Selasa, 13 Oktober 2015

BHARATAYUDHAseritiga (Part 38)



                Pada sore harinya, Vikram membuka sedikit pintu kamarnya mengintip kedatangan kedua orangtuanya yang baru saja memasuki rumah dan berhenti dengan saling berbincang-bincang kecil. Wajahnya masih lesuh, kedua matanya masih terlihat sendu masih terlihat seperti orang sehabis menangis. Itulah yang membuatnya tidak berani menunjukkan dirinya kepada kedua orangtuanya. Dirinya takut jika keduanya mengetahui keadaannya yang seperti orang sehabis menangiskan sesuatu.
                Kemudian ia menutup pintu kamarnya kembali beralih menuju kekamar mandi didalam kamarnya. Dan didalam kamar mandinya itu, ia menghidupkan shower dan membiarkan air shower itu mengguyur membasahinya. Ternyata apa yang dirasakannya tadi masih dirasakannya juga sudah semakin mengganggunya sekaligus menyiksa dirinya. “Tuhan, beri aku ketabahan lagi! Sungguh aku tidak kuat dengan semuanya!”, doa pintanya masih dibawah guyuran air shower.

Esoknya. . . .

                Arun terlihat begitu sibuk dimeja kerjanya didalam ruangannya sendiri. Ia melayani dua telpon sekaligus namun secara bergantian, karna hari ini clientnya sangat ramai menghubunginya memberitahukan jadwalnya untuk bisa bertemu. Sementara diluar ruangannya, ada langkah kaki yang masih berjalan akan menuju ruangannya segera. “Akhirnya, aku bisa bernafas juga!”, Arun berkata lega setelah melayani duapuluh clientnya secara bergantian dalam waktu satu jam lamanya.
                Kemudian dirinya terpandang pada jendela dibelakangnya lalu melihat kupu-kupu berwarna merah sedang berputar-putar beberapa saat dan lalu pergi entah kemana. Belum lama kupu-kupu merah itu pergi, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangannya. Dan Arun pun langsung berdiri dari tempat duduknya akan membuka pintu ruangannya sendiri. Saat ketika ia membuka pintu ruangannya, dirinya menjadi terkejut kecil karna telah kedatangan Vikram yang masih berdiri dihadapannya.
                “Vikram? Ada apa kau mendatangi kantor, Om?”. Tanya Arun melihat aneh padanya.
                “Aku ingin berbicara sama Om Arun!”. Vikram mengungkap maksud kedatangannya, melihat biasa padanya.
                “Katakan, topik apa yang ingin kau bicarakan padaku?”. Arun bertanya lagi tentang topik pembicaraan yang akan disampaikan darinya.
                “Ceritanya panjang Om!”. Vikram memberitahukan durasi untuk menceritakan ceritanya, Arun melihat ke jam tangannya.
                “Kalau begitu, kau tunggu saja pada satu jam kemudian dicafe dalam kantor ini! Karna pada lima menit lagi Om akan kedatangan client dari luar negeri!”. Arun menyuruhnya untuk menunggu sembari memberitahukan alasannya. Vikram menggeleng, Arun menepuk lengannya sambil mengangguk meyakinkannya.
“Baiklah Om!”, kata terimanya dengan memeluknya lalu melepaskannya, kemudian berjalan pelan meninggalkan. Arun pun merasa terharu dan kembali menutup pintu ruangannya menunggu kedatangan clientnya dari luar negeri dengan duduk dikursi santainya disamping pintu ruangannya. “Jika ada orang yang tidak mengetahui tentang silsilah keluargaku, mungkin orang tersebut akan beranggapan bahwa Vikram adalah Putraku!”, katanya kecil masih mengingat kedatangan Vikram.

BHARATAYUDHAseritiga

                Selang beberapa waktu berjalan, Arun telah usai melayani clientnya dan kini akan segera mendatangi Vikram yang mungkin masih menunggunya dicafe didalam kantornya. Sementara disana, Vikram memang masih menunggunya dengan berdiri dipojokkan café tersebut sambil melihat rintikkan hujan dihadapannya. Ia begitu menikmatinya sambil mengkhayalkan bahwa ia sedang bermain air ditengah gerimisnya hujan bersama Ayahanda dan Ibundanya.
                Disaat sedang asyiknya bermain, tiba-tiba saja Ayahanda dan Ibundanya berlari memeluk Raizaa yang baru datang ikut menyertainya. Sedangkan dirinya menjadi terdiam melihat pemandangan itu lalu melihat diarah pintu gerbang rumahnya ada sosok Mellissa yang seolah-olah sudah siap untuk menjemputnya. Itulah singkat khayalannya dan kini memejamkan kedua matanya dengan menunduk sambil mendesah usainya mengkhayalkan demikian.
                Kemudian mengangkat kepalanya kembali dengan menghadapkan dirinya kearah kanannya, dan secara tiba-tiba terlihatlah Arun yang sudah berada dihadapannya memberi senyum sapa.
                “Om Arun, sejak kapan Om sudah ada dihadapanku?”. Tanya Vikram melihat bingung padanya.
                “Baru saja! Katakan saja dulu apa yang ingin kau sampaikan padaku!”. Arun memberi perintah, Vikram memberi surat kepadanya lalu membiarkannya membaca isi dari surat itu.
                “Dokter tidak bisa merahasiakan! Dan hasil tes itu tidak akan pernah salah!”. Balas Vikram menegaskan, menatapnya tegas pula. Sedangkan Arun kembali melihatnya sedikit shock.
                “Kau, apa yang sudah kau lakukan Vikram? Kau tidak seharusnya melakukan ini!”. Arun bertanya ingin mengetahui, bernada gugup namun menegaskan.
                “Aku hanya ingin lebih mengetahui tentang kebenarannya saja, Om! Dan semuanya sudah terbukti! Lantas, sebenarnya aku ini anak siapa? Seorang Putra dari siapa? Apakah aku adalah seorang Putra dari….?”. Vikram langsung menjelaskannya tanpa ragu, kemudian menjadi terhenti seketika.
                “Lanjutilah lagi penjelasan darimu, Vikram! Mengapa secara tiba-tiba kau menjadi terhenti seperti ini?”. Arun memerintahkannya lalu menanyakannya lagi dengan rasa penasaran. Sedangkan Vikram menggeleng namun akan kembali menyambungnya.          
                “Aku tidak bisa menyambungnya sekarang, Om! Karna masih ada yang harus aku lakukan lagi setelah ini!”. Vikram menolak halus tuk menjelaskannya lagi, menatap diam menahan bebannya.
                “Baiklah, tapi kau harus berjanji padaku untuk tidak memberitahukan ini kepada Poosharm dan Vin! Terutama pada Poosharm yang sebagai Ibumu!”. Arun menerimanya lalu memintanya untuk berjanji. Vikram menjadi terkaget resah menatapnya.
                Ketika Vikram akan berkata lagi untuk menanyakan maksud dari perkataannya juga dari permintaannya tadi, Arun langsung memberi perkataannya lagi. “Jangan tanyakan lagi! Jalani saja dulu, turuti saja dulu apa yang telah aku katakan juga aku perintahkan, serta yang aku pintakan tadi padamu!”, Arun mengatakannya dengan memegang dua lengan tangan darinya sambil menegarkan dirinya. Vikram yang kini tampak lesuh pun hanya mengangguk semakin merasakan bebannya.

BHARATAYUDHAseritiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar