Rabu, 22 Maret 2017

Jihana.b.RP



Sebuah cerita pendek. Telah diilhami dari kisah nyata. Berkisah dari awal seorang gadis, yang telah terlanjur memandang gelap dunianya hampir tak bermatahari. Redup, itulah cara dari seorang gadis tersebut dalam memandang dunianya. Akan tetapi di suatu hari kemudian, datang seorang pemuda dengan membawa sapa serta senyum ramahnya. Sehingga dapat membuat gadis tersebut bisa merubah pandangannya sendiri terhadap dunianya.
Tidak hanya itu saja, seorang pemuda itupun akan membuat gadis tersebut menjadi seperti ahli membuat sajak akan bahasa suatu perasaan. Bagaimanakah kisah dari seorang gadis dan seorang pemuda itu? Kisah seorang gadis dan seorang pemuda itu akan segera terbaca dalam sebuah kisah yang telah benar berjudul, "Jihana bukan Roman Picisan".

Jihana bukan Roman Picisan. . . .

Dimulai dari hari yang sedang akan memasuki pertengahan hari. Di rumah kediamannya, kebetulan ibunya sedang membuka usaha Laundry. Jihana sedang menjaga keadaan pada usaha Laundry tersebut. Sebab ibunya sedang pergi keluar rumah. Jihana adalah seorang gadis yang telah dimaksudkan tadi, diawal sebelum memulai kisah ini. Dan ketika hari telah sampai pada pertengahan hari, bertepatan dengan adzan yang telah berkumandang.
Jihana mulai melangkah berniat akan pergi ke atas rumah, demi menunaikan suatu kewajiban dalam agamanya. Namun ketika langkahnya sudah berpijak dilantai dua rumahnya. Tiba-tiba saja bel rumah berbunyi sembari menandakan bahwa ada pengunjung. Pengunjung yang dimaksud merupakan pengunjung yang berhubungan dengan usaha dari ibunya, Laundry. Jihana yang sudah mengetahui pastipun.
Berusaha melangkahkan kakinya melalui tangga tuk bisa sampai ke lantai bawah rumah. Dan ketika langkahnya sebentar lagi akan berpijak dilantai bawah rumah, pandangan matanya terpandang kepada siapa yang telah berkunjung pada waktu yang saat begini. Hatinya langsung bergumam, "Aduh gantengnya", setelah melihat paras dari seorang pengunjung itu. Sebab sewaktu tadi ketika Jihana terpandang padanya.
Seorang pengunjung itu sedang menunjukkan senyum ramah sembari melihat pada dirinya. Sedikit rasa pesona telah hinggap di dalam benak dari Jihana. Dan singkat saja, seorang pengunjung itu yang telah terlihat berupa sosok pemuda. Telah memasuki rumah dengan berdiam dihadapan Jihana, sedang Jihana duduk dibangku berniat akan melayaninya. Adegan kurang mengenakanpun akan terjadi pada keduanya.
Dan itu bermula dari Jihana sendiri. Jihana yang sedang duduk dibangku. Mendadak menjadi bingung karna mencari sesuatu. Ia sedang mencari Daftar Bon Laundry. Saat ketika sedang mencoba mencari letak dari Daftar Bon Laundry, Jihana merasa sedikit kebingungan secara tiba-tiba. Namun itu tidak berlangsung lama, sebab seorang pengunjung itu telah membantu dengan memunjukkan letak Daftar Bon Laundry tersebut.
Yang telah terletak dimeja dari bangku yang sedang diduduki oleh Jihana. Dan itu terulang lagi saat Jihana sedang mencoba mencari letak pulpen, padahal masih terletak dimeja dari bangku yang sedang diduduki oleh dirinya. Dua kali sudah pengunjung itu yang berupa sosok pemuda membantunya. Dan yang ketiga kalinya, terakhir pemuda itu membantunya memberitahui format dalam menghitung angka pada kalkulator.
Dan juga dari situlah, Jihana dapat mengetahui nama dari pemuda itu serta nama tempat pemuda itu sedang bekerja. Namun daripadanya, Pemuda itu telah pelit dalam memberitahukan alamat rumahnya pada Jihana. Sebab pemuda itu memakai alamat dari tempatnya ia sedang bekerja, bukan alamat dari rumah kediamannya sendiri. Ada suatu hal yang paling membuat Jihana menjadi geregetan.
Akan tetapi masih bisa dapat ia menutupinya sehingga mungkin tak terbaca oleh pemuda itu. Yaitu ketika Jihana sedang menulis keterangan dari identitas pemuda itu, tangannya bergematar kecil sedikit menahan rasa salah tingkah pada dirinya sendiri. Dan saat ketika pemuda itu pergi sebab telah usai, Jihana langsung merasa lega terbebas dari sesuatu yang tiba-tiba saja mendera pada dirinya sendiri tadi.
Nama dari pemuda itu adalah Niel, walau tadi Jihana harus mengeja nama dari pemuda itu sebab hampir saja keliru dalam menyebut nama dari pemuda itu.

********

Dan disuatu hari kemudian. . . .

Tepatnya di sore hari, sabtu sore. Jihana pergi untuk makan bakso bersama seorang adik sepupunya. Seorang adik yang masih ada aura polosnya dapat dipercaya oleh dirinya, Jihana. Dan sesampainya mereka berdua di tempat makan bakso, Jihana pun mulai berbagi dengan adik sepupunya itu. Mengutarakan apa yang telah terjadi padanya sendiri, saat pertama bertemu dengan sosok Niel.
Adik sepupunya itupun sesekali mencoba menyahut tanya, sebab merasa bingung karna tidak mengenal sosok Niel yang telah dimaksud oleh Jihana. Tetapi tidak sampai terlalu membatasi Jihana yang masih mengutarakan sembari memuji sosok Niel. Kemudian diakhiri dengan adik sepupunya yang mengatakan dalam penyampaiannya, jikalau seorang temannya sedang bekerja ditempat yang sama dengan sosok Niel.
Rasa syukur dirasakan oleh Jihana secara langsung pada saat yang sama. Sembari terpikirkan bahwa dunia ini memang sempit, terlintas dipikiran Jihana sendiri.

Selang beberapa hari kemudian. . . .

Dan apa yang telah dikatakan dalam penyampaian dari adik sepupunya itu, sangatlah benar adanya. Sebab adik sepupunya mampu bersaksi dalam penyampaiannya, bahwa ia sudah bertemu dengan seorang teman yang telah dimaksud. Dan secara tidak sengaja melihat foto dari sosok Niel sedang berfoto dengan seorang teman yang telah dimaksudnya itu. Adik sepupunya bersaksi dalam penyampaiannya dengan menanyakan ciri dari sodok Niel, bermulanya begitu.
Dan Jihana pun hanya mengangguk karna terpana, sebab ciri yang telah ditanyakan oleh adik sepupunya itu memang sama dengan sosok dari Niel. Sejenak Jihana terpikirkan sedikit lesuh, mencurigai sosok Niel pasti sudah memiliki,pacar. Sebab Jihana berpikir secara fisik, sosok Niel yang sudah setampan itu tidak mungkin berstatus jones. Dan Jihana mengutarakan pemikirannya itu kepada adik sepupunya.
Adik sepupunya pun menyahut, "Sepertinya dia tidak butuh pacar. Walaupun memiliki banyak teman cewe mungkin buat koleksi saja.”. Dari sahutan adik sepupunya itulah Jihana kini menjadi tenang perasaannya seperti merasa tuk meyakininya saja.

Mengulang dulu. . . .

Sebelum,adik sepupunya bersaksi dalam penyampaiannya. Jihana sempat bercerita bahwa telah melihat Niel yang kembali menunjukkan sapa sembari senyum ramahnya lagi padanya. Tepatnya saat Jihana sedang duduk berdiam bersama nenek dan bibinya. Bahkan neneknya bertanya padanya siapakah pemuda itu, Niel. Jelas saja Jihana menjawab, kalau pemuda itu aseorang karyawan dari BBQ, pernah Laundry pula dirumahnya.
Adik sepupunya yang mendengar ceritanya itu mulai memberi nasehat, kalau Jihana sebagai kakak sepupunya, tidak perlu menunggu. Sebab bila sudah ditunggu, dia yang ditunggu tidak akan tampak melintas berjalan didepan mata. Adik sepupunya bisa memberi nasehat demikian, karna Jihana sempat mengungkap bahwa tidak sedang memunggu kedatangan dari sosoknya.
Sebab pada hari-hari sebelumnya ia telah mencoba menunggu sosoknya sedang sosoknya tidak ada tampaknya terlintas berjalan didepan mata. Jihana telah menganggap itu sebagai pertemuan yang kedua, benar tidak disangkanya. Jihana pula mencurigai, bahwa tempat kediaman dari sosoknya sangat dekat dengan tempat kediaman daridirinya sendiri. Mungkin saja.

********

Telah sampai pada perenungan. Setelah beberapa waktu berjalan, Jihana masih terpikirkan tentang seseorang yang sama. kemudian ia dapat menyimpulkan, kalau apa yang telah dirasakannya kini karna seorang pamuda itu. Merupakan sebuah ujian dari Tuhan, tepatnya menguji sebuah prinsip yang sudah terlanjur dilakukan olehnya. Dan kesimpulan yang telah didapatkannya akan ditulisnya dengan berupa sajak akan suatu perasaan.
Dan selang beberapa hari kemudian, ia pun dapat menulis sajak akan suatu perasaannya berupa puisi yang begitu mengenang. Jihana memang bukan Roman Picisan. Akan tetapi sajak pada puisi yang sedang ia tulis, berupa sebuah ungkapan bahasa dari perasaannya. Kata-katanya Begitu tulus nan murni, mungkin akan menimbulkan rasa tersentuh bagi orang yang telah membacanya.
Sebab didalam puisinya, Jihana telah mengutarakan seluruh apa yang dirasakannya termasuk pada sebuah beban baginya sendiri. Kini telah tertulis dua buah puisi, karyanya dari pandangannya serta cara pandangnya pada orang yang sama. Dua buah puisi terbut masing-masing berjudul, Teruntuk kamu, terimakasih telah datang menyapaku dan Sebuah kisah pertemuan (dapat kalian baca dialamat blog : jfitrie.blogspot.com).  

********

Sebuah kisah pertemuan

Anak tangga sebagai saksinya
Dari pijakan kaki, yang telah melangkah turun
Hanya demi menyambut datangmu
Walau ku ketahui
Kau datang kemari hanya ingin menitipkan suatu amanah
Seketika kau sudah berdiri dihadapku
Senyum ramahmu
Sapamu
Pandanganmu
Seingatku kau seperti juga sedang, sedikit menatapku diam
Sebuah bangku itu, menjadi saksi selanjutnya
Bicaramu berniat baik memberitahuku
Membuatku merasa bingung
Merasa sedikit salah tingkah pula karnamu
Mungkin kau telah ikhlas tuk membantuku saat itu
Sebab saat itu aku benar bingung
Hampir tidak mengetahui letak
Tepatnya letak suatu barang yang memang sedang kucari
Hanya demi tuk melaksanakan suatu amanah
Hey,
Terimakasih karna aku telah merasa terajari
Keramahanmu, membuatku merasa satu pesona pada duniaku sendiri
Dan kini
Pertanyaan serta harapanku
Adakah suatu hari dikemudian
Sebuah kisah pertemuan ini terulang lagi?
Walaupun tidak terulang denganmu lagi
Akan segera terulang dengan seorang setelah kamu
Dia yang namanya telah tertulis pada kitab LAUH MAHFUD

********

Teruntuk kamu, terimakasih telah datang menyapaku

Aku layaknya sang musafir
Berjalan terus mencari arah yang kumahu
Masih didalam perjalananku
Aku menemukan sebuah titik kejenuhan
Hidupku,
Aku memandang matahari bercahaya redup?
Seolah-olah DUNIA ini telah mati?
Namun bukan DUNIA yang sedang dipijaki oleh miliaran manusia lainnya
Tetapi alangkah malangnya
DUNIA itu adalah DUNIAku sendiri
Dan disuatu hari kemudian, belum berganti masa
Aku kedatangan seorang yang dengan senyum ramahnya
Sedang menyapaku
Oh Tuhan. . . .
Benar saja aku langsung menggumam lantas memujinya dihati
Dia,
Seperti mengubah pandanganku terhadap DUNIAku sendiri
Dia,
Seperti telah membuat diriku menunggu
Namun melawan gejolak hasrat yang sedang aku rasakan kini
Terlepas dari itu, kini sudah dapat aku simpulkan
Ini, yang sudah aku rasakan sembari aku pendam kini
Merupakan cara dari Engkau dalam menguji keseriusan padaku
Tuk tetap teguh memegang prinsip yang sudah terlanjur aku katakan sembari niatkan
Teruntuk kamu, terimakasih telah datang menyapaku 


Rabu, 15 Februari 2017

S A C Uku #39

Dua minggu kemudian. . . .

Di sore hari, pesta pernikahan Negara dan Dilara sedang di selenggarakan. Negara dan Dilara sedang duduk di pelaminan, berpakaian pengantin berwarna putih. Keduanya tampak seperti raja dan ratu, yang sedang duduk di kursi singgasana megah. Sinar pancaran bahagia begitu merona dari sang kedua pengantin, melihat ke para tamu yang sudah turut menghadiri. Kemudian seorang kakak dari Negara, datang menghampiri Dilara dengan membawakan sebuah buket bunga.
Kakak dari Negara meminta keduanya untuk melempar buket bunga yang akan di tangkap oleh para tamu yang secara kebetulan, sedang melajang. Dilara pun menyetujui permintaan dari kakak dari Negara yang bernama Kusuma New Delhi. Dan Dilara bersama Negara mulai berjalan bersama ke depan, lalu berhenti dengan membelakangi para tamu. Sementara beberapa tamu yang secara kebetulan sedang melajang.
Mulai berebut dalam berbaris demi bisa menangkap buket bunga yang akan di lemparkan oleh kedua sang pengantin. “Aku harap, yang menangkap buket bunga ini adalah Milara.”, bisik Negara ketika akan bersiap tuk melemparkan buket bunga itu. Melihat ceria ke Dilara. “Bagiku, Firlana yang akan menangkap buket bunga ini.”, balas Dilara mengutarakan pengharapannya. Usainya berbicara, mereka berduapun mulai melemparkan buket bunga itu.
Lalu menjadi saling berhadapan bersama melihat ke siapa yang telah berhasil menangkap buket bunga itu. Ternyata yang berhasil menangkap buket bunga itu adalah Milara, Milara yang terdiam kaget melihat buket bunga yang sudah terlanjur ada di pegangan tangannya. Kemudian melihat ke Firlana yang secara kebetulan sedang berada disampingnya sejak tadi. “Firlana, mahukah kau menikah denganku?”, pinta langsung Milara padanya melihat tertegun.
Firlana menjadi terdiam kaget melihat padanya, berpaling sebentar melihat ke Dilara. Dilara menjadi mengangguk mempersilahkannya tuk menerima Milara. Dan Firlana kembali melihat ke Milara mengatakan, “Iya, aku mau. Sebab inilah jawaban dari kecurigaan saya, seketika kita sedang bersama dalam hubungan pekerjaan.”. semua tamu yang sempat menjadi hening dalam memperhatikan keduanya, tiba-tiba menjadi tertawa bertepuk tangan memberi selamat pada keduanya.
Begitupula Negara menjadi terharu melihat pemandangan dari keduanya, sedangkan Dilara mencubit pipi sebelah kanan dari dirinya sehingga membuat Negara menjadi melihat padanya. “Negara, hari ini bukan hanya hari bahagia untuk kita. Tetapi juga hari bahagia untuk mereka berdua.”, ungkap Dilara menatap haru. Negara pun menyambung, “Iya, kita telah berhasil menyatukan hati dari sahabat kita masing-masing. Sungguh aku semakin mencintaimu.”.
Usainya Dilara mendengar kata sambungnya, Dilara berjalan mendekati lalu mencium bibir dari Negara. Sedangkan Negara menjadi reflek menutupi bibir keduanya yang sudah tersentuh menggunakan tangan kanannya, baru membalas mencium bibir dari Dilara. Raya bersama Nil Ra, Firlana masih bersama Milara, menjadi bertepuk tangan sambil tertawa lucu gemas karna meiihat pemandangan dari kedua sang pengantin.

“Inilah jalan cerita cinta yang berujung kebahagian di akhir, setelah menunggu dalam penantian”
-Selesai-

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #38

Malam harinya, ada kabar baik yang di berikan oleh Firlana. Kini, tepat pukul delapan malam, ia baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Kedua orangtuanya serta Dilara yang sedang berada disampingnya, menjadi tersenyum menyambut kesadaran dari dirinya. “Abi, ami, Dilara. Aku sudah tertidur berapa lama?”, tanya Firlana dengan kondisinya yang masih lemah. Ayahnya menggeleng melihat dirinya haru berkata, “Sudah lupakan, yang penting sekarang kamu sudah bangun.”.
Sementara ibunya, beralih melihat ke Dilara mengucapkan terimakasih karna telah turut menjaga dirinya selama kurang lebih enam bulan lamanya. Dan suasana bahagia telah ada pada hati mereka masing-masing. Suasana bahagia nan haru mulai tercipta, saat Dokter mengatakan jika Firlana telah terbebas dari penyakit leukemia. Tangis haru dan rasa syukur pun mulai ditampakkan oleh mereka yang masih bersama. Dilara sudah mengetahui kalau Firlana adalah saudara sesusuannya.

Esok harinya. . . .

Pagi, sekitar pukul sembilan lewat sepuluh menit. Di dalam gedung kantor perusahaan milik keluarga dari Negara, terlihat Negara sedang berjalan tergesah-gesah di sertai wajahnya yang amat cuek. Ia sedang berusaha menuju ke ruang kerjanya, sebab telah ada suatu berkas pekerjaan yang harus segera tuk di revisi olehnya. Dan begitu ia telah sampai memasuki ke dalam ruang kerjanya, dirinya langsung duduk di kursi kerjanya tak menghiraukan apapun yang sudah tampak di dalam ruang kerjanya.
Kemudian ia mengeluarkan suatu perintah terhadap seorang yang merupakan asisten tetapnya, pikirnya selalu. “Serahkan padaku segera suatu berkas yang kemarin! sepertinya ada yang perlu saya revisi ulang.”, perintahnya sambil memeriksa beberapa berkas di meja kerjanya. Seorang yang merupakan asisten tetapnya itupun, bangun dari duduknya serta berjalan bergegas memberikan suatu berkas yang telah di maksud oleh dirinya.
Namun ketika Negara sudah menerimanya, dirinya telah menemukan sebuah kekeliruan. Seorang yang merupakan asisten tetapnya itu telah keliru dalam menyerahkan suatu berkas padanya. Negara menjadi hening sesaat, baru melihat ke wajah dari seorang asisten tetapnya itu, pikirnya sedari tadi. Namun yang terlihat malah berbalik, bukan wajah dari seorang asisten tetapnya tetapi wajah dari Dilara yang baru dilihatnya kini.
“Senang bisa mengenang kembali, saat saya masih menjadi seorang asisten sementara dari bapak.”, sapa Dilara ceria melihat Negara. Negara berdiam menatapinya bertanya. “Masih betah bersamaku? Apakah bapak pada waktu itu yang dulu, memintaku untuk menggantikan posisi dari seorang yang telah lama bekerja sebagai asisten tetapnya bapak?”, sambung Dilara bertanya.
“Dari dulu sampai sekarang, saya sama sekali tidak pernah terbesit, tentang apa yang baru saja telah kau tanyakan itu.”, ujar Negara membuat Dilara melihatnya hening.
Lalu terpancar dari kedua bola mata dari Dilara, yang menandakan adanya sebuah perasaan cinta, dan Negara telah dapat melihatnya di saat keduanya mulai saling bertatapan diam namun sebenarnya telah saling menunggu akan sebuah jawaban. Kemudian Negara akan berkata menyampaikan sebuah tanya beserta sebuah jawaban.
“Masih betah bersamaku? Seandainya kau menjawab “Iya”, pada waktu itu yang dulu. Maka, aku akan menjadikanmu sebagai asisten untuk sepanjang hidupku, istriku. Tapi sayangnya aku sudah cukup tahu, jika kau sama sekali tidak pernah menyukaiku…”, katanya dalam berusaha tuk menyampaikan. Lalu di sahut langsung dengan Dilara yang memberi pertanyaan padanya.
“Adakah sebuah arti dari jantungku yang berdegug, saat ketika bersamamu? Pak, maksudku, Negara, ya aku yang sekarang telah mencoba untuk berani menyambut rasa sukamu.”, Dilara menyahut mengutarakan yang telah terjadi padanya sendiri.
Negara sudah terlanjur mendengarnya, melihat tertegun mencoba memahami. Dilara yang mulai berpikir kalau Negara sedang meragukannya, memaksanya berkata menanyakan, “Tidak bisakah kita mencoba tuk bersatu sekarang?”. Negara menjadi tersenyum haru, mulai berjalan mendekatinya. Dan begitu Dilara melihat dirinya yang semakin mendekati, Dilara langsung melangkah kedepan hingga dapat memeluk dirinya. keduanya pun kini saling berpelukan, menikmati rasa yang baru saja tersambut.
Sebuah perasaan lega pun telah dapat mereka berdua rasakan. Dan kemudian Negara mencium mata kanan dari Dilara yang tertutup, masih dalam pelukannya menikmati rasa-rasa rindu yang semakin menjadi.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #37

Setelah beberapa hari terlewati, tepatnya di pagi hari setelah melakukan sarapan pagi. Dilara baru menyadari bahwa pada malam nanti, pesta pernikahan dari temannya bernama Raya akan segera dilaksanakan. Dilara yang sudah berada di dalam kamarnya, mencoba berpikir sejenak pakaian apakah yang akan ia kenakan. Dilara pun kini menjadi berjalan berbolak-balik, mencoba berpikir keras pakaian apakah yang akan ia kenakan pada malam nanti.
Beralih ke sana, Negara yang sedang duduk di kursi kerjanya, di dalam ruang kerjanya. Sedang mengamati sebuah undangan pernikahan yang harus di hadirinya pada malam nanti. Beralih kembali ke Dilara, Dilara sedang mengambil beberapa baju gaun miliknya dari lemari berniat akan mencobanya demi mengetahui cocok atau tidak ketika ia sudah memakai salah-satu dari beberapa baju gaun miliknya itu.

Dan malampun tiba. . . .

Malam telah menampakkan beragam keindahannya di pesta pernikahan Raya, seorang teman semasa SMA dari Dilara dan Firlana. Raya dan sang mempelai pria, mendapat sambutan, ucapan selamat dari para tamu yang turut menghadiri pesta pernikahannya. Dari sekian banyak tamu yang telah memberi selamat padanya, menghampirinya kepelaminannya. Ada seorang yang membuatnya merasa teramat girang nan haru, seorang itu baru tampak sedang berjalan menghampirinya kepelaminannya.
Seorang itu adalah Dilara, yang kini sedang berjalan sambil membawa kado mencoba menghampiri Raya di pelaminan. Dan begitu Dilara sudah berdiam, berhadapan dengan Raya di pelaminan. Raya langsung memeluknya menyalurkan rasa bahagianya. Dilara pun menjadi ikut merasa kebahagiaan darinya, mulai merasa tersentuh.
“Dilara di mana Firlana? Aku telah menunggu kedatangannya bersamamu.”, tanya serta bercurah Raya usainya melepas pelukannya. Menatap Dilara bertanya, mencari.
“Dia, sedang berhalangan hadir.”, Dilara langsung berkata menanggapi tidak mencritakan yang sebenarnya. Menatap canggung.
Raya meresponnya dengan langsung mempercayainya, menunjukkan senyum kebahagiaannya. Sedangkan Dilara beralih memberi selamat padanya, lalu mencoba melihat ke sang mempelai pria memberi selamat pula padanya. Namun amat disayangkan, Dilara kurang memperhatikan wajah dari sang mempelai pria tersebut. sebab Dilara terburu bergegas tuk meninggalkan pelaminan, meinggalkan kedua pengantin.  
Tak berapa lama Dilara pergi meninggalkan pelaminan. Sang mempelai pria yang sudah terduduk di kursi pelaminannya, tiba-tiba saja menjadi berdiri dari duduknya. Ketika baru saja melihat, mengetahui jika seorang tamu laki-laki telah berjalan mencoba tuk menghampirinya. Sang mempelai pria tersebut adalah Nil Ra, dan seorang tamu laki-laki itu adalah Negara. “Raya, lihatlah! Temanku sudah datang.”, katanya berbisik memberitahukan Raya.
Raya yang sedang duduk telah mendengar bisiknya, melihat padanya. Tiba-tiba saja menjadi ikut berdiri ketika sudah mengetahui siapa seorang teman yang telah dimaksud oleh Nil Ra. Mereka berduapun kini menjadi melihat bersama ke Negara, menantinya di pelaminan. Dan begitu Negara telah berdiam dihadapan keduanya, di pelaminan. Negara melihat bingung kepada kedua sang mempelai, sebab kedua sang mempelai berdiam menatap pada dirinya sedikit tersenyum canggung.
“Selamat malam, pak. Maaf jika kami hanya berdiam sedikit tersenyum canggung, dalam menatap bapak.”, Nil Ra memberanikan tuk berkata menyampaikan kata maaf. “Selamat ya, sudah sah menjadi suami istri.”, Negara baru memberi selamat melihat keduanya. Raya sang mempelai wanita menjadi tersenyum lepas melihat keduanya. Sedangkan Negara baru saja terpandang pada Raya, lalu tertolehkan kepalanya ke belakang, tak sengaja melihat Dilara sedang seorang diri.
Negara pun spontan menjadi melangkah pergi meninggalkan kedua sang mempelai, sebab tujuannya kini terarah pada Dilara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Kini Dilara sedang berjalan melihat pemandangan, hiburan yang ada. Ia merasa sepi, sebab baru terpikirkan kalau Firlana sedang tidak bersamanya, tidak pula menjadi seorang partner di pesta pernikahan dari Raya. Kemudian ada seorang yang menghentikan jalannya dengan seorang itu memilih berdiam di depannya. Dilara pun menjadi tersadar melihat ke seorang itu, “Pak Negara, kenapa bisa sampai ke pesta pernikahan dari teman semasa SMA ku?”, tanyanya begitu sedikit terkejut.
Negara berdiam melihatnya lalu mengajaknya untuk melihat sang mempelai pria di pelaminan, dengan memalinngkan wajahnya sendiri melihat ke sang mempelai pria. Dilara menjadi reflek mengikutinya, lalu bergumam
“Astaga, baru aku sadari kalau dia adalah Nil Ra?”, seketika baru mengetahuinya. Negara memalingkan wajahnya sendiri kembali melihat Dilara. “Apakah Nil Ra turut mengundang dirimu juga?”, tanya Negara ingin mengetahui kehadiran Dilara di pesta pernikahan dari Nilra. Dilara menjadi tersenyum melihat padanya balik, kembali.
“Sang mempelai wanita, adalah teman semasa SMA ku. Kalau benar begitu, berarti kita telah turut menghadiri pesta pernikahan dari teman kita masing-masing.”, bahasanya lembut menjawab tanya dari Negara. Usai menjawab, Dilara memperhatikan Negara yang memakai baju kemeja berwarna merah muda. Sedangkan dirinya memakai baju gaun berwarna hitam.
“Ada apa dengan penampilanku? Tampak begitu soft ya?”, tanya Negara setelah melihat Dilara memperhatikan penampilannya. Dilara mulai menatapnya tertegun. “Ayo, kita berdansa seperti para tamu lainnya.”, ajak Negara menyambung menatap mulai menggoda. Dilara menjadi menatap keluh baru berkata,“Tidak terimakasih.”. Dan keduanya akan saling berbicara, seperti sedang melepas rindu setelah tidak cukup lama tidak bertemu bertatap muka.
“Dilara, setelah momen perpisahan itu terjadi, tidakkah kau ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Negara mengingatkan momen perpisahan pada waktu itu.
“Jadi maksud bapak, ingin menghabiskan malam ini bersamaku?”, tanya Dilara sebab merasa bingung.
Negara mengangkat kedua tangannya, kedua telapak tangannya menyentuh wajah dari Dilara memakai sentuhan lembut. “Sungguh, saat ini aku telah memakai seluruh perasaanku.”, katanya menatap tajam mengutarakan perasaannya melalui kontak mata. Dilara pun telah dapat membacanya, berdiam diri, membisu sambil merasakan degug jantungnya bergejolak lagi. “Sudahkah ada cinta untukku?”, sambung Negara bertanya soal cinta padanya.
Dilara menjadi beralih melihat ke bawah, teringat dengan bayang-bayang tentang perjodohannya serta kejadian pada malam itu. Pada malam itu dimana sahabatnya, Firlana sedang berada dirumah sakit, sementara Dilara sedang menunggu kedatangannya dengan duduk bersama Negara di bawah langit penuh bintang. Hingga pada akhirnya Dilara membaca sebuah pesan dari Firlana yang membatalkan janjinya, tuk menemuinya di sebuah taman pada malam itu.
Setelah hening berjalan karna Dilara terbayang-bayang hal demikian, Dilara baru berkata lagi. “Pak, sepertinya saya harus pulang sekarang.”, pamitnya ingin meninggalkan Negara. Negara yang sudah mendengarnya, melepaskan kedua telapak tangannya dari menyentuh wajah Dilara. Berpaling melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Dan ketika Negara akan kembali berpaling melihat ke Dilara, Dilara sudag lebih dulu pergi dengan meninggalkan sentuhan pada tangannya.
Negara sudah mengutarakan seluruh perasaannya, bahkan tadi sudah menanyakan soal cinta pada Dilara. Dan Negara hanya meratapi Dilara yang masih berusaha pergi menghindar darinya. Sementara Dilara yang sudah berada di luar area tempatpesta pernikahan Raya berlangsung, menjadi menangis kecil. Sebab merasa dilema dengan apa yang sudah diutarakan oleh Negara padanya tadi, dengan bayang-bayang itu yang telah teringat olehnya kembali. Dan mulai memikirkan keduanya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Malam telah berganti pagi. Pada pukul delapan pagi lewat beberapa menit. Dilara telah berada di rumah sakit tempat Firlana masih di rawat. Bahkan ia kini di sana baru saja memasuki ruang ICCU, lalu duduk berdiam meratapi sahabatnya yang masih betah tidur dalam lelapnya. Saat ketika sudah berdiri meratapinya, Dilara tiba-tiba saja terpandang pada sebuah kertas yang terletak pada meja, tepat di samping tempat tidur dari sahabatnya itu berbaring.
Dilara pun mengambil sebuah kertas yang kian membuatnya menjadi semakin penasaran saja. Dan ternyata setelah di amati, sebuah kertas tersebut merupakan sebuah undangan dari Raya untuk sahabatnya itu. “Raya? Pantas saja ia menanyakan tentang kedatangan dari Firlana semalam tadi.”, gumamnya berbisik megamati sebuah undangan dari Raya tersebut. Tanpa di ketahuinya, yang telah membawa undangan tersebut adalah ayah dari Firlana, tepatnya pada semalam tadi.
Dan tanpa di saksikan olehnya, ayah dari Firlana telah membacakan isi dalam undangan tersebut. Bersamaan dengan pesta pernikahan dari Raya di sana, sedang berlangsung pada semalam tadi. Ada sebuah hikmah yang telah didapatkan oleh ayah dari Firlana. Setelah membaca isi dalam undangan tersebut, Firlana telah menunjukkan sebuah respon dengan menunjukkan senyum amat kecil di bibirnya. Dan ayah dari Firlana yang sudah melihat secara bersamaan, menjadi tersenyum semangat.

Enam bulan kemudian. . . .

Sudah genap enam bulan Firlana telah di rawat, di rumah sakit yang sama serta keadaannya yang masih sama. Hampir tidak ada perubahan yang ia tunjukan, dan monitor yang mengontrol kondisi dirinya kadang menurun, namun selalu dapat stabil dengan sendirinya. Kini ia sedang di temani oleh ibu kandungnya, yang baru saja berhasil di temui oleh ayahnya setelah sekian bulan mencari keberadaan dari ibu kandungnya.
“Firlana, ini ami. Maafkan ami yang telah membuatmu menunggu lama, serta membuat abi menagalami kesulitan dalam mencari keberadaan ami.”, curahnya berbisik haru meratapi wajah putra semata wayangnya. Ayahnya yang sedari tadi ada bersamanya, berada disamping ibu kandungnya akan berkata sesuatu. “Tidak usah kau sesali itu. mungkin sudah begitu jalannya. Jangan bersikap mensesali.”, ayahnya menghibur ibu kandungnya.
Lalu secara tiba-tiba, terdengar suara monitor yang menandakan bahwa jantung dari Firlana mulai melemah. Ayahnya pun langsung bergegas memanggil suster terdekat, dan ibu kandungnya bergegas menyusul ayahnya ikut memanggil seorang suster terdekat. Kedua orangtuanya merasa panik, hingga mata dari keduanya mulai berkaca-kaca ketika sudah melihat beberapa suster bergegas akan menangani putra semata wayang mereka berdua.
Sementara di luar ruangan, tampak Dilara sedang berjalan akan segera menuju ke ruangan dari Firlana. Namun ketika sudah sampai baru melewati jendela ruangan dari Firlana, langkahnya menjadi terhenti karna terpandang pada jendela ruangan tersebut yang telah tertutup tabir. Dilara pun mendekati jendela yang telah tertutup tabir itu sambil merabanya, merasakan cemas ketakutan sehingga mengetuk kecil jendela itu.
Didengarnya jika suara monitor seperti sedang berisik, suara gerak-gerik para suster dan dokter pun mulai didengarnya. Dirinya menjadi terdiam hening sesaat, menikmati suara yang sedang beraktifitas di balik jendela yang tertutup tabir itu. lalu kemudian menjadi melangkah mundur tiga langkah, berhenti di tempat sambil menutup kedua telinganya. Tangisannya pun menjadi pecah, terisak meraung seorang diri.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Kemudian Dilara memberanikan diri tuk membuka kedua telinganya kembali, terlihat kini kedua tangannya menggantung lemas ke bawah. Terdengar suara monitor dari dalam ruangan tersebut sudah mereda, rasa lega pun mulai di rasakannya. Lalu ia mendengar suara yang telah memanggil dirinya, tepat di arah samping kanan dirinya. Dan ketika ia mencoba melihat ke siapa yang telah memanggilnya tadi, mendadak dirinya menjadi kaget.
Sebab siapa yang telah memanggilnya tadi adalah Milara. “Katakan padaku? Siapa yang sudah kau tangiskan?”, tanya Milara begitu menanyakan menatap Dilara. Dilara menjadi menangis kecil melihat kebawah. “Kenapa ibu Milara bisa sampai ke sini?”, Dilara berbalik tanya. Milara pun menjawab, “Saya sedang menemani sahabat saya menebus obat untuk ibunya, tepat di apotik rumah sakit ini.”. Dilara sudah mendengar jawaban darinya, berdiam hening.
Sedangkan Milara terpandang pada ayah dari Firlana yang baru saja keluar dari pintu ruangan ICCU. Ayah dari Firlana pun menjadi terpandang pula padanya, lalu berkata meminta Milara untuk ikut dengan dirinya. Milara langsung meresponnnya dengan berjalan menghampiri, dan mereka berdua pergi bersama ke suatu tempat untuk bicara. Meninggalkan Dilara bersama seorang lagi. “Apa kabar? Aku dengan seluruh perasaanku yang masih sama. Telah tak terlihat oleh pandanganmu.”, sapa seseorang.
Seseorang yang sedari tadi telah tertutupi oleh tubuh Milara, sebab berdiam dibaliknya. Dilara yang hening meratapi Milara sedang berjalan pergi bersama ayah dari Firlana, baru menolehkan kepalanya ke arah seseorang tadi yang telah bersapa dengannya. “Bapak?”, sapanya lemas bertanya mulai menatapi. Seseorang tersebut adalah Negara, yang telah mengajak Milara untuk pergi bersama demi membelikan obat untuk ibunya sendiri tepat di apotek rumah sakit ini.
“Siapakah yang sedang sakit? Sehingga membuatmu menjadi begitu tersedih seperti itu?”, Tanya Negara segera ingin mengetahui. Mencoba menatap bijak. Dilara menatapnya sedih, lalu berkata, “Firlana. Dan mungkin kini, ayahnya sedang mencoba untuk bicara dengan ibu Milara. Agar ibu Milara tidak menjadi salah paham.”. Mendengar tuturnya, Negara mengangkat tangan kanannya menyentuh kepala dari Dilara, karna baru mengetahui sebab Dilara begitu tersedih.
“Sabar ya.”, Negara baru berkata lagi menatap begitu haru. Lalu di sambung tangan kirinya memegang kepala dari Dilara, dan menarik kepala dari Dilara hingga tersandar di dada dari dirinya sendiri. Dilara yang sudah merasa kepalanya telah tersandar di dada dari Negara, merasa tenang hatinya serta merasa begitu tegar dengan seketika. “Terimakasih bapak, telah mencoba memberi sandaran padaku di saat aku yang sedang berduka kini.”, Dilara berucap terimakasih bernada sedikit pilu.
Usainya berucap, Dilara mengangkat kepalanya dari sandaran di dada Negara, beralih melihat Negara yang juga melihat padanya. Lalu tertolehkan terpandang Milara yang sudah datang kembali bersama ayah dari Firlana. Ayah dari Firlana berhenti di samping pintu ruang ICCU, sedangkan Milara menghampiri Negara. Dan ketika sudah berhenti di antara keduanya, Milara menetap melihat ke Dilara akan berbicara.
“Ayahnya sudah menceitakan semuanya. Terimakasih, karna selama ini kamu sudah turut menjaganya. Kamu, benar-benar sosok seorang sahabat yang baik untuknya.”, Milara mengutarakan serta berucap terimakasih padanya. Dilara menjadi sedikit kaget padanya, beralih melihat ke ayah dari Firlana. Lalu didengarnya kalau Milara berkata pamit padanya, membuat Dilara kembali melihat ke pada dirinya. Dengan hanya memberi senyum, Dilara mempersilahkannya.
Dan Milara yang sudah melihat, mulai bergegas melangkah kecil. Begitupun Negara mengikuti Milara bergegas, setelah melihat diam ke Dilara. Sementara ayah dari Firlana yang sudah melihat perpisahan dari mereka bertiga, mulai merasa tersentuh terinngat wajah dari putra semata wayangnya yang kala itu masih sehat.         

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #36

Dua hari kemudian. . . .

Di malam hari, Negara sedang melakukan panggilan video call dengan Dilara, di rumah kediamannya masing-masing. Dilara sedang berada di balkon depan rumahnya. Sementara Negara sedang berada di ruang kerjanya, tepatnya sedang duduk sendiri di hadapan laptop kerjanya. Dalam keadaan yang demikian, mereka berduapun mulai berbincang, membicarakan tentang hari esok.
“Apakah saya telah mengganggu malammu?”, tanya Negara melihat biasa.
“Bapak, sudah ketiga kalinya bapak bertanya yang sama secara berturut. Mulailah bapak mengajakku berbicara denganku memakai topik yang lain.”, Dilara mengingatkan melihat biasa namun menunggu.
“Masih betah bersamaku?”, tanya Negara memancing pengakuan darinya. Dilara menjadi tertawa kecil sebab sedikit merasa geli dengan tanya dari dirinya.
“Sebagai seorang asisten sementara dari bapak. Ya, mesti betah-betahin lah dengan beragam tugas yang telah bapak percayakan kepada saya.”, jawab Dilara begitu merasa biasa terhadap dirinya.
“Ternyata kau kurang memahani maksud diriku. Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang yang dahulu.”, Negara mulai memberitahukan sesuatu menatap keluh. Sedikit berkeluh.
“Jadi bapak bermaksud, telah menjamin sebuah rasa bahagia untukku? Pada hari esok?”, Dilara bertanya mencoba mengerti namun telah ada sebuah kekeliruan.
Negara pun memberi senyum lepas menunjukkan pesona, seolah menunjukkan bahasa tubuh yang tak ingin melanjutkan perbincangannya lagi dengannya. Dilara yang merasa sudah mengerti dengan bahasa tubuh dirinya, memberi senyum balik sebab tidak tahu harus meyambung perbincangannya dengan berbicara tentang apa. Namun kemudian setelah hening sempat terjadi, Negara mulai berbicara lagi, “Bicaralah”, memberi kesempatan Dilara tuk berbicara.
 “Apa bapak sudah merasa cukup berbicara dengan saya malam ini?”, Dilara menyahut tanya menatap menunggu kepastian dari dirinya. Negara memberi senyum lepas menunjukkan pesonanya lagi, “Sampai jumpa pada hari esok. Selamat malam.”, katanya mencoba mengakhiri. Dilara menjadi tertawa kecil lalu menyahut, “Terimakasih, selamat malam juga bapak.”. usainya mendengar sahutan terakhir darinya, Negara pun memutuskan video callnya.
Bahasa tubuh yang sempat Negara tunjukkan tadi, didasari oleh rasa keluhnya yang telah kurang dimengerti maksud dari dirinya, oleh Dilara. Dan ketika Dilara sempat mencoba mengerti, telah ada sebuah kekeliruan. Sebab apa yang tadi sudah Dilara tanyakan maksud dari dirinya serta mengujarkan, bukan sebuah jawaban yang sedang ditunggu oleh Negara. Karna Negara membutuhkan sebuah pengakuan dari apa yang sempat ditanyakan tadi pada Dilara.
Dari jawaban Dilara itulah, yang telah menghancurkan keinginan Negara tuk menyambung perbincangan mereka berdua lagi. 

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Hari esoknya, di dalam gedung kantor perusahaan milik keluarga Negara. Tampak Dilara sedang berjalan dengan terburu-buru karna sudah mengetahui bahwa dirinya telah terlambat sampai ke kantor. Namun ketika benar sudah sampai ke ruang kerja dari Negara, tiba-tiba saja tangannya di pegang oleh seorang bersamaan dengan dirinya yang akan memegang gagang pintu ruang kerja dari Negara. Seorang yang telah memegang tangannya itu ialah Negara.
Dilara sudah mengetahui melihat padanya berdiam, sedangkan Negara membuka pintu ruang kerjanya sembari menunjukkan seorang wanita di dalam ruang kerjanya. Dilara pun melihat ke seorang itu, lalu melihat lagi ke Negara masih berdiam. Negara menutup pintu ruangannya kembali, dan mereka berdua bertahan berdiri di luar tepat di depan pintu luar ruangan dari Negara. “Kenapa bisa terlambat?”, Negara mulai berkata bertanya melihat pada dirinya.
“Maaf, pak. Saya telat bangun pagi, dan sebab itu saya terjebak macet selama beberapa menit.”, Dilara mengatakan kendalanya mengapa dirinya bisa terlambat pergi ke kantor. “Masih betah bersamaku?”, Negara mengulang tanyanya pada tadi malam. Dilara menjadi menatap tanya, sebab dua kali sudah Negara menanyakan yang demikian. Sedangkan Negara terpandang ke sekitarnya, dimana para karyawannya sudah berdatangan melakukan tugas pekerjaannya masing-masing.
Setelah terpandang ke pada para karyawannya itu, Negara mengajak Dilara untuk pergi ke café yang terletak di luar gedung. Dilara pun mengiyakan ajakan darinya, dan mereka berduapun mulai beranjak beralih dari tempatnya menuju café sebagai tujuan dari keduanya.

Beberapa saat kemudian. . . .

  Kini keduanya telah duduk berhadapan di café yang tadi sebagai tujuan dari mereka berdua, keduanya sedang berpandangan diam dan akan memulai perbincangannya. “Pak, saya mulai merasa penasaran dengan seorang wanita yang telah duduk di kursi kerja, tempat saya.”, ungkap Dilara memulai berwajah tanya. Negara menarik nafasnya berwajahkan sedikit dingin menyahut, “Bukan dia yang telah duduk di kursi kerjamu. Tapi kamu yang telah sementara duduk di kursi kerjanya dia.”, penjelasannya.
“Apakah dia sudah kembali, seorang asisten tetapnya kamu?”, Dilara bertanya wajahnya mulai menggebu-gebu. Negara pun mengulang katanya yang kemarin, “Oyah, hari esok, kau akan menjadi bahagia sendiri. Sebab, beragam tugas yang sudah kau katakan tadi padaku, akan segera teralihkan pada orang yang dahulu.”. Spontan Dilara menjadi tertawa kecil berwajahkan bahagia, mengangguk karna baru mengerti terhadap perkataan yang telah di ulangi olehnya itu.
Kemudian Dilara menjadi berhenti dari tawanya, wajahnya yang bahagia seketika berubah menjadi menanyakan. Sebab Negara menanyakan lagi sebuah tanya yang sama, “Masih betah bersamaku?”. “Ini sudah ketiga kalinya kamu menanyakan sebuah tanya yang sama padaku. Haruskah aku menjawab yang sama seperti yang sudah….?”, keluh Dilara sedikit mencoba menegaskan. Namun telah di sahut oleh Negara, menyanggah.
“Bukan jawaban itu yang aku mau, aku hanya butuh pengakuan dirimu dari pertanyaanku yang sama. Itu saja, Dilara!”, menegaskan menatap sedikit dingin. Dilara menunjukkan wajah lemas berkata, “Dingin, pak.”, sebab merasa bahwa peperangan dingin akan terjadi. Lalu melihat ke bawah mengalah. “Memang benar seorang yang sedang berada di dalam ruang kerjaku, seorang asisten tetap dari ku yang telah kembali bekerja.”, Negara berbicara lagi berubah menunjukkan bahasa lembut.
Dilara menetap melihat ke bawah, memberi senyum serta memberi selamat padanya. “Sekarang kamu bebas. Pergi kemana saja yang kamu suka. Lagipula kau tidak harus menemaniku lagi bukan?”, Negara mengatakan tentang kebesan untuk dirinya berusaha tegar. Dilara menjadi melihat padanya lagi, merasa tersentuh. “Kebersamaan kita telah berakhir sampai di sini pak.”, sambung Dilara merasa tegar. Dan Negara memegang tangan kanan dari Dilara yang terletak di meja, menggenggamnya.
Dlara yang merasakan serta begitu mengetahui, jantungnya mulai berdegug merasakan sebuah gejolak. Sedangkan Negara merasa sedikit mulas pada perutnya sendiri, mencoba tidak merasakan rasa mulas pada perutnya. “Terimakasih untuk bantuanmu, sibukmu, waktumu, lelahmu, kebosananmu dan yang lainnya. Maaf, bila ada yang sudah mengganggumu serta membuatmu pernah merasa tidak berkenan.”, kata perpisahannya kepada Dilara.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Lalu Negara melepaskan genggamannya sebab ada yang tiba-tiba saja menghubunginya. Negara pun mengangkat teleponnya, menganggurkan Dilara sesaat. Dilara yang melihat Negara sedang berbicara dengan seorang melalui telepon. Menjadi tersenyum sambil mengatakan, “Dimulai hari ini, saya tidak akan lagi di buat menunggu kedatangan bapak dari pertemuan lagi, pertemuan lagi.”, sedikit mengejek.
Negara yang telah mendengar kata darinya, memberi senyum masih berbicara dengan seorang tersebut melalui teleponnya. Suasana kini berubah menjadi santai, begitupun Negara yang sudah memutuskan teleponnya. “Sampai dimana tadi?”, tegur Negara melihat Dilara yang sedang meminum minumannya. “Sampai benar bapak menyuruh saya untuk pulang.”, sahut Dilara mengajak canda. Karna Dilara sudah merasa begitu tegar.
Negara menjadi tersenyum melihatnya senang. “kalau begitu, ya silahkan. Tapi ingat, jangan lupa untuk main-main lagi ke sini. Sudah paham?”, Negara mempersilahkannya menunjukkan perasaan senangnya. Dilara pun berdiri dari duduknya mencoba menatapnya, berdiam. Negara dengan cueknya masih duduk melihat padanya. “Rasanya baru kali ini, saya melihat lagi karakter khasnya kamu. Cu-ek!!!!”, Dilara mengungkap apa yang telah ada pada pikirannya.
Negara menjadi berdiri pula, lalu berkata menyahutnya. “Jangan salah paham dulu, karna bila sekali dia memberi perhatian. Maka akan terasa begitu mengesankan.”, Negara mencoba menyanggah dengan sedikit menggoda. Dilara menjadi tersenyum manja menatap kagum. Dan Negara memberi tangannya, mengajak tuk segera berpamitan. Dilara yang baru melihatnya, menggapai tangan dari Negara menikmati sebuah perpisahan.
“Aku akan merindukanmu. Bukankah sekarang kita sudah menjadi teman?”, ungkap Negara bersambung tanya menatap seperti menyanjung Dilara. Dilara ,mulai menatap sedikit malu, mengangguk. Lalu menarik tangannya sendiri, baru memulai beranjak meninggalkan Negara. Negara yang sudah melihat tingkahnya, dapat memaklumi sebab telah di ketahui kalau Dilara sedang mengalami salah tingkah.

Selang waktu berjalan. . . .

Kini Dilara sedang berada di rumah kediamannnya kembali. Dilara sedang berdiri di depan jendela, di dalam kamarnya yang terbuka. Ia sedang menghirup udara mencoba meresapinya secara perlahan, mengingat momen perpisahannya tadi dengan Negara. Lalu ia berbalk, membelakangi jendela kamarnya yang terbuka, tiba-tiba saja menunjukkan wajah girang melihat langit-langit kamarnya. Dan Dilara akan mengungkap sesuatu yang baru saja telah dapat dirangkum oleh hatinya.
“Jantung yang telah berdegug, bergejolak ketika sedang bersamanya. Baru tersadari olehku, bahwa itu adalah sebuah tanda jika aku telah jatuh hati padanya.”, ungkapnya bernada girang dapat menerima yang sudah terjadi pada dirinya. Lalu melangkah masih melihat ke langit-langt kamarnya menyambung, “Tuhan, aku tidak pernah merasakan sebuah rasa yang amat indah ini. Sungguh sebuah anugerah yang telah lama aku tunggu.”, berhenti langkahnya berdiam menatapi langit-langit kamarnya.
Sementara Negara di sana, ia sedang berdiri mengahadap jendela yang terbuka di dalam ruang kerjanya. Negara pun berbisik, “Rasa lega muncul, ketika dirinya telah tiada di hadapanku. Sebab rasa mulas pada perutku tidak aku rasakan lagi. Namun, aku sudah pastikan kalau diriku telah menantinya tuk kembali di sini, bersamaku, milikku.”. Mereka berdua telah saling membicarakan, tapi akankah ada sebuah momen penyatuan antara apa yang telah mereka berdua rasakan? Simak saja lagi ceritanya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #35

Hari telah berganti sore, Dilara yang baru saja dapat menyelesaikan tugasnya sepuluh menit lebih cepat dari jam pulang kerjanya. Terpikirkan akan meminta izin pulang pada Negara, berniat akan berkunjung ke rumah kediaman dari Firlana. Sebab ia sudah tidak sabar tuk segera mengetahui keadaan yang sebenarnya dari Firlana yagg baginya sangat misterius. “Tuhan, perkenankalah aku sekarang.”, gumam pintanya dihati.
Lalu berdiri berniat akan menghadap Negara yang sibuk dengan pengerjaan tugasnya. Dan Negara pun kini telah terpandang pada dirinya yang baru saja berhenti di depan meja kerjanya sembari menghadapnya. “Pak, saya ingin meminta izin untuk pulang lebih awal? Tepatnya sekarang!”, pintanya berbahasa lembut tegas. Melihat sedikit yakin. Negara beralih sejenak melihat ke jam dinding usai mendengar pinta permisi dari dirinya.
“Tidak bisakah kau menunggu jam pulang telah tiba? Tangung loooh.”, Negara memberi pengarahan di akhiri sedikit mengajak canda dengan melihat lagi kepada dirinya.
“Maaf pak, saya, sudah terlanjur mengirim pesan kepada teman saya. Bahwa saya akan pergi menemuinya di waktu sekarang.”, Dilara mengatakan alasannya dengan kebohongan. Menetap melihat sedikit yakin.
Negara mulai merasa bingung, mendiamkannya sejenak lalu kemudian mempersilahkan dirinya untuk pulang. Dilara yang masih bertahan berdiri menghadapnya, mulai menunjukkan senyuman setelah di dengarnya kalau Negara telah memberi izin pada dirinya untuk pulang sekarang. Dilara pun beranjak beralih mengambil tas miliknya, lalu benar beranjak akan keluar dari ruangannya dan akan memantapkan tujuannya tuk berkunjung ke rumah kediaman dari Firlana.
Dan selang beberapa waktu berjalan, Dilara telah memasuki jalan mendekati dimana rumah kediaman dari sahabatnya itu berada. Namun ketika dirinya makin mendekat, terlihat sebuah mobil baru saja keluar dari rumah kediaman sahabatnya itu. Dilara yang sedang mengendarai mobilnya sendiri, memilih untuk membututi mobil yang sudah di lihatnya saja. Tak berapa lama dirinya membututi mobil yang sudah di lihatnya itu.
Ia pun baru tersadar jika mobil tersebut telah membawanya ke sebuah rumah sakit. Kini seorang telah keluar dari mobil tersebut, dan Dilara yang sudah mengetahui akan segera berjalan perlahan membututinya lagi. seorang yang telah keluar dari mobil tersebut merupakan ayah dari Firlana.

Beberapa saat kemudian. . . .

Dan kini Dilara telah dapat mengetahui, tujuan dari ayah sahabatnya itu berkunjung ke rumah sakit ini. Sebab telah di saksikannya, jika ayah dari sahabatnya itu sedang memberi obat kepada seorang suster di dalam ruang pasien. Melalui sebuah jendela, Dilara juga dapat melihat Firlana yang sedang tertidur. “Sekarang baru aku mengerti. Berbagai macam firasat yang pernah aku rasakan, yang berkaitan denganmu. Inilah jawaban sekaligus kenyatannnya.”, bisiknya kecil meratap sedih.
Lalu dilihatnya ayah dari sahabatnya itu keluar dari ruangan dengan berjalan membelakangi, tidak sempat melihat kepada dirinya yang sedang melihat padanya. “Tunggu aku, semoga Tuhan perkenan aku untuk bisa berbicara denganmu. Sesua dengan jam masuk di ruangan, I-C-C-U ini.”, bisiknya lagi ketika terpandang ke jam besuk pada pintu ruang ICCU. Setelahnya berbisik untuk yang kedua, Dilara pun beralih pergi berharap jika pada esok hari ia akan bisa berbicara dengannya.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Esok harinya, jam kerja baru saja di mulai sekitar satu jam yang lalu. Ditengah seriusnya Dilara sedang mencari bahan pengerjaan dari tugasnya di internet. Tiba-tiba saja mendengar sebuah sapa dari Negara yang sedang duduk di kursi kerjanya sendiri. Dilara pun mengalihkan kesibukannya dengan beralih melihat ke Negara. Berdiam menunggu apa yang akan di sampaikan olehnya.
“Hari ini ada sebuah pertemuan dadakan. Jelas saja, saya merasa kaget namun tidak mungkin saya menolaknya.”, terbuka Negara melihat biasa.
“Lakukan saja, pak! Tapi, bolehkah aku meminta ijin untuk berjalan-jalan keluar? Sebab, aku ingin menjenguk temanku yang kemarin, jelasnya dia sedang sakit.”, Dilara mempersilahkan. Meminta ijin dengan menyampaikan alasannya secara jujur.
“Sebentar, seingatku kemarin kamu tidak sampai menyampaikan itu?!”, Negara menanyakan sembari mengingatkannya. Berbahasa menunjukkan curiga.
Dilara menjadi berdiam sejenak melihat diam padanya. “Tapi pak, kali ini aku benar jujur loooh.”, Dilara mencoba meyakinkannya. Lalu mengingat kebohongan dirinya terhadapnya kemarin. Negara pun berdiri dari duduknya, berkata “Baiklah. Tapi kau harus kembali sebelum jam makan siang tiba! Sebab saya tidak ingin kau belum kembali, sementara saya sudah kembali.”. Katanya mengijinkan namun telah bersifat bersyarat.
Dilara menjadi tersenyum lepas, melihat padanya dengan mata yang mulai berbinar-binar. Sedang Negara melihatnya dengan senyuman kecil namun telah menahan rasa terpananya terhadap Dilara. Kemudian beralih dengan beranjak pergi menuju ke luar ruangan. Dan ketika Dilara sudah melihat ketiadaaan Negara dari ruangannya. Dilara berbisik meratapi pintu ruangan yang sudah tertutup.
“Hari ini aku telah merasa senang, karna dirinya.”, curahnya tersadar kalau Negara pengertian padanya. Usainya berbisik bercurah, Dilara pun mulai bergegas pergi keluar ruangan akan segera pergi ke rumah sakit tempat Firlana telah dirawat. Keadaan ruangan tersebut pun akan menjadi sepi tak bertuan selama beberapa jam saja.

Selang waktu berjalan. . . .

Dilara telah sampai ke sebuah rumah sakit tempat Firlana telah dirawat. Ia kini sedang duduk menanti Firlana membuka mata, akan berbicara dengannya, pikirnya penuh harap. Namun ketika sudah tigapuluh menit ia menunggu, Firlana tak kunjung membuka matanya. Dan Dilara mencoba melihat ke arah lain, dan terlihatlah seorang suster baru saja berdiam dihadapan tempat tidur dari Firlana.
“Beristirahatlah dulu, saya khawatir anda akan menjadi sakit karna menunggunya.”, suster itu memintanya tuk beristirahat menatap curiga.
“Kalau boleh saya tahu, apakah dokter sudah memberinya obat tidur? Tepatnya sebelum saya berada di sini?”, tanyak Dilara karna ketidaktahuannya.
“Maaf sebelumnya, pasien bernama Firlana tidak akan membuka matanya. Dan kami tidak tahu kapan ia akan membuka matanya, semua tergantung pada dirinya.”, suster itu memberitahukannya sembari menjelaskan.
Dilara menjadi terdiam hening melihat padanya. “Ko-ma?”, tanya Dilara ingin memastikannya melihat kaget bercampur haru. Suster itu mengangguk bertatap pasrah. Sedangakn Dilara mencoba berdiri, berniat akan menangis di luar ruangan saja. Sebab ia tidak ingin suara isak tangisnya dapat terdengar oleh sahabatnya itu. Dan Dilara pun mulai beranjak keluar, meninggalkan suster yang masih berdiri. Ketika sudah berada di depan pintu luar ruangan, Dilara memecahkan tangisnya.
Dalam isak tangisnya Dilara berucap pada hatinya. “Tuhan, terimakasih karna Engkau telah memperkenanku di hari kemarin. Terimakasih pula untuk hari ini. Dan sekarang aku sangat memohon, bangunkanlah sahabatku dari tidurnya. Sungguh ku mahu menjadi seorang yang bisa membuatnya untuk bangun segera.”, ucapnya berdo’a begitu tersedih.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

                Dan kemudian tidak sengaja melihat ayah dari Firlana sedang berjalan akan memasuki ruang ICCU, Dilara langsung mencegahnya dengan menghadang pintu ruang ICCU. Ayah dari Firlana pun menjadi berhenti kaget melihat padanya, baru mengetahui kalau wajahnya merupakan seorang teman dari putranya. Dilara mulai berbicara, “Saya tidak ingin banyak berbicara. Cukup om beritahu saya saja, sejak kapan Firlana menderita sakit di dalam ruang ICCU ini, om?”, tanyanya pilu.
Ayah dari Firlana langsung menjawabnya tanpa berbasa-basi lebih dullu. “Sejak pada malam itu? suatu ketika ia sudah berjalan dengan motornya menuju ke sebuah taman, demi menemui dirimu yang sedang menunggu.”, kata pemberitahuannya mengingatkan malam itu pada Dilara. Dilara langsung mennyambung, “Kecelakaan apa yang telah di alami dirinya, om? Bisanya om merahasikan keadaan dirinya dariku?”, tanyanya semakin pilu.
“Firlana telah menderita penyakit leukemia stadium tiga. Penyakitnya kambuh, saat dalam perjalanan sedang menuju ke taman pada malam itu. Dan terpaksa dirinya mengalihkan jalan menuju ke rumah sakit ini.”, ayah dari Firlana baru memberitahu penyakit yang sedang diderita oleh putranya. Beserta kronologi sebelum keadaan putranya kini sedang terjadi. Dilara menjadi terisak lagi, mengngingat apa yang sedang terjadi pada malam itu.
Dan Dilara berlanjut membenci apa yang sedang terjadi pada malam itu, termasuk sedikit mensesali keberadaan Negara yang saat itu sedang bersamanya. “Om begitu jahat! Om gak sama seperti anak, om! Dilara kecewa! Kenapa harus sekarang Dilara mengetahui semuanya, om?”, bentaknya kecil begitu tidak terima dengan kenyataan yang baru saja didengarnya darinya. Ayah dari Firlana pun mulai menatap padanya pasrah, sedangkan Dilara beralih pergi masih dengan isak tangisnya.
Ayah dari Firlana melihat Dilara yang seperti itu, turut merasa bersalah lalu melihat ke jam besuk yang baru saja berakhir. Sementara Firlana yang masih tertidur, tampak menggerakkan kedua bola matanya seolah ingin terbangun namun apa daya dirinya belum merasa sanggup untuk menjadi terbangun dari tidurnya. Dan di alam mimpinya, ia sedang berada di sebuah tanah lapang yang amat luas sedang menjerit-menjerit memanggil sosok dari ibu kandungnya.
Sosok dari ibu kandungnya yang telah dipanggilnya dengan sebutan “Ami”. Keadaan Firlana di alam mimpinya seperti mencari-mencari dimana sosok dari ibu kandungnya telah berada.

Beberapa saat kemudian. . . .

Dilara telah berada di dalam perjalanan menuju ke kantor, ia sedang mengendarai mobil kendaraannya sendiri masih dengan isak tangisnya. Ia masih bersedih, masih pula pilu terhadap kenyataan yang baru saja di ketahuinya dari ayah sahabatnya itu. “Aku benci pada malam itu! Kalau saja Negara tidak aku temui! Maka aku akan benar merasa tak berkawan, yang pastinya akan aku temui Firlana yang secara tiba-tiba teah membatalkan janjinya untuk menemuiku!”, ungkapan kesalnya.
Dan selang waktu berjalan, Dilara pun telah tiba kembali ke kantornya. Ia kini sedang berjalan di lobby kantor, lalu tidak sengaja ia melihat Negara sedang berjalan dari dalam akan menuju ke luar dan kini baru saja berhenti di depan pintu lobby kantor tersebut. Dilara pun terpaksa memilih menghentikan langkahnya dengan berdiam menghadap padanya. “Ikut saya pergi keperusahaan lain. kebetulan ada seorang klien yang harus saya temui di sana.”, Negara mengajaknya berupa sebuah perintah.
“Ya, saya ikut dengan bapak.”, kata terima dari Dilara singkat karna merasa terpaksa mematuhi perintah darinya. Dan mereka mulai beralih menuju ke parkiran mobil, tepatnya dimana Negara telah memarkirkan mobil kendaraannya. Setelah mereka berdua telah memasuki mobil kendaraan milik Negara, mereka berdua akan segera menuju ke kantor perusahaan yang telah di maksudkan oleh Negara tadi.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

S A C Uku #34

Beralih ke rumah kediaman Firlana, telah kedatangan seorang wanita bernama Raya yang pernah menjadi sosok wanita misterius. Raya berkunjung ke rumah kediaman Firlana, bermaksud ingin mengundang Firlana tuk menghadiri hari bahagianya. Namun ketika pintu rumah sudah dibuka oleh seorang asisten perempuan rumah itu, Raya mendapat kabar kalau orang rumah sedang berada di rumah sakit. Raya pun bertanya, “Memangnya siapa yang sedang sakit?”.
Seorang asisten perempuan rumah itu menjawab, “Firlana”, tanpa memberitahukan sedang sakit apa. “Ya sudah, tolong sampaikan undangan ini padanya ketika sudah pulang dari rumah sakit!”, Raya langsung berkata meminta karna sedang terburu-buru. Tanpa menanyakan Firlana sedang sakit apa, dan apakah melakukan berobat jalan atau melakukan rawat inap. Dan Raya kini pun mulai bergegas pergi usainya menitipkan undangan tersebut pada asisten perempuan dari rumah itu.
Ketika sore hari telah tiba, Raya berlanjut berkunjung ke rumah kediaman dari Dilara. Berniat pula ingin mengundang Dilara dihari bahagianya. Dan begitu dirinya telah sampai di rumah kediaman dari Dilara, dirnya langsung disambut Dilara. Sebab Dilara sendiri yang telah membukakan pintu masuk rumahnya. “Raya”, sapanya ketika mengetahui, lalu mereka saling berpelukan menyambut sebuah pertemuan tak terduga. Dan ketika mereka berdua telah melepaskan pelukannya.
Raya langsung menunjukkan undangan untuk Dilara, meminta Dilara untuk datang dihari bahagia dirinya. “Happy wedding”, ucap selamat Dilara berwajahkan senang setelah mengambil undangan tersebut. “Pokoknya kamu harus bawa partner!”, perintah Raya melihat canda. Jawab langsung Dilara, “Semoga saja Firlana mau jadi partnerku.”, dengan bahasa amat senang. Raya menjadi hening sejenak, akan memberitahu sebuah keadaan sebenarnya dari Firlana.
“Dilara, dia sedang sakit. Aku tidak tahu, dia sudah kembali ke rumah atau belum? Sebab tadi sewaktu aku sedang berkunjung ke rumahnya, asisten perempuan rumahnya memberitahukan itu?”, terbuka Raya memberitahukannya. Dilara menjadi terdiam teringat dengan telah ditemuinya ayah dari Firlana yang sedang mengobrol dengan seorang dokter, sewaktu berada di rumah sakit tadi. sejenak Dilara sudah dapat mengetahui tentang sebuah alasan.
 “Dilara! Aku pamit dulu ya? Sampai jumpa dihari bahagiaku?”, pamit Raya secara tiba-tiba lalu berbalik beranjak pergi. Dan Dilara memberi senyum mempersilahkan, memendam sesuatu yang baru saja diketahui alasannya. Raya pun beranjak pergi akan segera meninggalkan, sedangkan Dilara melihat dirinya termenung mengingat pesan terakhir dari Firlana. “Tuhan, perkenankanlah aku untuk bertemu dengan sosok ayahnya lagi.”, gumamnya berdo’a dihati.

Malam harinya. . . .

Dilara sedang berbaring resah di kasur tempat tidurnya, memikirkan keadaan Firlana yang telah misterius baginya. Beralih sebentar ke sana, Negara sedang mengalami jenuh. Karna tetap tidak bisa tidur setelah memutar beberapa film animasi kegemarannya. Lalu teralihkan dengannya yang mengambil ponselnya, melihat daftar kontak pada ponselnya. Dengan perasaan jenuhnya, secara tiba-tiba ia mencoba menghubungi Dilara melalui video call.
Kembali ke Dilara, Dilara yang baru saja mengetahui kalau Negara sedang menghubunginya. Mulai mengangkatnya dengan salah tingkah sebab wajahnya tampak resah. “Selamat malam pak?”, sapa Dilara berusaha menunjukkan wajah gembira namun resahnya masih tampak di wajahnya. “Selamat malam juga. Ada gerangan apakah sehingga wajahmu tampak resah, dibalik wajih gembira yang sedang kau usahakan itu?”, Negara langsung menanyakannya sebab merasa peka terhadap dirinya.
Dilara menjadi kaget, tidak menduga kalau Negara cepat merasa peka terhadap dirinya. Lalu Dilara memaksakan sebuah senyuman sambil menggeleng tampak seperti wajah yang sedang kebingungan. Negara yang sudah melhat dirinya dilayar ponselnya, menyambung kata “Terimakasih karna telah mengangkat video call dariku. Jumpa lagi esok di kantor ya.”. Usainya menyambung kata tersebut, Negara memutuskan video callnya.
Dan Negara beralih untuk tidur, sebab baru merasa sudah mengantuk tak kuasa menahan hsratnya ingin tidur segera. Sementara Dilara di sana menjadi terdiam, merenungkan Negara yang hanya membicarakan itu ketika menghubungi dirinya melalui video call. Dilara pun bergumam “Sungguh aneh si bapak, mah….”, dan beralih untuk tidur sebab sudah menagntuk. Tanpa mereka berdua cermati serta tersadari, berbicara melalui video call itulah sebagai peghantar tidur untuk keduanya pada malam ini.

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!

Esoknya, Dilara merasa kurang bersemangat memasuki ruang kerja dari Negara. Beruntung Negara belum memasuki ruangannya sendiri walaupun telah tiba lebih dulu daripada dirinya. Wajahnya sedikit lesuh, ketika baru saja menghidupkan laptop, demi membuat tugas dari Negara yang terus berkelanjutan. “Tugasnya gak abis-abis. Baru berasa sekarang.”, gumamnya sedikit mengomel sendiri. Lalu baru dilihatnya jika Negara baru saja memasuki ruangan.
Negara terpandang padanya sambil memberi senyum semangat berjalan menuju meja kerjanya, begitupun Dilara yang menyapanya “Selamat pagi”. Sementara Negara yang berdiri di depan meja kerjanya sendiri, sejenak mencoba melihat Dilara. Ingin mengetahui kondisi pada Dilara, di waktu yang masih pagi ini. “Sudah sarapan?”, tanya Negara mulai curiga dengan pergerakan dari Dilara yang sedang mengerjakan tugas. Dilara berhenti dari pengerjaannya melihat ke Negara.
“Seorang bos yang otaknya telah dipenuhi beragam tugas pekerjaannya. Masih sempat mencermati orang lain. Maksud saya, isi dari kepala bapak?”, Dilara telah keceplosan menanyakan frontal lalu membetulkannya sendiri.
“Buang resahmu! Berkonsentrasilah! Saya tidak ingin tugas yang sedang kau kerjakan menjadi tidak terkontrol!”, balas Negara menegaskan perintah sedikit menuntutnya.
Dilara berdiam menerimanya, beralih melihat ke layar laptop kembali mengerjakan tugasnya. Sedangkan Negara mengambil ponselnya akan berbicara dengan sahabatnya, setelah keadaannya benar sedang duduk di kursi kerjanya. Dan kinipun Negara sedang berbicara dengan sahabatnya, Milara membincangkan suatu rencana yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Tepatnya mereka membincangkan tentang waktu untuk bisa bermain bersama, serta mengingat apa saja yang terjadi.
Negara tampak bahagia, membuat Dilara yang tak sengaja melihat padanya menjadi merasa berbeda. Dilara merasa berbeda, saat semalam tadi Negara telah mencoba menghubunginya melalui video call. Dengan Milara, Negara begitu tampak bersahabat dan nyaman. Sedangkan dengan dirinya, Negara seperti hanya berbasa-basi saja. Dilara yang sudah merasa demikian, mengalihkan pandangannya ke laptop kembali pada pengerjaannya.
Tak berapa lama kemudian, Dilara dengan sengaja melihat Negara kembali sebab mengetahui kalau Negara baru saja mengusaikan teleponnya dengan Milara. Namun telah dilihatnya kini Negara sedang menerima telepon dari seorang lagi, Dilara pun berdiam mencoba mencermatinya secara diam-diam. Dan kali ini Negara tampak sedikit cemas bercampur kaget, seperti merasa kurang nyaman bahkan berbicaranya sambil berbisik seperti orang yang kurang percaya diri.
Dilara menjadi bingung seketika menatapnya, sedangkan Negara baru melihat padanya berdiam usai memutuskan teleponnya. Keduanya menjadi saling berpandangan diam sesaat, lalu teralihkan dengan Negara yang mulai berdiri dari duduknya akan beranjak keluar ruangan. Dan kini, Dilara menjadi semakin bingung terhadap perilakunya.

Sementara beralih ke Negara. . . .

Negara sudah sampai ke tujuanya, ia sudah berjumpa dengan karyawan yang telah meneleponnya tadi. Ternyata yang sedang meneleponnya tadi adalah karyawan yang telah memberitahukan jikalau asisten tetapnya akan segera kembali bekerja. Memakai alasan jika ibu dari asisten tetapnya itu sudah sehat. Negara pun dapat memakluminya setelah mendengar karyawannya itu bercerita tentang demikian. Dan pamit beralih akan menuju kembali ke ruangannya sendiri.         

S A C Uku
bukan cerita cinta segitiga!!