Kini Pangeran Bheeshma telah kembali keistananya bersama seorang
prajuritnya. Sebelum beralih menuju keruangannya, didahulukannya menuju keruangan
Raja Gandaka. Karna kepulangannya keistana merupakan sebuah perintah dari Raja
Gandaka yang sebagai Ayahnya. “Salam, Ayah!”, sapanya memberi salam tepat
disamping Ayahnya, berdiri bersama secara berdampingan. Raja Gandaka pun
menerima salam darinya dengan menyerongkan badannya kekiri menghadap ke
Pangeran Bheeshma dengan menatapnya, begitupun dengan Pangeran Bheeshma.
“Sebelumnya,
jelaskanlah kepada Ayahmu ini! Mengapa kau pergi dengan menetap ditaman
perbatasan daripada kembali keIstanamu ini? Tidakkah kau sangat mengetahui,
jika kau berada disana maka bahaya akan siap menyerangmu, Anakku!”. Perkataan
Raja Gandaka menginvestigasikannya memakai tatapan menajamkan, Pangeran
Bheeshma pun mengetahui tatapannya menerimanya terdiam.
“Tidak, Ayah! Itu
tidak akan terjadi padaku! Karna tujuanku dengan menetap disana hanya ingin
ikut merasakan pengorbanan seo….?”. Pangeran Bheeshma membantah halus. Belum
sepenuhnya meluruskan penjelasannya, Raja Gandaka langsung memotongnya.
“Pengorbanan
seorang gadis! Apakah itu yang akan kau perjelaskan padaku!”. Sambungnya
memotong bernada tegas, semakin menajamkan tatapannya.
Mendengar
sambungan perkataan dari Ayahnya yang memotong itu, Pangeran Bheeshma mulai tak
berdaya menatap kedua matanya. Kedua matanya yang seolah-olah menggambarkan
rasa tidak sukanya atas apa yang telah dilakukan Pangeran Bheeshma saatnya
masih berdiam diperbatasan. Dan Pangeran Bheeshma masih menatap Ayahnya semakin
terdiam belum berani mengedipkan kedua matanya. Sedangkan Ayahnya memalingkan
tatapan dinginnya kearah lain darinya.
Melihat Ayahnya yang kini seperti itu, Pangeran
Bheeshma pun memberanikan diri untuk berbicara kembali masih menatapnya terdiam
menjadi begitu kaku.
“Ayah, Ibu pernah mengatakan sesuatu kepadaku! Ibu
pernah mengatakan, Ibu pernah melihat sosok mata yang mencariku disaat aku
tidak ada didepan matanya! Ada sosok mata yang mengkhawatirkanku, disaat aku
sedang tidak berada didekatnya! Dan sosok mata yang dibicarakan oleh Ibu,
adalah merupakan sosok mata dari….?”, tiba-tiba saja menjadi terhenti saat
ketika akan melanjutinya karna dilihatnya kalau Ayahnya berpaling melihat kepadanya
kembali.
“Pergilah, Anakku! Pergilah!”. Kata pengusirannya dengan
amarahnya.
Mendengar perintah kerasnya itu juga dengan tatapan
yang begitu marah, Pangeran Bheeshma hanya memberi salam perlahan disambung matanya
yang mulai berkaca-kaca menatap Ayahnya. Kemudian beranjak melangkahkan kakinya
meninggalkan ruangan Ayahnya. Begitu berat yang dirasakannya didalam hatinya,
yang harus melewati ruangan Ayahnya dengan kondisi amarah dari Ayahnya yang
belum stabil. Sementara Ayahnya masih mengacuhkannya tanpa melihat kepadanya.
Sesampainya melewati memasuki kedalam ruangannya,
Pangeran Bheeshma menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Ia dibayangi
bisikan-bisikan keras dari Ayahnya yang telah diterimanya tadi. Ia pun melihat
disekeliling didalam ruangannya lalu berputar mendengarkan bisik-bisikan keras
dari Ayahnya yang kini sudah menggema luas disemua sisi didalam ruangannya. Dan
kini Pangeran Bheeshma telah masuk dibawah kesadarannya memasuki permainan
emosi diimajinasinya.
BHARATAYUDHAserisatu
Dikerajaan Wigura
telah kedatangan seorang tamu. Seorang tamu yang merupakan seorang Guru dari
kota Kamspir. Kedatangannya diKerajaan Wigura karena diundang langsung oleh
Raja Wiranata. Sedangkan Raja Wiranata yang baru saja mengetahuinya, langsung
membawanya kepada Putrinya disalah-satu tempat didalam istananya. “Putriku!”,
sapa Raja Wiranata sesampainya disana dibelakang Putrinya bersama Guru dari
kota Kamspir.
Sang Tuan Putri
pun membalikkan tubuhnya menghadap Ayahnya yang sedang bersama seseorang. “Ini
adalah Guru Kamspir! Guru yang akan mengajarimu tentang ilmu spiritual yang
telah ada didalam dirimu sewaktu masih kecil!”, kata pengenalin Raja Wiranata
sambil menunjukannya kepada Putrinya. Sang Tuan Putri pun mengangguk menerima
melihat kepadanya. Kemudian Raja Wiranata pergi meninggalkan usainya
mengenalkan Guru Kamspir kepada Putrinya.
“Didalam dirimu
telah mengalir sebuah Kekuatan Spiritual Abu-Abu sewaktu kau masih kecil!
Disaat kau masih berusia lima tahun! Dan kekuatan ini mempunyai sisi
keabadian!”, Guru Kamspir memulai dengan menerawangnya. Sang Tuan Putri
melihatnya, menatapnya biasa. Kemudian dijelaskannya jika tubuhnya tidak akan
pernah terluka selama kekuatan itu masih mengalir didarahnya. Tidak hanya itu,
Sang Tuan Putri juga tidak akan pernah mati karena sisi keabadian dari Kekuatan
Spiritual Abu-Abu.
Lalu Sang Tuan
Putri menanyai perihal dari kekuatan yang ada pada dirinya kepada Guru Kamspir
dengan memakai wajah penuh bertanya-tanya.
“Sampai kapan
kekuatan ini mengalir didarahku? Apakah penjelasan darimu itu adalah takdir
hidupku dimasa hidupku mendatang?”.
“Pertanyaanmu
begitu cerdas, Tuan Putri! Hanya satu jawabanku untuk pertanyaanmu itu,
“Iya”!”. Dengan rasa sedikit bangga terhadapnya.
Mendengar pertanyaan
cerdasnya tadi, membuat Guru Kamspir teringat kembali kepada muridnya yang
dahulu sebelum bertemu dengan Sang Tuan Putri. Sedangkan Sang Tuan Putri masih
memikirkan tentang kekuatan spiritual yang masih mengalir didarahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar