untuk bicara. Melihat ke
pemakaman ayah Mora.
“Yah,
upacara kematian ayah Mora mengingatkanku pada kedua orang tuaku!”, Eisya mulai
berbicara melihat kepemakaman ayah Mora.
“Andai
saja aku bisa menghadiri upacara kematian almarhum mamah, entah apa yang
terjadi pada diriku!”, Mirza ikut berbicara membagi kisahnya.
Usainya
mereka saling berbicara bergantian, mereka betiga beranjak menghampiri Mora
yang masih bersama Fachri. Setibanya mereka bersama Mora dan Fachri, Eisya
langsung memeluk Mora tuk menegarkannya. Sedangkan Yusra dan Mirza hanya
memandangi sembari tersenyum, begitupun Fachri yang tak henti memandangi Mora
sejak tadi bersamanya.
Badung Location. . . . Season 2
“Pernikahan Diatas Matrai”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar