Pada sore
harinya, Vikram membuka sedikit pintu kamarnya mengintip kedatangan kedua
orangtuanya yang baru saja memasuki rumah dan berhenti dengan saling
berbincang-bincang kecil. Wajahnya masih lesuh, kedua matanya masih terlihat
sendu masih terlihat seperti orang sehabis menangis. Itulah yang membuatnya
tidak berani menunjukkan dirinya kepada kedua orangtuanya. Dirinya takut jika
keduanya mengetahui keadaannya yang seperti orang sehabis menangiskan sesuatu.
Kemudian ia
menutup pintu kamarnya kembali beralih menuju kekamar mandi didalam kamarnya. Dan
didalam kamar mandinya itu, ia menghidupkan shower dan membiarkan air shower
itu mengguyur membasahinya. Ternyata apa yang dirasakannya tadi masih
dirasakannya juga sudah semakin mengganggunya sekaligus menyiksa dirinya.
“Tuhan, beri aku ketabahan lagi! Sungguh aku tidak kuat dengan semuanya!”, doa
pintanya masih dibawah guyuran air shower.
Esoknya. . . .
Arun terlihat
begitu sibuk dimeja kerjanya didalam ruangannya sendiri. Ia melayani dua telpon
sekaligus namun secara bergantian, karna hari ini clientnya sangat ramai
menghubunginya memberitahukan jadwalnya untuk bisa bertemu. Sementara diluar
ruangannya, ada langkah kaki yang masih berjalan akan menuju ruangannya segera.
“Akhirnya, aku bisa bernafas juga!”, Arun berkata lega setelah melayani
duapuluh clientnya secara bergantian dalam waktu satu jam lamanya.
Kemudian dirinya
terpandang pada jendela dibelakangnya lalu melihat kupu-kupu berwarna merah
sedang berputar-putar beberapa saat dan lalu pergi entah kemana. Belum lama
kupu-kupu merah itu pergi, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangannya.
Dan Arun pun langsung berdiri dari tempat duduknya akan membuka pintu
ruangannya sendiri. Saat ketika ia membuka pintu ruangannya, dirinya menjadi terkejut
kecil karna telah kedatangan Vikram yang masih berdiri dihadapannya.
“Vikram? Ada apa
kau mendatangi kantor, Om?”. Tanya Arun melihat aneh padanya.
“Aku ingin
berbicara sama Om Arun!”. Vikram mengungkap maksud kedatangannya, melihat biasa
padanya.
“Katakan, topik
apa yang ingin kau bicarakan padaku?”. Arun bertanya lagi tentang topik
pembicaraan yang akan disampaikan darinya.
“Ceritanya
panjang Om!”. Vikram memberitahukan durasi untuk menceritakan ceritanya, Arun
melihat ke jam tangannya.
“Kalau begitu,
kau tunggu saja pada satu jam kemudian dicafe dalam kantor ini! Karna pada lima
menit lagi Om akan kedatangan client dari luar negeri!”. Arun menyuruhnya untuk
menunggu sembari memberitahukan alasannya. Vikram menggeleng, Arun menepuk
lengannya sambil mengangguk meyakinkannya.
“Baiklah Om!”, kata terimanya dengan memeluknya lalu
melepaskannya, kemudian berjalan pelan meninggalkan. Arun pun merasa terharu
dan kembali menutup pintu ruangannya menunggu kedatangan clientnya dari luar
negeri dengan duduk dikursi santainya disamping pintu ruangannya. “Jika ada
orang yang tidak mengetahui tentang silsilah keluargaku, mungkin orang tersebut
akan beranggapan bahwa Vikram adalah Putraku!”, katanya kecil masih mengingat
kedatangan Vikram.
BHARATAYUDHAseritiga
Selang beberapa
waktu berjalan, Arun telah usai melayani clientnya dan kini akan segera
mendatangi Vikram yang mungkin masih menunggunya dicafe didalam kantornya.
Sementara disana, Vikram memang masih menunggunya dengan berdiri dipojokkan
café tersebut sambil melihat rintikkan hujan dihadapannya. Ia begitu
menikmatinya sambil mengkhayalkan bahwa ia sedang bermain air ditengah gerimisnya
hujan bersama Ayahanda dan Ibundanya.
Disaat sedang
asyiknya bermain, tiba-tiba saja Ayahanda dan Ibundanya berlari memeluk Raizaa
yang baru datang ikut menyertainya. Sedangkan dirinya menjadi terdiam melihat
pemandangan itu lalu melihat diarah pintu gerbang rumahnya ada sosok Mellissa
yang seolah-olah sudah siap untuk menjemputnya. Itulah singkat khayalannya dan
kini memejamkan kedua matanya dengan menunduk sambil mendesah usainya
mengkhayalkan demikian.
Kemudian
mengangkat kepalanya kembali dengan menghadapkan dirinya kearah kanannya, dan
secara tiba-tiba terlihatlah Arun yang sudah berada dihadapannya memberi senyum
sapa.
“Om Arun, sejak
kapan Om sudah ada dihadapanku?”. Tanya Vikram melihat bingung padanya.
“Baru saja! Katakan
saja dulu apa yang ingin kau sampaikan padaku!”. Arun memberi perintah, Vikram
memberi surat kepadanya lalu membiarkannya membaca isi dari surat itu.
“Dokter tidak
bisa merahasiakan! Dan hasil tes itu tidak akan pernah salah!”. Balas Vikram
menegaskan, menatapnya tegas pula. Sedangkan Arun kembali melihatnya sedikit
shock.
“Kau, apa yang
sudah kau lakukan Vikram? Kau tidak seharusnya melakukan ini!”. Arun bertanya
ingin mengetahui, bernada gugup namun menegaskan.
“Aku hanya ingin
lebih mengetahui tentang kebenarannya saja, Om! Dan semuanya sudah terbukti!
Lantas, sebenarnya aku ini anak siapa? Seorang Putra dari siapa? Apakah aku
adalah seorang Putra dari….?”. Vikram langsung menjelaskannya tanpa ragu,
kemudian menjadi terhenti seketika.
“Lanjutilah lagi
penjelasan darimu, Vikram! Mengapa secara tiba-tiba kau menjadi terhenti seperti
ini?”. Arun memerintahkannya lalu menanyakannya lagi dengan rasa penasaran.
Sedangkan Vikram menggeleng namun akan kembali menyambungnya.
“Aku tidak bisa menyambungnya
sekarang, Om! Karna masih ada yang harus aku lakukan lagi setelah ini!”. Vikram
menolak halus tuk menjelaskannya lagi, menatap diam menahan bebannya.
“Baiklah, tapi
kau harus berjanji padaku untuk tidak memberitahukan ini kepada Poosharm dan
Vin! Terutama pada Poosharm yang sebagai Ibumu!”. Arun menerimanya lalu
memintanya untuk berjanji. Vikram menjadi terkaget resah menatapnya.
Ketika Vikram
akan berkata lagi untuk menanyakan maksud dari perkataannya juga dari permintaannya
tadi, Arun langsung memberi perkataannya lagi. “Jangan tanyakan lagi! Jalani
saja dulu, turuti saja dulu apa yang telah aku katakan juga aku perintahkan,
serta yang aku pintakan tadi padamu!”, Arun mengatakannya dengan memegang dua
lengan tangan darinya sambil menegarkan dirinya. Vikram yang kini tampak lesuh
pun hanya mengangguk semakin merasakan bebannya.
BHARATAYUDHAseritiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar